"Sampai jumpa enam bulan lagi," kataku sambil mengecup keningmu.
Roda koper perlahan berputar. Aku membawa langah kaki semakin jauh dari tempatmu berdiri. Kini aku harus bisa berdaptasi untuk tinggal sendirian di sana tanpa tahu bagaimana perkembangan anak yang sedang dikandung oleh istriku sendiri.
Satu hal yang aku harapkan adalah... aku bisa hadir di proses persalinanmu, melihat anak pertama kita lahir, menggendongnya, juga mengecupnya. Ya, semoga.
***
September 2008
Ternyata tidak begitu sulit berdaptasi di negeri orang. Banyak orang Indonesia tinggal di sini, baik itu untuk menetap atau sebagai tamu sepertiku yang hanya dalam beberapa waktu saja. Di beberapa tempat makan pun menyediakan menu khas masakan Indonesia. Tapi tetap saja masakan istrikulah yang terbaik.
Dua atau tiga hari sekali aku menghubungimu untuk tahu bagaimana keadaan di sana. Kita lebih sering berkomunikasi lewat email, tapi sesekali juga menggunakan ponsel meski biaya pulsanya tidaklah murah. Untungnya juga teman satu kamarku, Kim, bersedia meminjamkan laptop. Kita bisa bertatap muka langsung melalui aplikasi Skype. Meski jauh, tapi hati kita tetap dekat. Iya, kan?
"Gimana keadaan kamu?" tanyaku di depan laptop, melihat postur tubuhmu yang semakin berisi.
"Aku baik. Anak kita juga sehat. Katanya, dia rindu pengin denger suara ayahnya."
"Bilang ke dia, jangan dulu lahir ke dunia sebelum aku pulang."
Ketika hendak tidur setelah percakapan 30 menit itu, wajahmu terus terbayang dalam benakku. Ini baru bulan kedua aku meninggalkan Indonesia. Tapi, rasa kangen ini mulai tumbuh liar dalam perasaanku. Aku ingin bertemu istriku, segera.