Suara Mak Odah yang melengking tinggi itu segera direspon dengan kedatangan para tetangga. Lik Dayat yang sedikit tahu ilmu kesehatan mendekatkan jarinya ke hidung si Jon. Tak ada napas, batinnya. Ia pun meraba denyut nadi si Jon. Ia pun menggeleng.
"Sudah tidak ada," katanya lirih. Mak Odah pingsan.
**
Pagi itu Mak Odah kedatangan seseorang yang mengaku "warga peduli" bernama Pokijan yang ditemani seorang pengacara. Pokijan menawarkan bantuan hukum jika Mak Odah mau mengajukan gugatan pada pemerintah atas meninggalnya si Jon akibat tingginya harga daging sapi. Mak Odah menolak.
Mak Odah merasa matinya si Jon tak ada hubungannya dengan pemerintah. Meski masih tersisa kejengkelan, Mak Odah berusaha ikhlas melepas kepergian si Jon. Si Jon sendiri yang tak mau makan. Mak Odah sudah menyediakan. Meski ternyata Mbok Sarum ikut makan, sisanya masih cukup banyak untuk kebutuhan nutrisi si Jon seorang seharian.
Satu hal yang orang lain tak tahu. Bahwa sebenarnya Mak Odah berhenti menyediakan daging sapi bukan karena tak mampu beli. Memang benar adanya jika Mak Odah ingin memberi anaknya pelajaran, tetapi itu bukan satu-satunya alasan. Mak Odah memutuskan berhemat supaya uangnya cukup untuk menebus giwangnya di pegadaian.
"Saat ini kami juga sedang memberikan advokasi untuk para keluarga korban yang meninggal saat kemacetan arus mudik kemarin."
Mak Odah tersentak. Lamunannya buyar. Suara Pokijan barusan mengagetkannya.
"Apa? meninggal karena kemacetan? Kok bisa? Advokasi? Maksudnya?" tanya Mak Odah penasaran.
"Iya. Ada beberapa orang meninggal saat mudik lebaran. Mereka berada di dalam mobil ber-AC, tetapi AC-nya tak dihidupkan sehingga pengap dan kesulitan bernapas Kami arahkan untuk menuntut pemerintah yang kurang tanggap mengantisipasinya."
"Kalau pengap karena AC tak dinyalakan, kenapa pemerintah yang disalahkan?"