Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Menanti Fajar Pada Senja Tak Berjingga

14 Februari 2023   12:25 Diperbarui: 14 Februari 2023   12:32 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matahari terbenam dalam cahayanya yang hangat. Warna jingga, meski tak begitu pekat. Aku duduk menikmatinya pada taman yang dipenuhi rumput hijau. Menghadap danau pada airnya yang tenang, juga ditemani oleh seseorang yang beberapa menit ini masih bersandar pada bahu kiriku.

Dia yang lebih dulu datang ke sini satu jam lalu, kemudian kami berada pada satu ruang yang seakan tak ada orang lain di dalamnya. Senyum pada gigi gingsulnya, juga rambut pendek sebahu itu yang membuat diriku terpikat. Ini terdengar gila memang, tapi menit demi menit selanjutnya aku semakin yakin bahwa dia bisa menemaniku pada hari-hari selanjutnya.

Kami semakin terjebak pada ruang tanpa dinding ini. Tertawa lepas mengerti satu sama lain meski sebenarnya kami baru saling mengenal.

"Besok, kamu ada di sini kan, Tatya?" tanyaku pelan ketika matahari mulai menunjukkan tanda akan kembali ke peraduannya.

"Pasti, dong," jawabnya percaya diri sambil memamerkan senyum.

Tapi ternyata ia berbohong. Begitu matahari sepenuhnya digantikan malam, Tatya masih tak bergerak pada pundakku. Ia tertidur, bahkan untuk selamanya.

Perempuan berambut pendek itu kutinggalkan begitu saja di kursi taman. Aku melangkahkan kaki melewati mayat-mayat lainnya yang tampak nyenyak tertidur. Jumlahnya mungkin belasan. Ada yang bersandar di bawah pohon, terlentang di permukaan rumput, bahkan sampai yang terapung di danau.

Tak memandang laki-laki atau perempuan, semua yang tak bernyawa di sini pernah berkomunikasi langsung denganku. Mulai dari hubungan pertemanan, hingga hal-hal yang nyaris lebih dari itu seperti yang kurasakan pada Tatya. Mereka selalu mengatakan bahwa aku bisa melihat fajar esok hari bersama mereka. Nyatanya, tak ada satupun yang mampu bertahan lebih lama saat senja mulai datang.

Mungkin ini skenario Tuhan, menempatkan aku pada satu ruang untuk dinikmati sendiri.

Tidak bersama orang lain. Tidak bersama siapa-siapa.

***

Kali ini perempuan lagi. Tubuhnya tinggi, hampir sama denganku ketika memakai sepatu heels. Badannya cukup berisi meski tak gemuk dengan rambut panjang hitam berkilau.

Ia tampak bingung ketika pertama kali kami saling tatap, terlebih lagi ketika melihat belasan badan tak bernyawa masih tergeletak di setiap sudut taman.

"Aku Krisna. Selamat datang," kataku menjulurkan tangan yang diterima olehnya.

"Nika," jawabnya sedikit takut. "Kita ada di mana?" tanyanya kemudian.

"Aku berharap bisa menjawab pertanyaan itu."

Matahari berada di puncak ketika aku dan Nika mengelilingi tempat ini. Memperkenalkan satu persatu tubuh di sana yang tak mungkin lagi di ajak bicara.

Ada Tatya, tentunya, yang tertidur di bangku taman menghadap danau. Di danaunya, ada Listra, seorang anak kecil berusia sekitar 10 tahun terapung tak berdaya seperti sedang melihat langit. Yang bersandar di pohon besar ialah seorang Bapak dan anak laki-lakinya yang kulupa namanya. Dan kalau tak salah ingat, dia Aldo, seorang atlet basket yang kini tak bergerak di dekat pohon bougenville.

Selanjutnya kami menaiki salah satu pohon besar yang atasnya terdapat rumah kecil yang bisa ditempati seperti di film-film. Di sini semua terasa lebih tinggi, potret taman yang luas pun begitu jelas dari sudut ke sudut.

"Sudah berapa lama kamu di sini?"

"Entahlah. Mungkin sebanyak mayat-mayat yang ada di sini," jawabku asal.

"Dan kamu bilang tadi kalau... kemungkinan aku akan sama seperti mereka?"

"Kita tunggu saja sampai senja datang."

Tidak banyak yang kubicarakan selain soal kebaradaanku dan mereka yang misterius. Tak seperti bersama Tatya, aku tak bisa merasakan kehangatan ketika bersama Nika. Ini terasa hambar, atau mungkin aku saja yang merasa bosan mengulang alur seperti ini. Kedatangan orang baru, lalu hilang dalam sekejap.

Waktu yang ditunggu tiba. Senja datang. Kali ini cahayanya lebih pucat bahkan cenderung tak terlihat berjingga.

"Senjanya aneh."

"Warna jingganya pekat sekali, ya. Aku suka."

Apa yang kami katakan di waktu bersamaan itu memancing reaksi masing-masing untuk saling tatap seakan mengacuhkan senja yang katanya indah itu. Sungguh ini sangat berlawanan ketika Nika mengatakan senja ini berwarna jingga pekat, padahal jelas-jelas nyaris tanpa warna.

Saat matahari itu semakin menenggelamkan diri, aku merasa tubuh ini mendadak berat tanpa bisa mengucapkan apa-apa dari ujung bibir. Bisa kurasakan Nika mulai panik dengan mengguncang tubuhku. Aku bisa mendengarnya, tapi sama sekali tak bisa menjawab.

Senja di atas sana perlahan berubah jadi hitam putih, seperti halnya aku melihat perempuan ini. Selanjutnya giliran mata yang terasa berat hingga tak kuasa untuk segera memejamkannya. Kini semua gelap seakan terjatuh pada jurang tak berujung.

Mungkin kini saatnya aku yang pergi, meninggalkan Nika yang akan mengulang nasibku pada pertemuan misterius bersama banyak orang asing.

***

Sudah empat hari aku siuman dari tidur panjang setelah melewati masa kritis di ruang ICU. Bau obat cukup menyengat meski aku telah dipindahkan ke ruangan reguler kelas 1. Sekujur tubuh masih sakit dengan luka yang ditutup perban.

Aku kecelakaan dua minggu lalu sampai tak sadarkan diri. Yang kuingat terakhir hanyalah terpental ketika sebuah mobil menabrakku yang sedang menyebrang di malam hari. Ah entahlah, aku tak ingin membahasnya lagi di waktu kepulanganku ini untuk rawat jalan di rumah.

"Ayah bawa barang-barang dulu ke mobil. Kamu tunggu di sini saja," kata Ayah yang membawa dua tas ukuran sedang.

Karena merasa bosan menunggu sendirian, apalagi bilik sebelah kosong, aku mencari ide ke luar ruangan dengan kaki yang harus diseret ketika melangkah. Belum lagi pergelangan kiri pun di gips sementara waktu karena mengalami patah tulang.

Koridor rumah sakit lantai 7 ini dipadati oleh aktivitas antara tenaga medis dan pasien. Ada yang duduk di luar ruangan, menangis karena mendengar kabar duka, juga yang sama sepertiku hendak pulang setelah berhari-hari dirawat.

Sampai seorang perempuan berambut panjang datang dari arah berlawanan hingga melempar pandang satu sama lain.

"Tatya?"

Perempuan itu kemudian berhenti melangkah.

"Ya, aku Tatya. Tapi maaf, siapa ya?"

Aku tak bisa mengingat jelas siapa sebenarnya dia dan di mana aku bisa mengenalnya. Tiba-tiba saja nama itu terucap ketika melihat sosok ini.

"Aku habis operasi beberapa hari lalu dan baru selesai check up. Kata dokter, efek sampingnya aku akan mudah lupa. Maaf kalau saat ini aku belum bisa ingat siapa kamu."

"Ah ya, bukan masalah. See you!"

Tak lama dari itu Ayah kembali untuk benar-benar membawaku pulang ke rumah.

***

Kafe langganan sejak zaman sekolah ini selalu menjadi langgananku untuk bersantai dari rutinitas tingkat akhir yang padat. Di sini juga aku bisa lebih berkonsentrasi dalam mengerjakan skripsi yang sudah memasuki bab tiga.

Rencananya hari ini aku akan bertemu dengan salah satu teman sekelas, namun tiba-tiba saja ia membatalkannya hingga membuatku jadi menikmati minuman dan makanan ringan ini sendirian.

"Krisna?" kata seseorang yang tiba-tiba berdiri di hadapanku yang masih duduk menghadap laptop.

Seorang perempuan muda berambut hitam panjang berkilau membawa sebuah tas dan beberapa buku di tangan kirinya. Kurasa ia juga sama sepertiku, masih mahasiswa. Tapi masalahnya, aku tak mengenalnya.

"Ah, maaf, akhir-akhir ini aku sering bertemu dengan orang asing dan tiba-tiba saja bisa tahu namanya," katanya setelah melihat wajahku yang kebingungan.

Aku sengaja menyuruhnya duduk karena entah kenapa meski memang ia orang asing, aku merasa pernah bertemu di suatu tempat dalam waktu singkat. Ya walaupun itu mungkin hanya sebatas perasaanku saja.

"Arunika, biasa dipanggil Nika."

Kami berjabat tangan sebagai tanda perkenalan, kemudian mulai membahas soal hidup masing-masing. Mulai dari tempat tinggal, asal kampus, sampai menemukan satu kesamaan yang tak terduga.

Tiga bulan lalu ia dirawat karena keracunan makanan di rumah sakit tempatku dirawat waktu itu, bahkan di waktu yang nyaris bersamaan pula. Aku pulang tanggal 17, sementara dia di tanggal 20. Dia tak sadarkan diri selama dua hari, berbeda denganku yang memakan waktu lebih dari seminggu.

Kebetulan yang tak disengaja itu membuat kami tertawa satu sama lain, di mana kami adalah orang beruntung yang masih diberi kesempatan kedua untuk menjalani hidup di dunia. Karena saat itu aku dan dia nyaris saja bertemu langsung dengan Sang Pencipta.

Kaca besar kafe yang menghadap langsung ke jalanan memperlihatkan kemilau senja yang indah dengan warnanya yang jingga pekat. Tak terasa juga kami telah menghabiskan waktu nyaris dua jam di sini.

"Nika..."

"Ya?"

"Besok kita bisa bertemu lagi, kan?"

Dia membalas dengan senyum yang sudah kupaham maksudnya apa.

***

Menanti Fajar Pada Senja Tak Berjingga - Selesai

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun