Kak Larisa mencoba untuk menjelaskan sesuatu tapi semua terasa berbelit. Malah membahas soal Ibu dan Ayah yang sudah meninggal sejak aku berusia 3 tahun, lalu merembet ke permasalahannya yang dulu pernah nyaris tak akan melanjutkan pendidikan.
"Aku cuma mau satu jawaban," kataku memotong. "Kakak adalah ibu kandung aku, kan? Orang yang telah melahirkan aku!"
"Iya," jawabnya pelan setelah jeda beberapa detik.
"Tega ya Kakak membohongi aku selama ini."
Saat itu juga aku memilih keluar untuk mencari ketenangan. Setidaknya untuk sekarang, aku masih belum bisa menerima semua kenyataan ini.
***
Aku sengaja mematikan ponsel agar Kak Larisa tidak bisa melacak keberadaanku. Mungkin hal ini akan membuatnya khawatir, tapi setidaknya aku masih bisa jaga diri meski masih mengenakan seragam sekolah yang ditutup jaket.
Sebelumnya aku telah menghubungi Mba Key, salah satu teman terdekat Kakak. Kami sepakat bertemu di foodcourt salah satu mal yang jaraknya cukup jauh dari tempat praktik psikolog tadi. Sesuai janjinya, Mba Key datang seorang diri. Ia tampak sedikit khawatir melihatku yang terlihat masih kebingungan.
"Larisa tadi nelepon. Tapi sesuai perintah kamu, Mba bilang nggak tahu kamu ada di mana. Sebenarnya ini ada apa?"
Melihat remaja tanggung usia 15 yang tiba-tiba datang seorang diri di sini bahkan tanpa memberi tahu siapapun mungkin terlihat mengkhawatirkan untuknya. Jadi tanpa berbasa-basi, aku menceritakan kejadian hari ini.
Tentang aku yang mulai curiga dengan banyaknya kemiripan dengan Kak Larisa. Mulai dari wajah, sifat keras, sampai golongan darah. Mungkin semua kebetulan belaka karena status kami adalah kakak-adik, sampai suatu ketika aku menemukan beberapa foto lawasnya di kamar.