Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kita yang Hanya Sebatas Pernah

29 Juli 2019   21:50 Diperbarui: 29 Juli 2019   21:58 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

April 2013, Jatinangor

Hanya demi Janet, aku rela jauh-jauh datang ke Jatinangor dari kota asalku, Yogyakarta. Kemarin sore ia meneleponku sambil menangis. Suaranya jadi tak karuan, membuatku tidak mengerti apa maksud tangisannya itu. Setelah keadaannya cukup tenang, ia mulai bercerita. Oh, tentang pacarnya itu ternyata.

Sejak awal perkenalannya dengan laki-laki itu setengah tahun lalu, aku bisa menduga bahwa ia bukan orang baik-baik. Sekarang terbukti, ia hampir melecehkan Janet ketika mereka ada di kosan yang sepi. Untungnya, Janet bisa segera mengambil tindakan, tapi masih ada rasa trauma yang mendekap dirinya.

Kantin Fakultas MIPA kampusnya ini menjadi tempat pertama kami bertemu hari ini. Aku langsung memeluknya erat disusul oleh air matanya yang membasahi dadaku.

"Aku takut, Ethan."

Masih ada rasa shock yang kulihat dari gerak tubuhnya. Matanya yang begitu sayu seolah bicara bahwa ia butuh ketenangan. Aku tak henti menggenggam tangannya. Ia harus tahu bahwa aku akan ada kapanpun saat ia membutuhkan.

Untungnya Janet dan teman-temanya segera melaporkan tindakan laki-laki brengsek itu ke pihak kampus. Entah tindakan apa yang akan diambil nanti, tapi aku yakin saat ini posisi Janet akan aman untuk sekarang.

Lalu, Jatinangor Town Square menjadi tempat kami menghabiskan waktu di malam harinya. Kami berdua berencana akan menonton salah satu film komedi yang saat itu sedang tayang di bioskop. Kondisi Janet pun sekarang sudah semakin baik. Dia bisa tersenyum sambil sesekali tertawa.

Setelah keluar studio dengan perasaan yang amat gembira, aku dan dia mendatangi salah satu tempat makan untuk mengisi perut yang kosong. Di sana kita sedikit bernostalgia. Mengingat kembali kenangan-kenangan apa saja yang paling berkesan saat di bangku sekolah.

"Kabar kamu sama Nanda gimana sekarang? Bukannya kalian dulu jadian, ya?" tanya Janet dengan nada menyindir sambil menahan tawa.

"Apa, sih? Itu cuma cinta monyet zaman SMA tahu, nggak?" jawabku sedikit tersipu.

"Oh iya Than, menurut kamu mungkin nggak ya kita saling suka terus pacaran?"

Mataku tiba-tiba melotot menatapnya. Itu pertanyaan yang tidak pernah terucap sama sekali dari mulutnya sejak awal kita berteman di SMA. Dan kali ini ia membuka topik pembicaraan yang selama ini aku hindari.

Sejujurnya aku pun belum tahu bagaimana perasaanku pada Janet. Tapi menyukai sahabat sendiri, oh ayolah, itu seperti sesuatu yang terlarang buatku. Aku hanya tak ingin hubunganku dengan Janet nantinya malah jadi berantakan hanya gara-gara hal bernama cinta.

"Kok jadi gugup gitu, sih? Santai aja kali," kata Janet melihat ekspresi wajahku yang tiba-tiba berubah.

Ia melanjutkan kembali soal topik itu. Berkata bahwa selama lima tahun ke belakang ini aku adalah satu-satunya orang yang bisa ia percaya selain keluarga. Ia menjadikanku prioritas utama dalam hal apapun. Ya, aku pun tak bisa membantah itu karena dia juga sudah menjadi prioritasku.

Ini pun bukan kali pertama aku menemuinya di Jatinangor. Pernah beberapa bulan lalu, teman-teman banyak yang pulang ke daerahnya masing-masing karena sedang libur panjang. Namun, ia terikat oleh beberapa kegiatan organisasi yang mengharuskannya tetap tinggal.

Maka, saat itu aku datang ke sini tanpa perlu pikir panjang. Menemaninya selama beberapa hari ke depan supaya ia tidak kesepian.

Pada perjalanan pulang menemaninya ke kosan, tidak ada lagi suara yang terdengar selain langkah kaki dan kendaraan bermotor yang lewat. Kami sama-sama diam tanpa menatap satu sama lain. Entahlah, sepertinya aku yang terlalu berlebihan memahami maksud kata-katanya tadi.

"Jaga diri baik-baik, ya." Aku menepuk pundak kanannya pelan, lalu mulai melangkah membelakanginya.

***

September 2015, Yogyakarta

Sosok Ibu adalah wanita yang paling berpengaruh dalam hidupku. Karena dirinyalah aku bisa lahir dan bertahan hingga saat ini dengan mengenakan toga di kampus yang sudah menemaniku selama 4 tahun ke belakang.

Maka ketika keluar dari auditorium kampus, aku langsung memeluk Ibu dengan air mata yang tidak bisa ditahan lagi. Hanya dengan cara ini ia tahu bahwa aku begitu tulus menyayanginya dan benar-benar berterimakasih karena sudah menjadi kepala keluarga ketika sosok Ayah hilang dari tanggung jawabnya bertahun-tahun lalu.

Selain ibu serta adik laki-lakiku, Janet juga hadir di acara wisuda ini dengan kebaya cantiknya yang membuat dia tampak lebih anggun. Ia memelukku sambil mengucapkan kata selamat karena telah berhasil meraih gelar sarjana.

"Thank you, sayang," kataku sambil mencium keningnya.

Aku tidak ingin menceritakan bagaimana detailnya. Tapi yang jelas, aku dan Janet memang sudah setahun setengah ini menjalin hubungan yang lebih dari sekadar bersahabat.

"Mulai bulan depan Bang Ethan kan pindah ke Bali, ya?" tanya adikku. "Kalian LDR-an dong?"

"Heh, anak kecil, nggak usah ikut campur urusan orang dewasa kayak gini," jawabku ketus mengacak-acak rambutnya.

"Bang, gue cuma tiga tahun beda umurnya sama lo. Jangan ngatain anak kecil segala, ah."

"Udah-udah, kalian ini dari kecil nggak pernah akur, deh." Ibu menjadi penengah, sementara Janet hanya tersenyum simpul setiap melihat tingkah kita yang seperti ini. "Pokoknya Ethan, kamu kejar karir kamu di sana, cepet-cepet lamar Janet."

"Eh, iya bu," jawabku sedikit salah tingkah.

***

Februari 2016, Denpasar

"Kamu dari mana kok baru angkat telepon?" tanya Janet ketika aku baru bisa mengangkatnya setelah 4 panggilannya hari ini tak terjawab.

"Ya kan kalau kerja aku memang jarang pegang HP, sayang."

"Itu lagi alasannya. Basi tahu, nggak?"

"Ada apa kamu telepon aku?"

"Ya nggak ada apa-apa. Aku cuma pengin ngobrol aja. Memang nggak boleh?"

"Janet, berapa kali kita bahas ini? Kalau bukan hal penting, kamu nggak perlu nelepon sampai berkali-kali gitu. Lewat chat bisa, kan? Aku juga pasti bales kok."

"Jadi menurut kamu komunikasi kita nggak penting? Kamu kenapa sih jadi aneh gini?" Janet bertanya dengan nada tinggi.

"Aneh apanya? Aku cuma capek baru balik kerja dan ditodong dengan hal sepele kayak gini. Udah ya, aku mau istirahat."

"Ethan, aku belum selesai ngomong."

***

Mei 2016, Bandung

Namanya hubungan, jarak jauh pula, memang tidak menjamin bahwa hubungan akan baik-baik saja seperti awal cerita. Aku dan Janet memang sering beradu paham yang sesekali tidak sejalan. Tapi ujung-ujungnya semua akan baik-baik saja seperti biasa.

Maka kali ini aku dan dia sengaja datang ke Bandung untuk mengisi waktu akhir pekan. Apalagi kami sudah sangat jarang bertemu.

"Kerjaan di kantor gimana, lancar?" tanyaku sambil fokus menyetir.

"Lancar kok, sayang. Kamu sendiri gimana?"

"Ya begitulah. Lancar sekaligus capek."

Tempat wisata Gunung Tangkuban Parahu menjadi destinasi utama kami hari ini. Meski terkena jebakan macet saat di jalan, tapi itu sama sekali tidak menyurutkan semangat untuk menghabiskan waktu berdua bersama kekasih. Terlebih tempat yang kami datangi memiliki pesona pemandangan yang sangat memanjakan mata.

Banyak foto yang didokumentasikan lewat ponselku juga ponselnya. Beberapa foto mesra pun sengaja diunggah di Instagram dan Facebook sebagai bukti bahwa hari ini kami sedang bersama. Tidak lupa juga memberi caption manis sebagai pelengkap.

Dengan jaket tebal yang masing-masing dipakai, aku dan Janet beristirahat sementara di salah satu kedai makan dekat lokasi. Beberapa topik ringan tentu jadi obrolan menarik, seperti kabar keluarga masing-masing serta kegiatan apa saja yang akhir-akhir ini sedang dilakukan.

Dan seperti biasa, Janet mencari bahan pembicaraan yang tidak kuduga sebelumnya.

"Than, kamu rencana nikah mau umur berapa?"

***

Desember 2016, Denpasar

"Janet sayang, dengar aku dulu. Aku juga maunya tahun baru ini aku pulang ke Jakarta ketemu kamu, Ibu, dan adik aku. Tapi mau gimana lagi, proyek kerjaan di sini sama sekali nggak bisa ditinggal."

"Apa susahnya ambil cuti, sih? Kamu kan udah setahun lebih kerja di sana."

"Kalau aku bisa, aku udah kasih kabar kamu, lah. Ini urgent banget sampai aku nggak bisa meninggalkan pekerjaan."

Ada desah napas panjang sebelum Janet melanjutkan kembali kata-katanya. Aku tahu, dia pasti sangat marah mengetahui bahwa aku tidak bisa pulang akhir tahun ini. Padahal Ibu dan adikku sudah biasa mengerti dengan keadaan seperti ini. Tapi kenapa perempuan ini tidak?

"Kamu pilih aku atau kerjaan?"

"Janet, itu bukan sesuatu yang harus dipilih."

"Masalahnya kamu nggak sekali dua kali gini, Than. Sering banget. Bahkan sejak kita pergi ke Bandung waktu itu, kita udah nggak pernah ketemu lagi, lho. Kamu sadar nggak, sih?"

Perdebatan soal jarak, waktu, dan prioritas, lagi-lagi mengusik kehidupan kami. Tidak ada yang mau mengalah. Semua masih kukuh pada egonya masing-masing.

***

April 2017, Jakarta

Tanggal 8 April ini adalah hari ulang tahun Janet yang ke-24. Aku sengaja mengambil cuti panjang untuk datang ke Jakarta agar bisa merayakannya langsung bersama Janet. Terakhir kami merayakan ulang tahun bersama kalau tidak salah dua tahun lalu sebelum aku kerja di Bali.

Jam sepuluh pagi hari itu aku sudah berada di depan rumahnya dengan membawa sebuket bunga dan hadiah yang dibungkus kertas cantik. Aku yakin, dia pasti suka.

"Surprise!" kataku riang ketika ia membuka pintu. Jelas, ia sangat terkejut.

Di situ aku menyadari bahwa Janet bukan sekadar terkejut saja. Dari tatapannya itu aku tahu ia tidak seperti menerima kehadiranku.

Ia memintaku untuk masuk. Tapi aku memilih untuk diam di luar saja dengan alasan tidak akan lama di sini.

"Kenapa kamu nggak bilang mau ke Jakarta, sih? Hari ini pula. Aku udah ada janji sama orang masalahnya, makanya aku kaget," kata Janet memberi alasan.

"That's okay. Kamu mau pergi sama supervisor kamu itu, kan? Harusnya aku sadar, ternyata ada orang yang bisa menggantikan posisi aku di sini."

"Ethan, ini nggak seperti yang kamu pikir. Semuanya murni masalah kerjaan. Aku nggak cuma berdua doang. Lagian sejak kapan sih kamu jadi cemburuan gini?"

"Apapun alasannya, aku nggak peduli."

Detik itu juga, aku pergi dari rumahnya. Jatah seminggu cuti itu pun hanya aku habiskan bersama keluarga saja, tanpa Janet. Entahlah, aku butuh waktu sendirian tanpa perempuan itu untuk menjernihkan semua pikiran. Hanya sebentar saja.

***

Juli 2018, Denpasar

Pantai Kuta di sore hari menjadi waktu sempurna untuk menanti kehadiran senja. Bersama Janet di sampingku, kami duduk berdua beralaskan pasir putih. Air laut sesekali datang membuat kaki basah, memecah keheningan oleh dua insan yang belum saling bicara.

Aku tahu sejak dua minggu lalu bahwa ia akan datang ke sini dari karyawisata kantor. Aku tidak senang, tapi bukan berarti tidak suka. Ini hanyalah pertemuan yang tidak disengaja. Tidak ada yang istimewa di dalamnya.

"Beberapa tahun ini hubungan kita nggak karuan, ya." Janet membuka percakapan. Aku menatapnya sekilas, kemudian kembali melihat suasana laut.

"Iya, aku juga ngerasa gitu. Aku jadi kangen kita yang dulu. Yang belum punya beban pekerjaan dan cuma mikirin tugas sekolah ataupun kuliah."

"Than, menurut kamu hubungan kita mending gimana, ya? Apa kamu berpikir yang sama kayak aku?"

Kini kita saling menatap satu sama lain. Ada senyuman yang terlukis di wajahnya, yang bahkan aku tidak ingat kapan terakhir kali melihat senyuman tulus itu.

Jika bertanya bagaimana hubungan ini, sejujurnya aku ingin semuanya berakhir. Aku ingin fokus pada karir tanpa perlu melukai perasaan siapapun, terlebih perasaan Janet.

"Ini bukan akhir segalanya, kan?" Aku balik bertanya, memastikan.

"Ya bukan, lah," jawabnya tertawa. "Aku rasa ini memang yang terbaik."

"Sementara ini memang perlu waktu sendiri-sendiri dulu, sih. Dan ya... sebagai sahabat, seperti waktu pertama kenal dulu. Iya, nggak?"

"Nah, itu poinnya. Kita udah sama-sama dewasa ini. Nggak perlu ada lah istilah mantan dan lain-lain. Kalaupun kita jodoh, nanti juga dipertemukan lagi."

"Love you, Janet."

"Love you too, Ethan."

Janet menyandarkan kepalanya di bahuku. Kami tetap di sini menikmati suasana pantai dan tenggelamnya matahari yang berwarna jingga pekat. Memang, hubungan kami berhenti sampai di sini. Tapi yang namanya persahabatan seharusnya tidak boleh berakhir, bukan?

Setidaknya aku pernah jadi orang penting di hidupnya, begitu pula dia yang pernah jadi orang penting dalam hidupku. Meski hanya sebatas pernah, sampai kapapun aku akan tetap menyayanginya sebagaimana saat pertama kali mengenalnya.

Kita yang Hanya Sebatas Pernah - Selesai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun