Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Mereka yang Mati karena Harga Daging Sapi Tinggi

15 Juli 2016   10:39 Diperbarui: 15 Juli 2016   18:17 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Shutterstock

Mak Odah menangis meraung-raung. Markijon alias si Jon, anak semata wayangnya yang bujangan tampan dipanggil Tuhan. Bukan sakit, bukan kecelakaan; si Jon mati karena kelaparan.

Berita matinya si Jon menyebar dari mulut ke mulut. Mulut tetangga sebelah masih lempeng beritanya karena info A1 referensinya, Mak Odah. Tapi mulut tetangga desa sebelah sudah nggak karuan mengunyah dan memuntahkan kembali beritanya. Jadilah berita si Jon miring ke mana-mana bak orang mabuk memaksa jalan tegak ala tentara.

"SI JON MATI KARENA PEMERINTAH TAK MAMPU TURUNKAN HARGA DAGING SAPI." Begitulah kira-kira inti berita miringnya. Orang-orang pun ramai membicarakannya, baik dalam obrolan nyata maupun obrolan maya via social media. Lucunya, matinya si Jon cuma dijadikan entry point saja untuk masuk ke tema utama menghujat pemerintah cq para pejabatnya.

Menurut versi tetangga sebelah Mak Odah, daging sapi bagi si Jon merupakan makanan utama dan satu-satunya. Si Jon hanya mau makan daging sapi. Hanya daging sapi. Tanpa nasi.

Tadinya si Jon tak beda dengan anak-anak lain. Si Jon mengalami perubahan pola makan sejak bergabung dengan sebuah partai beraliran putih. Sejak itu si Jon hanya mau makan daging sapi saja. Entah apa hubungan partai beraliran putih itu dengan sapi, mungkin hanya si Jon dan teman-temannya separtainya yang tahu.

Mak Odah sebenarnya keberatan dengan pola makan anaknya itu. Mak Odah seorang janda. Meski tidak miskin, kalau dikatakan kaya, sepertinya enggak juga. Tapi Mak Odah memang selalu berusaha memenuhi kebutuhan makan anaknya itu dengan sebaik-baiknya. Maka daging sapi selalu ada di meja makan Mak Odah sehari-harinya.

Namun, sejak harga daging sapi membumbung tinggi, porsi si Jon terpaksa dikurangi. Yang biasanya dua kilo sehari dikurangi jadi satu seperempat kilo saja. Itu pun Mak Odah terpaksa menggadaikan giwangnya. Si Jon yang merasa mengalami kerugian asupan material abdominal akhirnya menuding pemerintah tak mampu mengendalikan harga bahan pangan.

Mak Odah sering juga menjadi tempat si Jon meluapkan kejengkelan. Tapi Mak Odah hanya diam. Kalau boleh memilih, ia lebih suka jika pola makan si Jon kembali wajar seperti dulu lagi saja. Mak Odah tak peduli mampu tidaknya pemerintah mengendalikan harga daging sapi.

Alih-alih benci pada pemerintah, Mak Odah justru kesal pada segala macam partai-partaian, muak pada segala macam aliran-aliran, terutama yang mewajibkan anggotanya menjadi sapitarian. Apalagi yang mengerahkan anggotanya untuk menyebarkan segala bentuk kebencian dengan memanfaatkan dangkalnya penalaran orang-orang. Hingga akhirnya Mak Odah mengambil keputusan, si Jon harus disadarkan.

"Jon, tolong kali ini kamu ikuti kata Emak," kata Mak Odah serius.

"Tergantung, Mak," jawab si Jon santai.

"Heh.. soal makanmu itu. Emak ingin kamu seperti yang dulu. Makan seperti orang-orang lain pada umumnya. Bukan hanya mau makan kalau daging sapi saja. Kamu tak akan mati kalau memakan makanan lainnya, kan?"

"Sudahlah, Mak. Kita sudah sering membahasnya. Jalan ini sudah kupilih. Menjadi sapitarian adalah bukti dukunganku pada keadilan dan kesejahteraan umat."

"Dukungan apa? Yang Emak tahu, selain pola makanmu yang aneh itu, setiap hari kamu selalu saja mengeluh ini itu, menyalahkan sana-sini, mengajak membenci si ini si itu. Apa seperti itu caranya mendukung keadilan?"

"Itu sudah keputusanku, Mak. Cara perjuanganku memang seperti itu. Hanya kami yang paham. Orang luar biasanya menganggapnya berlebihan."

"Kamu memang berlebihan, Jon. Tahu apa kamu tentang perjuangan, ha? Perjuangan itu Emakmu yang tiap hari banting tulang menyediakan daging sapi buatmu. Mulai hari ini, kamu makan makanan yang ada saja. Emak nggak akan menyediakan daging sapi lagi. Daging sapi sekarang terlalu mahal, habis gaji Emak hanya untuk biaya kamu makan. Kebutuhan kita yang lain tak terbeli, tak terbayar."

"Mahalnya daging sapi itu kan bukti ketidakbecusan pem.."

"Sudah, Jon. Cukup!" Mak Odah setengah berteriak lalu menghilang ke balik pintu.

Mak Odah marah. Sejak saat itu ia benar-benar menghentikan pengadaan daging sapi di meja makannya. Sebagai gantinya, ia sediakan sayuran, tempe, tahu, serta nasinya. Kadang-kadang ikan dan daging ayam ikut dihidangkan. Mak Odah mengira kalau si Jon lapar pasti mau memakan apapun yang tersedia dan bisa dimakan, tak harus daging sapi yang menyebabkan Mak Odah terpaksa merelakan giwangnya disandera pegadaian.

Namun, prediksi Mak Odah keliru. Kesetiaan dan keyakinan si Jon pada partai yang diikutinya sudah sampai level filsafatul hakikat yang tidak mengenal lagi istilah introspeksi.

Hingga berhari-hari kemudian Mak Odah tetap menyediakan makanan non-sapi di meja makan sebelum berangkat kerja. Toh ia selalu menjumpai makanan yang disediakannya berkurang secara signifikan. Hal itu menjadikannya lega bukan kepalang. Ia yakin si Jon akhirnya mau mengubah pola makannya menjadi normal kembali. Hanya saja Mak Odah lupa kalau ia selalu menawari Mbok Sarum tetangganya untuk makan di rumahnya. Hingga suatu pagi Mak Odah histeris menemukan si Jon tergeletak di depan pintu kamarnya sendiri.

"Jon…Jon.. bangun, Jon. Tolong…..‼"

Suara Mak Odah yang melengking tinggi itu segera direspon dengan kedatangan para tetangga. Lik Dayat yang sedikit tahu ilmu kesehatan mendekatkan jarinya ke hidung si Jon. Tak ada napas, batinnya. Ia pun meraba denyut nadi si Jon. Ia pun menggeleng.

"Sudah tidak ada," katanya lirih. Mak Odah pingsan.

**

Pagi itu Mak Odah kedatangan seseorang yang mengaku "warga peduli" bernama Pokijan yang ditemani seorang pengacara. Pokijan menawarkan bantuan hukum jika Mak Odah mau mengajukan gugatan pada pemerintah atas meninggalnya si Jon akibat tingginya harga daging sapi. Mak Odah menolak.

Mak Odah merasa matinya si Jon tak ada hubungannya dengan pemerintah. Meski masih tersisa kejengkelan, Mak Odah berusaha ikhlas melepas kepergian si Jon. Si Jon sendiri yang tak mau makan. Mak Odah sudah menyediakan. Meski ternyata Mbok Sarum ikut makan, sisanya masih cukup banyak untuk kebutuhan nutrisi si Jon seorang seharian.

Satu hal yang orang lain tak tahu. Bahwa sebenarnya Mak Odah berhenti menyediakan daging sapi bukan karena tak mampu beli. Memang benar adanya jika Mak Odah ingin memberi anaknya pelajaran, tetapi itu bukan satu-satunya alasan. Mak Odah memutuskan berhemat supaya uangnya cukup untuk menebus giwangnya di pegadaian.

"Saat ini kami juga sedang memberikan advokasi untuk para keluarga korban yang meninggal saat kemacetan arus mudik kemarin."

Mak Odah tersentak. Lamunannya buyar. Suara Pokijan barusan mengagetkannya.

"Apa? meninggal karena kemacetan? Kok bisa? Advokasi? Maksudnya?" tanya Mak Odah penasaran.

"Iya. Ada beberapa orang meninggal saat mudik lebaran. Mereka berada di dalam mobil ber-AC, tetapi AC-nya tak dihidupkan sehingga pengap dan kesulitan bernapas Kami arahkan untuk menuntut pemerintah yang kurang tanggap mengantisipasinya."

"Kalau pengap karena AC tak dinyalakan, kenapa pemerintah yang disalahkan?"

"Sopir terpaksa mematikan AC untuk menghemat bahan bakar karena macet panjang, mesin mobil bahkan sudah dimatikan."

"Bukannya lebih baik kehabisan bahan bakar daripada bikin mati orang?"

"Di sekitar kemacetan, bahan bakar sangat mahal. Antre di SPBU sudah sangat panjang, bisa berjam-jam."

"Iya, tapi yang menomorduakan keselamatan manusia kan sopirnya yang tak mau menyalakan AC-nya itu? Demi menghemat bahan bakar, nyawa manusia dikorbankan. Gitu kan?"

"Semua itu karena kemacetan, Bu. Pemerintah yang bertanggungjawab!"

"Lho kok gitu?"

"Karena pemerintah tak hadir di situ. Saat macet, tak ada pihak pemerintah yang membantu evakuasi sehingga terpaksa ada yang meninggal karenanya."

"Kalau macet kan semuanya kena macet juga, termasuk kendaraan pemerintah, bagaimana Bapak bisa begitu saja menyalahkan pemerintah?"

"Pemerintah yang salah, Bu. Harusnya sudah bisa mengantisipasi kemacetan sejak jauh-jauh hari."

"Iya, hingga sekarang, seingat saya belum pernah ada pemerintah yang berhasil menghilangkan tradisi macet saat-saat lebaran dan liburan. Macet dalam suasana liburan dan lebaran itu biasa. Tapi kalau dengan alasan menghemat bahan bakar saat kemacetan, lalu keselamatan orang diabaikan, dan kemudian menimpakan semua kesalahan pada pemerintah, saya baru dengar sekarang."

"Tapi, Bu…."

"Sudah. Saya tidak berniat ikut-ikutan menuntut pemerintah. Ini murni kesalahan saya, kesalahan anak saya. Kesalahan saya yang terlalu memanjakan anak keras kepala. Kesalahan anak saya juga karena ia mestinya makan kalau masih ingin hidup. Mohon maaf, Bapak-Bapak, saya masih berkabung. Sudah banyak wartawan yang mewawancarai saya tadi, saya butuh istirahat."

Kedua tamu itu pun berpamitan, berbalik, berjalan, lalu lenyap di tikungan ke arah lapangan tempat mobil mereka terparkir.

Mak Odah lega setelah kedua tamunya itu pergi. Ia curiga kedua orang itu segolongan dengan si Jon, golongan yang mengajak masyarakat untuk keblinger. Hanya ada sedikit tanya tersisa di benak Mak Odah, apa mereka juga hanya doyan daging sapi saja?

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun