A D I Y A K S A
Tempat praktik psikolog Kak Larisa tak berjarak jauh dari sekolahku. Hanya perlu menggunakan jasa transportasi ojek daring yang tarifnya lima belas ribu, aku bisa langsung sampai tanpa terjebak macet. Suasana di sini sepi, hanya ada seorang pria muda yang sepertinya baru keluar ruangan.
Tanpa sengaja kami bertabrakan. Tentu saja aku meminta maaf terlebih dahulu pada orang asing itu. Lalu dengan langkah cepat masih mengenakan seragam putih biru dan tas ransel di punggung, aku masuk ruangan, menutup pintu kencang.Â
Di sana ada aku, dan seorang perempuan berusia 33 tahun.
"Berapa kali Kakak bilang untuk jangan datang tiba-tiba? Di mana sopan santun kamu yang masuk tanpa permisi?"
Aku sudah menduga bahwa Kak Larisa akan sedikit marah.
Sebuah amplop coklat tertutup menjadi barang bukti yang harus kutunjukkan saat ini juga di hadapannya. Maka aku menyimpan amplop itu di meja, yang langsung dibuka, kemudian memancing reaksinya jadi sedikit terkejut.
"Aku mau penjelasan untuk semua ini!" kataku dengan nada tinggi tanpa mempedulikan bahwa ia berusia 18 tahun lebih tua.
"Adiyaksa, kamu harus tenang. Sekarang duduk dulu, ya," jawab Kakak mulai menenangkan.
Aku mengikuti apa yang dikatakannya meski diri ini masih memiliki gejolak emosi yang sulit tertahan.