"Dan kamu bilang tadi kalau... kemungkinan aku akan sama seperti mereka?"
"Kita tunggu saja sampai senja datang."
Tidak banyak yang kubicarakan selain soal kebaradaanku dan mereka yang misterius. Tak seperti bersama Tatya, aku tak bisa merasakan kehangatan ketika bersama Nika. Ini terasa hambar, atau mungkin aku saja yang merasa bosan mengulang alur seperti ini. Kedatangan orang baru, lalu hilang dalam sekejap.
Waktu yang ditunggu tiba. Senja datang. Kali ini cahayanya lebih pucat bahkan cenderung tak terlihat berjingga.
"Senjanya aneh."
"Warna jingganya pekat sekali, ya. Aku suka."
Apa yang kami katakan di waktu bersamaan itu memancing reaksi masing-masing untuk saling tatap seakan mengacuhkan senja yang katanya indah itu. Sungguh ini sangat berlawanan ketika Nika mengatakan senja ini berwarna jingga pekat, padahal jelas-jelas nyaris tanpa warna.
Saat matahari itu semakin menenggelamkan diri, aku merasa tubuh ini mendadak berat tanpa bisa mengucapkan apa-apa dari ujung bibir. Bisa kurasakan Nika mulai panik dengan mengguncang tubuhku. Aku bisa mendengarnya, tapi sama sekali tak bisa menjawab.
Senja di atas sana perlahan berubah jadi hitam putih, seperti halnya aku melihat perempuan ini. Selanjutnya giliran mata yang terasa berat hingga tak kuasa untuk segera memejamkannya. Kini semua gelap seakan terjatuh pada jurang tak berujung.
Mungkin kini saatnya aku yang pergi, meninggalkan Nika yang akan mengulang nasibku pada pertemuan misterius bersama banyak orang asing.
***