Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Burung-burung Impersonate

21 Maret 2021   09:10 Diperbarui: 21 Maret 2021   09:22 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Remi punya rutinitas baru. Memberi makan burung-burung di pekarangan belakang rumahnya. Khususnya emprit alias pipit. Makanannya nasi sisa makan dan hasil rendaman kerak magic com.

Tiap pagi Remi meletakkan segepok nasi di atas papan kayu datar di dekat tanaman singkong. Tak lama setelahnya, segerombolan emprit akan berdatangan dan memakannya. Jika Remi lupa, beberapa perwakilan emprit akan masuk ke dapurnya. Mencari-cari makanan. Jika melihatnya, Remi pasti merasa diingatkan. Ia segera ingat akan "kewajibannya" menyediakan makanan. Jatah preman.

Remi suka mengamati burung-burung itu makan. Dari kejauhan. Karena kalau kedekatan, mereka pasti bubar. Beterbangan.

Namun, pagi ini agak lain. Saat mengamati burung-burung itu makan, beberapa di antaranya bergerombol berjalan sambil melompat-lompat mendekatinya. Genit sekali tingkah mereka. Remi merinding. Ia merasakan keanehan.

"Pagi, Mbak Remi," sapa seekor emprit paling gendut.

Remi tercengang. Ia merasa sedang berhalusinasi. Tapi dasar Remi. Merasa halusinasinya lucu, ia membiarkannya saja. Melanjutkannya saja.

"Pagi, Prit," balasnya ramah.

"Tumben berani mendekat. Ada apa, nih?" sambungnya.

"Kami ingin beri tebakan untukmu. Kami akan menirukan orang-orang sebangsamu. Kamu tebak siapa dia, oke?" kata si emprit gendut.

Remi terbahak.

"Hahaha.. boleh..boleh. Tapi jangan diulang ya. Setiap kalian memperagakan tokoh yang berbeda."

"Oke!" jawab para emprit serempak.

"Kami mulai, yaa," kata emprit gendut sambil bersiap. Ia berbalik membelakangi Remi, merapikan bulu kepalanya, lalu berbalik menghadap Remi.

Remi terkesiap. Ia melihat si burung itu seperti memakai peci. Hitam. Kini ia fokus mengamati.

"Hmm.. yiaw..karna kita semangkin lama semangkin..."

"Pak Harto!" pekik Remi. Suara seperti itu sudah sering didengarnya. Gestur si emprit juga mendukung tebakannya. Tapi...

"SALAH!" para emprit berucap serempak sembari cekikikan.

"Lho, kok bisa salah?" Remi protes.

"Bukan Pak Harto,"kata si emprit gendut.

"Lalu...?"

"Butet Kertarajasa!" kata si emprit tergelak.

"Ooooalah..sialan kalian. Oke, ya sudah. Berikutnya,"kata Remi.

Kali ini seekor burung kurus. Kepalanya berjambul. Putih. Mirip uban. Ia berjalan pelan, terbungkuk.

"Ini kakaktua?" tanya Remi.

"Bukan. Ini kakek tua" jawab si burung sambil melotot.

Remi kaget. Meski terkesan sudah tua sekali, tatapannya tajam. Seperti elang. Eh, bukan. Seperti burung hantu, kokok beluk. Agak sedikit sinis. Remi mulai menebak-nebak siapa tokoh yang diperagakan si burung.

"Jadi, semua sekarang harus sepakat.......," suara si burung terdengar diseret-seret. Khas orang tua zaman dulu. Intonasi standar saat menggurui anak atau cucunya.

Si burung tak banyak gerak. Hanya terlihat mulutnya eh, paruhnya bergerak-gerak saat berbicara. Remi masih belum paham. Ia menggeleng.

Si burung agak jengkel. Sudah all out tokoh pilihan ia perankan, tak juga Remi paham. Sekarang ia berbalik. Terlihat di ekornya ada tulisan. Dua huruf. AB.

"A..B.. apaan, tuh?" Remi tak paham.

Si burung kembali berbalik menghadap Remi.

"Ini AB. Dalam AB sudah terkandung B. Paham?" tanya si burung.

"A-B apaan, sih? Plat nomor kendaraan?"

"I..yup!" si emprit menjawab senang.

"AB itu plat Jogjakarta, kan? Kalau B itu plat Jakarta. Lalu artinya apa?" tanya Remi masih bingung.

"Dalam Jog-Jakarta sudah terkandung Jakarta. Jadi, kalau aku janji mau jalan kaki ke Jakarta, aku cukup jalan di Jogjakarta, lalu nutupin JOG-nya. Itu sudah sah..hehe," si burung terkekeh.

"Ooo.. dasar politikus. Eh, iya.. iya, bebarti kamu menirukan kakek itu, yaa. Hah.. sudah tertebak. Next!"

"Iya. Tapi kamu butuh clue. Tidak bisa menyimpulkan dari awal." Kata si burung lalu mundur. Seekor emprit lain gantian maju. Ia melenggak-lenggok seperti peragawati.

"Silakan," kata Remi tak sabar.

Si burung mengucap salam sebentar. Lalu diam. Seakan berkonsentrasi. Tatap matanya tiba-tiba mengerjap-ngerjap cepat, air matanya mengembang, dan.....mulailah ia terisak.

"Hah..sudah..sudah. Sudah tertebak. Itu pasti si emak-emak yang ke mana-mana ngaku penulis best seller. Piawai mengawali premis dengan nangis. Iya, kan?" kata Remi yakin.

"Hmm.. terserah..," jawab si burung, lalu mundur.

Remi tergelak. Si burung ini gengsinya gedhe. Tidak mau mengakui. Mungkin masih terdikte perannya sendiri barusan.

"Next," sambung Remi.

Kali ini burung peraganya berbadan besar. Dan lebar. Ia maju ke depan Remi. Memandang ke kanan, kiri, dengan tatapan jumawa dan marah. Beberapa kali ia terlihat meletakkan tangan..eh sayapnya ke dadanya. Bersuara sebariton mungkin sambil menyuarakan..

"Saya prihatinh.." (memang ada huruf h-nya).

"Hwaa...aku tahu..aku tahu, "pekik Remi.

"Siapa?" tanya si burung.

"S-B-Y, khan?" tanya Remi.

"BETULLLL," kata para burung serempak.

"Eh, sebentar. Tadi kan kalian sudah janji tidak mengulang tokoh yang kalian tirukan? Ini kok diulang. Tadi kan, sudah. Tuh, burung yang gendut tadi yang memeragakan." Kata Remi.

"Heh, memangnya SBY yang kamu maksud barusan siapa?" tanya seekor burung.

"Si Butet Yogya!" jawab Remi.

"Ooooo," serempak burung-burung memadu suara.

"Iya, kan?" tanya Remi.

"Huuuuu SALAH!" jawab para burung serempak. Mereka pun bubar. Meninggalkan Remi yang terkekeh sendirian. Segepok nasi yang semula di atas papan kayu datar sudah tandas tak bersisa.

--

Badranayang, 21 Maret 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun