What: Definisi dan Ruang Lingkup Criminal Policy
Criminal policy atau kebijakan kriminal adalah salah satu bidang penting dalam kriminologi dan hukum pidana. Menurut G. Peter Hoefnagels, Criminal policy dijadikan sebagai landasan dalam memahami konsep kebijakan kriminal sebagai reaksi sosial yang rasional terhadap kejahatan. Sehingga secara garis besar, Criminal Policy adalah usaha rasional dan terorganisasi dari suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Hal ini mencakup tiga elemen utama:
- Kebijakan Kriminal sebagai Ilmu tentang Respons Terhadap Kejahatan (Criminal Policy is the Science of Responses)
Kebijakan kriminal dipandang sebagai ilmu yang mempelajari cara masyarakat merespons kejahatan. Respons ini mencakup berbagai tindakan, mulai dari penegakan hukum hingga rehabilitasi pelaku. Pendekatan ini berfungsi untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas serta keadilan dalam penanganan kejahatan.
- Kebijakan Kriminal sebagai Ilmu Pencegahan Kejahatan (Criminal Policy is the Science of Crime Prevention)
Selain menangani kejahatan yang telah terjadi, kebijakan kriminal juga mencakup upaya pencegahan. Hoefnagels menyoroti pentingnya langkah-langkah preventif yang melibatkan berbagai dimensi, seperti sosial, ekonomi, dan budaya. Langkah ini dapat berupa pendidikan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta penguatan kontrol sosial dalam komunitas.
- Kebijakan Kriminal sebagai Penentu Perilaku yang Dikategorikan Sebagai Kejahatan (Criminal Policy is Designating Human Behavior as Crime)
Kebijakan kriminal juga berperan dalam menentukan perilaku yang dianggap sebagai kejahatan. Proses ini mencakup pembentukan hukum yang mencerminkan norma dan nilai masyarakat. Hoefnagels menekankan bahwa definisi kejahatan bersifat dinamis dan dapat berubah seiring perkembangan sosial dan budaya.
Langkah ini bertujuan untuk mewujudkan kebijakan penegakan hukum atau Law Enforcement yang efektif. Sehingga, penegakan hukum tidak hanya semata-mata difokuskan pada pemberian sanksi kepada pelaku kejahatan, tetapi juga berperan dalam menjaga ketertiban, melindungi hak-hak setiap individu, serta mewujudkan keadilan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan ini harus dirancang dengan pendekatan yang tidak hanya bersifat retributif, melainkan juga preventif dan rehabilitatif (Barda Nawawi Arief,2005 : 126).
Dalam pelaksanaannya pun, Law Enforcement mencakup dua pendekatan utama yang saling melengkapi, yaitu pendekatan hukum (penal policy) dan pendekatan sosial (non-penal policy). Kedua pendekatan ini diperlukan untuk menciptakan sistem peradilan yang tidak hanya mengutamakan penghukuman, tetapi juga memperhatikan aspek pencegahan dan rehabilitasi, serta memahami akar masalah yang mendorong terjadinya kejahatan.
- Pendekatan Hukum (Penal Policy)
Pendekatan hukum ini berfokus pada penerapan sanksi hukum terhadap pelaku kejahatan. Dalam konteks ini, Law Enforcement melibatkan berbagai pihak, mulai dari aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim, hingga lembaga pemasyarakatan dan masyarakat itu sendiri. Dalam kerangka penal policy, hukum berfungsi sebagai alat untuk menegakkan keadilan, memberikan efek jera, dan melindungi masyarakat dari potensi bahaya lebih lanjut. Penal policy juga mencakup aspek pemidanaan, seperti penjara atau denda, yang diharapkan dapat menurunkan angka kejahatan.
- Pendekatan Sosial (Non-Penal Policy)
Sebaliknya, pendekatan sosial berfokus pada aspek preventif dan rehabilitatif yang lebih luas dan berkelanjutan. Non-penal policy berupaya mencegah terjadinya kejahatan dengan mengatasi faktor-faktor sosial, ekonomi, dan budaya yang mendasari tindak kriminal. Pendekatan ini melibatkan berbagai program dan kebijakan yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi sosial masyarakat, seperti pendidikan, peningkatan kesejahteraan, pemerentasan kemiskinan, dan pemberdayaan komunitas.
Selain itu, Penegakan hukum juga dibutuhkan pemanfaatkan teknologi dan data sebagai bagian dari proses hukum, misalnya dengan menganalisis pola kejahatan untuk mencegah terjadinya tindak kriminal. Di samping itu, kebijakan ini harus memastikan bahwa upaya penegakan hukum tidak hanya memberikan perlindungan kepada masyarakat, tetapi juga menghormati hak asasi manusia serta menjunjung tinggi keadilan sosial. Dengan demikian, Law Enforcement bukan sekadar alat untuk menghukum, melainkan juga sebuah pendekatan komprehensif untuk menciptakan masyarakat yang aman dan berkeadilan.
Untuk menciptakan kebijakan yang efektif, kedua pendekatan ini perlu diintegrasikan dengan baik, karena keberhasilan kebijakan ini tergantung pada kerjasama antara lembaga penegak hukum, pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak terkait lainnya.
Why: Pentingnya Criminal Policy
Pentingnya criminal policy dapat dipahami lebih dalam melalui analisis sebab-akibat dari fenomena kejahatan. Pemahaman ini membantu dalam merumuskan kebijakan yang tidak hanya berfokus pada penanganan kejahatan tetapi juga mencegah terjadinya perilaku kriminal. Menurut Hoefnagels dan teori-teori pendukung lainnya, penyebab kejahatan dapat dikelompokkan sebagai berikut:
- Faktor Biologis dan Psikologis
1) Faktor biologis merupakan salah satu pendekatan awal dalam memahami penyebab kejahatan. Salah satu teori yang paling terkenal adalah Criminal Anthropology yang dikembangkan oleh Cesare Lombroso pada abad ke-19. Beliau menyebutkan bahwa, Faktor biologis seperti genetik, neurobiologi, dan hormon, memiliki peran dalam memengaruhi perilaku kriminal.
Oleh karena itu, kebijakan kriminal yang efektif harus mempertimbangkan pendekatan rehabilitatif berbasis kesehatan mental dan neurologis, mengingat pentingnya pemahaman mendalam tentang penyebab perilaku kriminal yang melibatkan faktor biologis. Pendekatan ini dilakukan bertujuan agar tidak hanya untuk menghukum pelaku kejahatan tetapi juga membantu mereka mengelola kondisi yang mungkin mendorong perilaku kriminal. Dengan mengatasi akar penyebab kriminalitas, risiko dan residivisme dapat diminimalkan, sehingga menciptakan lingkungan yang lebih aman dan stabil.
2) Selain biologis, faktor psikologis memegang peran penting dalam memahami penyebab perilaku kriminal. Teori Psychoanalytic dari Sigmund Freud menjelaskan bahwa konflik internal antara tiga komponen kepribadian id, ego, dan superego dapat mendorong perilaku menyimpang. Dengan memahami kompleksitas psikologis di balik perilaku kriminal, criminal policy dapat dirancang untuk tidak hanya menanggulangi kejahatan tetapi juga memulihkan individu sebagai bagian dari proses keadilan restoratif.
- Faktor Sosiologis
Pendekatan sosiologis menekankan bahwa kejahatan adalah cerminan dari kondisi sosial di mana individu hidup. Sehingga, Teori Sosiogenis menyatakan bahwa perilaku kriminal dipengaruhi oleh faktor-faktor sosiologis dan sosial-psikologis, seperti struktur sosial yang tidak sehat, tekanan dari kelompok, peran dan status sosial, serta internalisasi simbol atau nilai yang keliru. Lingkungan yang tidak kondusif, seperti sekolah dengan dukungan yang minim dan pergaulan yang jauh dari nilai moral dan agama, berkontribusi pada terbentuknya perilaku menyimpang.
- Teori penyimpangan budaya (cultural deviance theory)
Teori Penyimpangan Budaya menyoroti peran penting budaya dalam membentuk dan memengaruhi perilaku kriminal. Teori Penyimpangan Budaya menjelaskan bahwa perilaku kriminal sering dianggap normal dalam subkultur tertentu, seperti geng atau kelompok radikal, yang memiliki nilai dan norma berbeda dari masyarakat umum. Subkultur ini terbentuk karena kesenjangan sosial, lemahnya kontrol sosial, dan kurangnya alternatif kegiatan positif.
Kebijakan kriminal yang efektif harus mencakup edukasi nilai, penyediaan kegiatan produktif, keterlibatan komunitas, intervensi terpadu, dan rehabilitasi untuk membantu individu melepaskan diri dari pengaruh subkultur menyimpang. Pendekatan ini bertujuan tidak hanya mencegah kriminalitas, tetapi juga menciptakan masyarakat yang inklusif dan harmonis.
- Teori kontrol sosial.
Teori Kontrol Sosial, yang dirumuskan oleh Travis Hirschi, menyatakan bahwa kejahatan terjadi ketika ikatan sosial individu terhadap keluarga, sekolah, atau komunitas melemah. Ikatan sosial yang kuat berperan sebagai mekanisme pengendalian yang mencegah individu dari perilaku menyimpang. Hirschi mengidentifikasi empat elemen utama kontrol sosial yang mampu menjadi penghalang terhadap terjadinya kriminalitas:
1) Keterikatan (Attachment): Â
Hubungan emosional dengan orang tua, teman, atau guru membantu individu merasa bertanggung jawab terhadap harapan dan norma sosial. Jika hubungan ini lemah, individu cenderung lebih rentan untuk terlibat dalam perilaku kriminal.Â
2) Komitmen (Commitment): Â
Investasi dalam tujuan jangka panjang, seperti pendidikan atau karier, membuat individu lebih berhati-hati dalam melanggar norma sosial karena akan merugikan tujuan tersebut. Komitmen yang kuat mendorong seseorang untuk menghindari perilaku menyimpang.Â
3) Keterlibatan (Involvement): Â
Kegiatan produktif seperti pekerjaan, olahraga, atau partisipasi dalam aktivitas komunitas mengurangi waktu dan peluang bagi individu untuk terlibat dalam kejahatan.Â
4) Keyakinan (Belief): Â
Kepercayaan terhadap nilai-nilai moral, hukum, dan norma sosial mendorong individu untuk mematuhi aturan yang ada. Jika keyakinan ini melemah, individu lebih cenderung terlibat dalam perilaku kriminal.
- Teori Lain
Beberapa teori tambahan memberikan perspektif berbeda terhadap penyebab kejahatan:
1) Labeling Theory: Teori ini berargumen bahwa pelabelan sosial terhadap individu sebagai "kriminal" dapat memperkuat perilaku menyimpang. Pelaku yang diberi label ini sering kali diasingkan, yang akhirnya mendorong mereka untuk lebih terlibat dalam tindakan kriminal.
2) Conflict Theory: Teori ini, yang dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx, menyatakan bahwa kejahatan muncul akibat ketidakadilan struktural dan konflik kelas. Sistem hukum sering kali lebih memihak kelas dominan, sementara kelompok miskin atau termarjinalkan lebih rentan terhadap kriminalisasi.
3) Radical Criminology: Pendekatan ini melihat kejahatan sebagai hasil dari struktur sosial yang menindas, seperti eksploitasi ekonomi atau ketimpangan kekuasaan.
How: Implementasi Criminal Policy Berdasarkan Skema Hoefnagels
Criminal policy, sebagaimana dirumuskan oleh Hoefnagels, mengintegrasikan dua jalur utama: penal policy dan non-penal policy, yang saling melengkapi dalam mencegah dan menangani kejahatan. Berikut adalah implementasi konsep ini dengan studi kasus di Indonesia:
- Penal Policy
Penal policy berfokus pada penggunaan hukum pidana sebagai sarana untuk menangani kejahatan. Ini mencakup formulasi hukum, penegakan, dan pemberian sanksi dengan tujuan memberikan efek jera serta melindungi masyarakat. Berikut relevansi dengan Studi Kasus Penanganan Korupsi di Indonesia:
1) Regulasi:
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, menjadi dasar hukum utama dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
2) Lembaga Penegak Hukum:
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memimpin penanganan kasus korupsi besar dengan dukungan dari kepolisian dan kejaksaan.
3) Penerapan Sanksi:
Pelaku tindak pidana korupsi dijatuhi hukuman berat, seperti hukuman penjara hingga seumur hidup, denda besar, dan pencabutan hak politik, contohnya dalam kasus operasi tangkap tangan terhadap pejabat tinggi.
- Non-Penal Policy
Non-penal policy berupaya mencegah kejahatan melalui pendekatan sosial, budaya, dan ekonomi, dengan fokus pada intervensi yang dapat mengurangi faktor risiko kejahatan. Berikut relevansi nya dengan Studi Kasus Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba.
1) Program Pendidikan:
Badan Narkotika Nasional (BNN) mengadakan program Desa Bersinar (Bersih dari Narkoba) yang melibatkan penyuluhan di tingkat komunitas dan sekolah untuk meningkatkan kesadaran bahaya narkoba.
2) Pemberdayaan Sosial:
Pemerintah mengadakan pelatihan keterampilan kerja bagi masyarakat rentan, seperti pemuda di kawasan rawan narkoba, untuk mengurangi kemungkinan mereka terjerumus.
3) Pendekatan Komunitas:
Melibatkan tokoh masyarakat dan agama dalam kampanye anti-narkoba untuk memperkuat kontrol sosial dan norma kolektif terhadap perilaku menyimpang.
Kesimpulan
Criminal policy atau kebijakan kriminal merupakan pendekatan rasional dan terorganisasi dalam menangani serta mencegah kejahatan, sebagaimana dijelaskan oleh G. Peter Hoefnagels. Implementasinya melibatkan dua jalur utama, yaitu penal policy dan non-penal policy, yang saling melengkapi. Penal policy menitikberatkan pada penegakan hukum pidana, termasuk regulasi, pemberian sanksi, dan penegakan hukum oleh lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Contohnya, pemberantasan korupsi di Indonesia dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang memberikan sanksi berat untuk efek jera dan perlindungan masyarakat.
Sebaliknya, non-penal policy lebih berfokus pada aspek preventif dan rehabilitatif melalui intervensi sosial, budaya, dan ekonomi. Contohnya, pencegahan penyalahgunaan narkoba dilakukan dengan program seperti Desa Bersinar oleh BNN, yang mengedukasi masyarakat dan memberdayakan kelompok rentan untuk mengurangi risiko keterlibatan dalam tindak kriminal.
Kedua pendekatan ini diperlukan untuk menciptakan sistem penanganan kejahatan yang efektif dan berkelanjutan. Sinergi antara hukum dan pendekatan sosial memungkinkan kebijakan kriminal tidak hanya menekan angka kejahatan, tetapi juga mengatasi akar permasalahan, sehingga menciptakan masyarakat yang lebih aman, adil, dan sejahtera.
Daftar Pustaka
Arief, B. N. (2005). Bunga rampai kebijakan hukum pidana (hal. 126). PT. Citra Aditya Bakti.
Digilib Unila. (n.d.). Pengertian Kebijakan Kriminal (Criminal Policy). Retrieved from Digilib Unila: http://digilib.unila.ac.id/10025/4/BAB%20II.pdf
Kenedi, J. (2017). KEBIJAKAN KRIMINAL (CRIMINAL POLICY) DALAM NEGARA HUKUM INDONESIA: UPAYA MENSEJAHTERAKAN MASYARAKAT (SOCIAL WELFARE) . Retrieved from UIN Fatmawati Sukarno Bengkulu: https://ejournal.uinfasbengkulu.ac.id/index.php/alimarah/article/download/1026/889
Ali, Mahrus. 2020. Kebijakan Penal Mengenai Kriminalisasi dan Penalisasi terhadap Korporasi (Analisis terhadap Undang-undang bidang Lingkungan Hidup). Pandecta, 15(2)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI