Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | "Playlist 07: Kangen"

22 Juli 2018   19:47 Diperbarui: 22 Juli 2018   19:59 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
image by id.fanpop.com

Juni 2008

"Apa? Australia?"

Aku ingat, itulah respon pertamamu ketika tahu bahwa beasiswa yang aku ajukan setengah tahun lalu ternyata membuahkan hasil. Kabar baiknya, aku diterima di salah satu universitas di Kota Perth untuk melanjutkan pendidikan S2. Namun kabar buruknya adalah kita tidak bisa bertemu untuk waktu yang cukup lama.

"Apapun yang terjadi, kamu harus tetap ke sana. Kapan keberangkatannya?" tanyamu dengan antusias.

Di meja makan dapur rumah kita dengan hidangan sarapan yang kamu buat setengah jam yang lalu, aku menggenggam tanganmu erat. Mata kita kemudian saling berpandangan. Aku tahu, ada tatapan ragu dalam matamu itu.

"Kinar, itu artinya kita akan sulit bertemu. Kita suami istri dan kamu sedang mengandung. Mana bisa aku meninggalkan kamu sendirian di sini?"

Kamu terdiam sesaat, lalu tersenyum.

"Dimas, apa kamu lupa bahwa kamu benar-benar mengincar beasiswa ini? Kamu yakin akan melepasnya begitu saja?"

***

Juli 2008

Lima minggu setelah membuat keputusan yang berat itu, kamu mengantarku ke bandara. Semua masih baik-baik saja. Kita berpelukan erat beberapa saat sebelum aku pergi dengan koper besar ini. Untungnya ada Kirana, adikmu yang bersedia menemani di rumah selama aku pergi.

"Sampai jumpa enam bulan lagi," kataku sambil mengecup keningmu.

Roda koper perlahan berputar. Aku membawa langah kaki semakin jauh dari tempatmu berdiri. Kini aku harus bisa berdaptasi untuk tinggal sendirian di sana tanpa tahu bagaimana perkembangan anak yang sedang dikandung oleh istriku sendiri.

Satu hal yang aku harapkan adalah... aku bisa hadir di proses persalinanmu, melihat anak pertama kita lahir, menggendongnya, juga mengecupnya. Ya, semoga.

***

September 2008

Ternyata tidak begitu sulit berdaptasi di negeri orang. Banyak orang Indonesia tinggal di sini, baik itu untuk menetap atau sebagai tamu sepertiku yang hanya dalam beberapa waktu saja. Di beberapa tempat makan pun menyediakan menu khas masakan Indonesia. Tapi tetap saja masakan istrikulah yang terbaik.

Dua atau tiga hari sekali aku menghubungimu untuk tahu bagaimana keadaan di sana. Kita lebih sering berkomunikasi lewat email, tapi sesekali juga menggunakan ponsel meski biaya pulsanya tidaklah murah. Untungnya juga teman satu kamarku, Kim, bersedia meminjamkan laptop. Kita bisa bertatap muka langsung melalui aplikasi Skype. Meski jauh, tapi hati kita tetap dekat. Iya, kan?

"Gimana keadaan kamu?" tanyaku di depan laptop, melihat postur tubuhmu yang semakin berisi.

"Aku baik. Anak kita juga sehat. Katanya, dia rindu pengin denger suara ayahnya."

"Bilang ke dia, jangan dulu lahir ke dunia sebelum aku pulang."

Ketika hendak tidur setelah percakapan 30 menit itu, wajahmu terus terbayang dalam benakku. Ini baru bulan kedua aku meninggalkan Indonesia. Tapi, rasa kangen ini mulai tumbuh liar dalam perasaanku. Aku ingin bertemu istriku, segera.

Oktober 2008

16 Oktober 2008

Hai, suamiku. Semoga kabar kamu baik di sana. Mungkin kamu sibuk, sampai aku telepon hari ini tidak diangkat. Tapi tidak apa-apa, aku bisa mengerti kok :)

Hari ini aku datang ke dokter untuk memeriksa kandungan. Seperti yang kamu harapkan, kata dokter kemungkinan besar anak kita berjenis kelamin laki-laki. So happy to tell you this! 

Let's go home. I miss you. So much.

Salam cinta,

Kinar

***

Aku keluar kamar sesegera mungkin setelah membca emailmu, menemui teman asramaku yang juga orang asli Indonesia. Setelah tiga kali aku ketuk pintu kamarnya dengan cukup keras, laki-laki berkacamata itu keluar dengan wajah yang menyimpan banyak pertanyaan.

"Rudi, saya pinjam gitar kamu, ya. Malam ini saja, please."

Tanpa basa-basi, ia masuk lagi ke kamar untuk mengambil gitar warna coklatnya.

"Mau nyanyi lagi sama orang Korea itu?"

"Bukan. Sudah ya, thanks," jawabku singkat mengambil gitarnya.

Sama halnya dengan Rudi, laki-laki asal Korea Selatan teman sekamarku juga mengerutkan kening ketika melihatku dengan terburu-buru masuk kamar dan memainkan ponsel untuk membuka perekam suara.

"Ssstt I want to sing with this guitar. Please don't make a noise."

Selanjutnya saat ponsel sudah siap merekam suara apapun yang terdengar, aku memainkan gitar ini dengan perlahan, membuat alunan musik yang siap mengiringiku bernyanyi.

Kuterima suratmu, t'lah kubaca dan aku mengerti...

Betapa merindunya dirimu akan hadirnya diriku, di dalam hari-harimu...

Bersama lagi...

Kau bertanya padaku, kapan aku akan kembali lagi...

Katamu kau tak kuasa menahan gejolak di dalam dada...

Yang membara menahan rasa, pertemuan kita nanti...

Saat kau ada di sisiku...

Aku terus memainkan gitar ini dengan membayangkan wajah Kinar. Sudah 3 bulan aku tidak bertemunya, tidak merasakan hangat peluknya ketika tidur, juga tidak lagi merasakan kecupan keningnya yang membangunkanku saat pagi hari.

Maka, ketika menyanyikan lagu ini dengan alunan akustik, aku benar-benar menghayatinya.

Semua kata rindumu semakin membuatku tak berdaya...

Menahan rasa ingin jumpa...

Percayalah padaku akupun rindu kamu, ku akan pulang...

Melepas semua kerinduan yang terpendam...

Setelah itu aku menyimpan file rekaman suara tadi ke laptop milik Kim, membuka email dan mengunggahnya untuk dikirim ke istirku di sana. Tidak lupa juga aku menuliskan betapa senangnya diri ini karena akan memiliki anak laki-laki.

***

Desember 2008

Jarak dan waktu ternyata tidak bisa memberikan toleransi lebih lama lagi atas hubungan jarak jauh ini. Aku tahu, kita sama-sama terjerat rindu. Tapi keegoisan pada diri masing-masing juga terus memberontak. Kamu tidak bisa lagi menerima alasanku jika telepon tidak diangkat. Bahkan ketika aku mengirim email berkali-kali, tidak ada satu pun yang dibalas. Intinya kita sama-sama butuh perhatian.

Aku juga jadi lebih sering menanyakan kabarmu lewat Kirana, adikmu. Dia memberiku informasi tentang keadaan kamu di sana. Begitu lega ketika tahu bahwa dirimu baik-baik saja. Mungkin beberapa saat lagi hubungan kita bisa kembali membaik.

Namun, semua tidak seindah yang aku pikirkan. Pikiranmu jadi semakin kacau. Hubungan kita semakin rumit. Tidak ada lagi canda dan tawa. Aku seperti tidak mengenal Kinar yang dulu. Semuanya benar-benar berubah. Seminggu lamanya kita tidak berkomunikasi. Aku sibuk pada urusan kuliah, kamu juga sibuk pada kehidupanmu di sana.

Beberapa hari setelah Hari Natal tiba, aku mendapat telepon dari Kirana bahwa kamu masuk rumah sakit dengan kondisi yang sangat lemah. Mungkin itu disebabkan karena kamu terlalu banyak pikiran. Saat itu, dunia seakan berhenti. Yang bisa aku pikirkan adalah aku harus segera pulang ke Indonesia. Sekarang juga.

"Hey, hey, what are you doing?" tanya Kim kebingunan melihat aku sedang memasukkan baju ke koper besar.

"I have to go. My wife is in dangerous condition. She needs me."

"No, you can't!"

Ya, tidak mungkin aku mendadak pergi. Secara peraturan pun aku baru bisa pulang ke Indonesia setelah 6 bulan. Dan ini baru bulan ke-5.

Di kamar, aku langsung menangis sejadi-jadinya. Aku ingin pulang dan menemani Kinar di sana secara langsung. Tapi aku tidak bisa pergi dan hanya bisa mendoakan istriku dari sini agar kondisinya baik-baik saja.

***

Januari 2009

Hari ketiga di tahun 2009 menjadi sejarah penting dalam hidupku. Anak laki-lakiku lahir dengan selamat. Meski saat itu aku tidak ada di sana, tapi aku bisa mendengar suara tangisnya lewat telepon yang disambungkan oleh Kirana. Keadaanmu masih lemah sehingga belum bisa bicara denganku.

Teman-teman di kampus termasuk Kim dan Rudi memberiku selamat. Aku sangat senang sampai tiap waktu menelepon ke Indonesia hanya untuk sekadar mendengar tangisan anakku.

Aku akan segera pulang, Nak. Tunggu sebentar lagi.

Keesokan harinya aku dan kamu bisa bicara lewat sambungan telepon. Suasana sudah mencair. Keegoisan pada diri masing-masing perlahan hilang. Kita sepakat untuk melupakan konflik yang kemarin menganggu.

"Maaf aku nggak bisa hadir di kelahiran anak kita," kataku pelan.

"Nggak apa-apa. Aku juga mau minta maaf atas sikap aku waktu itu."

"Seminggu lagi aku pulang. Nanti aku langsung ke rumah sakit untuk ketemu kamu dan anak kita."

"Oke, aku tunggu kedatangan kamu."

***

Menunggu waktu satu minggu seperti menunggu satu tahun bagiku. Aku lebih sering mengecek ponsel untuk memastikan tanggal. Takut-takut jika aku sampai lupa hari keberangkatanku ke Indonesia. Kim menjadi yang paling semangat membantuku membereskan semua yang kubutuhkan dalam keberangkatan ke Indonesia, padahal beberapa hari lagi pun dia harus pulang ke negara asalnya.

Memakan waktu beberapa jam, akhirnya aku sampai di bandara Soekarno Hatta. Di sana aku dijemput oleh kakakku, Aris dan Ibuku. Selain sudah lama tidak bertemu dengan istri sendiri, aku pun sudah lama tidak bertemu mereka berdua. Aku langsung memeluk mereka erat.

"Selamat, kamu udah jadi ayah sekarang," kata Ibu yang membuat mataku berkaca-kaca.

"Ayo, kita ke rumah sakit sekarang," ajak Aris tanpa basa-basi.

Sekitar satu jam di perjalanan menggunakan mobil, kami bertiga sampai di rumah sakit dan segera menuju kamar tempat dirimu dirawat. Begitu tiba di kamar tujuan, kamu sedang berbaring di tempat tidur ditemani oleh Kirana dan orang tuamu.

Aku mengecup keningmu pelan sebagai pembalasan atas rindu yang akhirnya pulang ke tempat asalnya. Begitu bahagia bisa melihatmu sehat seperti ini. Di samping tempatmu tidur, ada tempat tidur kecil yang dikhususkan untuk tempat bayi yang baru lahir. Buru-buru aku mendekat untuk melihat anak pertamaku itu.

Tapi begitu melihat ke tempat tidur tersebut, aku kaget. Benar-benar kaget.

Di sana bukan hanya ada satu bayi. Tapi dua. Atau jangan-jangan...

"Maaf aku menyembunyikannya dari kamu. Tapi sejak awal pemeriksaan USG, dokter bilang aku mengandung anak kembar. Dan dua-duanya laki-laki."

Air mata langsung jatuh membasahi pipi. Ini benar-benar sebuah kejutan besar.

"Selamat ya, Mas, kamu punya dua jagoan kecil sekarang," kata Kirana.

Aku menggendong satu persatu dari mereka, melihat wajahnya, lalu menciumnya bergantian. Keduanya sangat mirip denganku. Begitu menggemaskan.

Kupeluk erat semua yang ada di ruangan itu mulai dari Ibu, Aris, Kirana, dan kedua mertuaku. Terakhir, aku mengecup kembali kening istriku, menggenggam tangannya erat.

"Terima kasih telah memberiku anugerah terbesar dalam hidup. Aku janji akan menjadi suami dan seorang ayah yang bisa dibanggakan oleh keluarganya. Sekali lagi, terima kasih."

***

Playlist 07 -- Selesai

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun