Mohon tunggu...
Gibran Ramadani
Gibran Ramadani Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UIN KHAS Jember

menulislah agar kau dikenang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Apakah Amaliyah NU Mempunyai Dalil? Jawaban untuk yang Meragukan Amaliyah NU

12 Juni 2022   17:12 Diperbarui: 12 Juni 2022   17:15 836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1.Tahlilan

            Belakangan ini permasalahan tahlilan kembali diungkit oleh suatu oknum, dimana mereka mencoba untuk mendoktrin masyarakat bahwa apa yang dlakukan oleh mereka yaitu tahlilan adalah hal Bid'ah dikarekan tidak ada dalil al-Quran maupun Hadits yang menjelaskan secara gamblang kebolehan melakukan tahlilan. Menurut mereka sampai saat ini belum ada satupun orang yang pro tahlilan menyebutkan dari mana mereka mendapat dalil kebolehan melakukan Tahlilan dan mereka juga berpendapat bahwa dengan mengadakan tahlilan hanya menambah beban bagi orang yang mendapat musibah tersebut.

            Bukan hanya itu mereka juga berpendapat bahwa tahlilan itu adalah ma'tam yang mana yang dimaksud hal tersebut adalah perkumpulan untuk meratapi mayyit yang dapat menambah kesusahan dan kesedihan keluarga yang ditinggal.        

            Pertama-tama perlu kita ketahui bersama, tidak semua yang tidak dilakukan dizaman Rasulullah SAW itu dilarang meskipun hal tersebut juga bisa dibilang dengan kata Bid'ah. Ada banyak fakta yang menjelaskan segala sesuatu yang tidak dilakukan nabi namun para sahabat, tabi'in, maupun tabi'u tabi'in malaksankannya dan itu diperbolehkan.

            Seperti yang dilakukan oleh Khalifah usman bin affan RA. Dahulu saat shalat jumat, adzan jumat hanya dilakukan satu kali saja, yaitu saat khatib duduk diatas mimbar. Hal itu sudah berlangsung sejak zaman nabi muhammad saw sampai zaman khalifah umar bin khattab.

            Kemudian khalifah ustman bin affan menambahkan satu adzan lagi dikarenakan waktu itu islam sudah berkembang sangat pesat dan tempat tinggalnya berjauhan. Sehingga menurut khalifah ustman bikn affan jika hanya satu kali adzan ditakutkan masyarakat ada yang tidak mendengar adzan tersebut.

            Dalam kitab shahih bukhari dijelaskan:

"Dari al-Zuhri, ia berkata, "saya mendengar darik al-Sa'ib bin yazid, beliau berkata, Sesungguhnya adzan di hari jumat pada asalnya ketika masa Rasulullah SAW, Abu bakr RA, dan Umar RA dilakukan ketika imam duduk diatas mimbar. Namun, ketika masa Khalikfah ustman bin affan RA dan kaum muslimin sudah banyak, maka beliau memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga. Adzan tersebut dikumandangkan diatas zaura (nama pasar). Maka tetaplah perkara tersebut sampai sekarang".

            Lalu juga dijelaskan:

. .

"Disunnahkan adzan dua kali untuk sholat subuh, yakni sebelum fajar dan setelahnya. Jika hanya mengumandangkan satu kali, maka yang utama dilakukan setelah fajar. Dan sunnah dua adzan untuk shalat jumat. Salah satunya setelah khatib naik ke mimbar dan yang lain sebelumnya.

            Dari pemaparan diatas sudah terjawab bahwa tidak semua yang tidak dilakukan nabi itu dilarang. Sama halnya dengan Tahlilan, dimana hal tersebut juga tidak pernah dilakukan pada zaman nabi muhammad namun ketika hal tersebut tidak keluar dari jalur syariat keagamaan.

            Menganai dalil Tahlilan memang tidak ada secara gamblang. Namun jika dilihat dari isi dari hal tersebut ada, bahkan bersumber dari Hadits yang Shahih:

, : .

"Dari Abi Huraurah RA ia berkata, "Rasulullah SAW bersabdah, "Tidaklah berkumpul suatu kaum didalam salah-satu rumah Allah SWT, sambil membaca al-Quran bersama-sama, kecuali Allah SWT akan menurunkan kepada mereka ketenangan hati, menyeliputi dengan rahmat, dikelilingi para malaikkat, dan Allah SWT memujinya dihadapan makhluk yang ada di sisi-Nya.

            Lalu juga disebutkan dalam redaksi lain:

"Telah menceritakan kepada kamu Muhammad bin al-Mutsanna dan ibnu Basysyar mereka berdua berkata "telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far telah menceritakan kepada kami Syu'bah aku mendengar Abu Ishaq bercerita dari al-A'raj Abu Muslim bahwasannya dia berkata; 'Aku bersaksi atas Abu Hurairah dan abu said Al-Khudri bahwasannya keduanya menyaksikkan Nabi Shallahu 'alahi Wasallam bersabda: "Tidaklah suatu kaum yang duduk berkumpul untuk mengingat Allah, Kecuali dinaungi oleh para malaikat, dilimpahkan kepada mereka rahmat, akan diturunkan kepada merekaketengangan, dan Allah Azza Wa Jalla akan menyebut-nyebut mereka dihadapan para makhluk yang ada disisi-Nya.

            Maka ketika melihat secara pikiran yang jernih, sebenarnya melakukan tahlilan tidak ada salahnya. Karena dalam isi tahlilan tidak ada satupun yang melanggar ketentuan syara' meskipun itu tidak pernah ada dimasa nabi, seperti yang kita ketahui bersama dari contoh diatas segala sesuatu yang tidak ada dizaman nabi belum tentu dilarang dan sahabatpun juga memberi jawaban bahwa tidak bid'ah itu haram.

            Lalu bagaimana dengan pendapat imam syafii:

.

"Dan aku tidak senang pada ma'tam yakni adanya perkumpulan, karena hal itu akan mendatangkan kesusahan dan menambah beban."

            Banyak sekali orang yang menyalahkan tahlilan dengan dalil ini. Mereka beranggapan bahwa dengan kita melakukan tahlilan kita itu melakukan ma'tam yang mana hukum dari ma'tam tersebut adalah tidak diperbolehkan dengan landasan apa yang telah dikatakan imam syafii diatas.

            Sebelum menjawab hal itu, kita harus tau apa makna sebenarnya dari kata ma'tam. Makna dari kita ma'tam adalah perkumpulan untuk meratapi mayyit yang dapat menambah kesusahan dan kesedihan keluarga yang ditinggalkan.

            Dalam kamus al-Munjid dijelaskan:

.

"Yang dimaksud ma'tam adalah kumpulan orang yang biasanya semakin menambah kesedihan. 

            Ma'tam inilah yang tidak disengani oleh imam syafii karena didalamnya berisi hal yang mencerminkan kesedihan yang mendalam dan hal itu juga tidak baik karena kematian pasti akan ada datangnya dan kita tidak usah terlalu larut dalam kesedihan. dan hal itu (ma'tam) tidak sama dengan tahlilan.

 Dari segi isi pun berbeda. Bagi masyarakat tahlilan merupakan pelipur lara dan penghapus kesedihan. semakin banyak orang yang datang maka semakin bahagia keluarga yang tertimpa musibah tersebut,  juga sebaliknya semakin sedikit orang yang datang pada acara tahlilannya maka mereka akan kecewa dan takut si mayyit kurang disenangi oleh masyarakat.

Tahlilan memang tidak ada dalil pasti dari al-Quran maupun Hadits, dan hal itu benar adanya. Namun meskipun Tahlilan tidak ada dalil pasti yang memperbolahkannya hal itu tidak bisa menjadi sebuah keharaman melakukan tersebut. Lalu berbicara tentang bid'ah, tidak semua bid'ah itu haram.

            Dikutip dari kitab fath al-Bari

: . .

"Sesuatu yang diada-adakan itu ada dua macam. (pertama), sesuatu yang baru itu menyanyalahi al-Quran, sunnah Nabi SAW, atsar sahabat atau ijma ulama. Ini disebut dengan bid'ah dhalal (sesat). Dan (kedua), jika sesuatu yang baru tersebut termasuk kebajikan yang tidak menyalahi sedikitpun dari hal itu (al-Quran, al-Sunah, dan Ijma'). Maka perbuatan tersebut tergolong perbuatan baru yang tidak dicela.

 

      Sudah jelas sebenarnya bahwa perkara baru itu ada yang baik dan ada juga yang buruk. Perkara baik adalah perkara yang tidak menyalahi syara dan juga sebaliknya, perkara yamg buruk adalah perkara yang menyalahi syara'. Tahlilan masuk kedalam perkara baik karena isi dari tahlilan sendiri adalah al-Quran. Maka dari itu tidak bisa dibenarkan juga bahwa Talilan adalah perkara yang haram.

      Lalu yang menajdi perdebatan juga adalah bagaimana hukumnya memberi makan kepada pelayat yang mana pelayat tersebut bisa dibilang tidak sedikit dan hal itu ditakutkan menambah beban bagi orang yang sedang berbela sungkawa.

      Perlu diketahui bersama bahwa ketika ada orang yang sedang tertimpa musibah (kematian), para tetangga, keluarga jauh, saudara, dan orang yang dekat dengan orang yang wafat tersebut tidak mungkin hanya membawa badan saja ketika melayat. Hal ini sudah menjadi tradisi dimana para pelayat membawa kebutuhan pokok untuk keluarga musibah. Lalu apakah memang ada dalilnya?,

)

"Diriwayatkan oleh Ashim bin Kutayb dari Ayahnya dari salah seorang sahabat Anshr, ia berkata, "Saya pernah melayat bersama Rasulullah SAW dan di saat itu saya melihat belaru menasehati penggali kubur seraya bersabda, Luaskan bagian kaki dan kepalanya. Setelah Rasulullah SAW pulang, beliau diundang oleh seorang perempuan Rasulullah SAW memenuhi undangannya, dan saya ikut bersama beliau. Ketika beliau datang, lalu makananpun dihidangkan Rasulullah SAW mulai makan lalu diikuti oleh para undangan. Pada saat beliau akan mengunyah makanan tersebut, beliau bersabda, "Aku merasa daging kambing ini diambil dengan tanpa izin pemiliknya. Kemudian perempuan tersebut bergegas menemui Raslullah SAW sembari berkata, "Wahai Rasulullah SAW saya sudah menyuruh orang pergi ke Baqi', (suatu tempat penjualan kambing), untuk membeli kambing. nama tidak mendapatkannya. Kemudian saya menyuruhnya menemui tetangga saya yang telah membeli kambing, agar kambing itu dijual kepada saya dengan harga yang umum, akan tetapi ia tidak ada. Maka saya menyuruh menemu isterinya dan ia pun mengirim kambingnya pada saya. Rasulullah SAW kemudian bersabda, "Berikan makanan ini pada para tawanan "(Sunan Abi Dawud, [2894])

Berdasarkan Hadits inilah, Syaikh Ibrahim al-Halabi menyatakan bahwa keluarga mayit boleh menyediakan makanan dan memanggil orang lain untuk berkumpul di rumahnya Ibrahim al-Halab berkata:

: :

"Hadits ini menunjukkan kebolehan keluarga mayit membuat makanan dan mengundang orang untuk makan. Jika makanan itu disuguhkan kepada para fakir miskin, hal itu baik. Kecuali jika salah satu ahli warisnya ada yang masih kecil, maka tidak boleh diambilkan dari harta waris si mayit." (al-Bariqah al-Muhammadiyyah, Juz III, hal 235, lihat iven al-Masail al-Muntakhabah, 49)

2.Ziarah Kubur

 

      Bagi beberapa golongan, ziarah kubur dianggap perkara yang bisa membuat kita syirik. Mereka beranggapan bahwa ketika kita pergi ziarah kubur berarti orang tersebut meminta atau memohon sesuatu kepada selain Allah, lalu bagaimana sebenarnya konsep dari ziarah kubur ini?, apakah memang ketika pergi berziarah kita telah syirik kepada Allah atau dengan ziarah kubur ini membuat kita tambah dekat dengan Allah SWT?.

      Pada masa awal islam ziarah kubur memang dilarang oleh Rasulullah SAW. Hal ini dilakukan oleh rasul hanya untuk menjaga akidah para muslimin yang mana islam masih lemah. Rasulullah saw takut dan khawatir apabila pada waktu itu diperbolehkan untuk ziarah kubur membuat umat muslim syikir. Setelah akidah kaum muslimin dirasa kuat nabi Muhammad SAW memperbolehkan untuk ziarah kbur sebagai pengingat bahwa manusia akan mati dan hal itu bisa menambah ketaan kita terhadap Allah swt.

            Nabi muhammad SAW bersabdah:

:

Artinya, "Rasulullah SAW bersabda: Dahulu aku telah melarang kalian berziarah ke kubur. Namun sekarang, berziarahlah kalian ke sana."


: :

Artinya, "Dari Abu Hurairah r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda: Aku meminta izin kepada Allah untuk memintakan ampunan bagi ibuku, tetapi Allah tidak mengizinkan. Kemudian aku meminta izin kepada Allah untuk berziarah ke makam ibuku, lalu Allah mengizinkanku."

      Lalu dalam riwayat lain:

Artinya, "Dahulu saya melarang kalian berziarah kubur, tapi sekarang berziarahlah kalian, sesungguhnya ziarah kubur dapat melunakkan hati, menitikkan (air) mata, mengingatkan pada akhirat, dan janganlah kalian berkata buruk (pada saat ziarah)."

 

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar dan Mahmud bin Ghailan dan Al Hasan bin Ali Al Khallal mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami Abu 'Ashim An Nabil telah menceritakan kepada kami Sufyan dari 'Alqamah bin Martsad dari Sulaiman bin Buraidah dari Bapaknya berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Saya pernah melarang kalian berziarah kubur. Sekarang telah diizinkan untuk Muhammad menziarahi kuburan ibunya, maka berziarahlah, karena (berziarah kubur itu) dapat mengingatkan akhirat." (Abu Isa At Tirmidzi) berkata; "Hadits semakna diriwayatkan dari Abu Sa'id, Ibnu Mas'ud, Anas, Abu Hurairah dan Umu Salamah." Abu Isa berkata; "Hadits Buraidah adalah hadits hasan sahih. Ulama mengamalkannya mereka berpendapat bahwa ziarah kubur tidak mengapa. Ini adalah pendapat Ibnu Mubarak, Syafi'i, Ahmad dan Ishaq"

Dengan adanya hadits ini, maka ziarah kubur itu hukumnya boleh bagi laki-laki dan perempuan. Namun demikian, bagaimana dengan hadsits nabi Muhammad Saw yang secara tegas menyatakan larangan perempuan  berziarah kubur:

Nabi Muhammad Saw bersabdah:

" "

Yahya bin Ishaq memberitahu kepada kami, Abu Awnah mengabarkan kepada kami kami, dari Umar ibn Abi Salamah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa sesungguhnya Rasulullah melaknat wanita yang berziarah kubur. (Musnad bin Hanbal).

               Lalu dalam riwayat lain nabi bersabdah:

: : " "

            Mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin junaid, memberitahukan kepada kami kutaibah bin sa'id, memberitahukan kepada kami abi 'awanah, dari 'umar bin abi salamah, dari ayahnya, dari abu hurairah, rasulullah saw bersabdah: sesungguhnya Rasulullah melaknat wanita yang berziarah kubur. (Ibnu Hibban)

            Dari dua riwayat ini nabi melarang perempuan untuk melakukan ziarah. Lalu apakah benar perempuan tidak boleh melakukan ziarah?. dalam hal ini kita tidak boleh hanya memahami hadits dari satu sudut pandang saja. Karena setelah hadits dilarangnya perempuan melakukan ziarah kubur nabi mencabut larangan tersebut dengan hadits setelahnya yang mana membuat diperbolehkannya semua (laki-laki dan perempuan) untuk berziarah kubur.

            Dalam kitab Dalam kitab Sunan al-Tirmidzi disebutkan:

. )


"Sebagian Ahli ilmu mengatakan bahwa Hadits itu diucapkan sebelum Nabi SAW membolehkan untuk melakukan ziarah kubur. Setelah Rasulullah SAW membolehkannya, laki-laki dan perempuan tercakup dalam kebolehan itu."(Sunan al-Tirmidzi, [976])

Dari penjelas diatas sudah jelas bahwa hadits tentang nabi melarang perempuan untuk berziarah kubur datang sebelum nabi memperbolehkan kita untuk ziarah kubur. Maka bias dibilang hadits tersebut sudah di nasikh atau diganti hukumnya oleh hadits yang memperbolehkan semua orang, entah itu laki-laki atau perempuan boleh untuk ziarah kubur.

Ibnu Hajar al-Haitami pernah ditanya tentang ziarah ke makam para wali, beliau mengatakan:

... . (

"Beliau ditanya tentang berziarah ke makam para wali pada waktu tertentu dengan melakukan perjalanan khusus ke makam mereka Beliau menjawab, berziarah ke makam para wali adalah ibadah yang disunnahkan Demikian pula dengan perjalanan ke makam mereka (Al-Fatawi al-Kubra al-Fiqhiyyah, juz II, hal  12)

            Sampai sini mungkin sudah jelas bahwa ziarah kubur itu diperbolehkan oleh para nabi, dan ziarah kubur tersebut juga pernah dilakukan oleh sahabat, yang mana sahabat tidak mungkin melakukan hal yang sia-sia.

            Lalu apa yang kit abaca atau apa yang kita lakukan ketika ziarah kubur?, hal ini juga perlu dibahas karena ziarah kubur apabila dilakukan untuk hal yang tidak baik, semisal meminta kekuatan dan semacamnya maka hukumnya langsung berubah tidak boleh. Maka dari itu kita harus tau apa isi dari ziarah kubur tersebut.

Ketika berziarah, seseorang dianjurkan untuk membaca al-Qur'n atau lainnya. Sebagaimana sabda Raslullah SAW:

: : - . : .

"Dari Ma'qil bin Yasar RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Bacalah surat Yasin pada orang-orang mati di antara kamu." (Sunan Abi Dwd [2714] )

Maka, ziarah kubur itu memang dianjurkan dalam agama Islam bagi laki-laki ataupun perempuan, sebab di dalamnya terkandung manfaat yang sangat besar Baik bagi orang yang telah meninggal dunia berupa hadiah pahala bacaan al-Qur'an, ataupun  bagi orang berziarah itu sendiri, yakni mengingatkan manusia akan kematian yang pasti akan menjemputnya.

3. Tawassul

Berdoa merupakan salah satu perbuatan yang sangat dianjurkan dalalm agama islam. Bahkan Allah swt sendiri berfirman:

"Dan Rabbmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". (QS. Ghafir: 60)

Dan firman Allah,

"Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". (QS. Al-An'am: 162-163)

Namun tidk jarang kita melihat ada seseoramg yang dating kepada kepada orang alim yang dekat kepada allah swt meminta untuk di doakan, disampaikan, dan di sambungkan segala permintaannya kepada allah swt. Hal ini dinamakan dengan sebutan tawassul. Lalu apakah tawassul itu diperbolehkan dalam syariat islam?.

Tawassul dan istigasah merupakan salah satu cara berdoa yang diyakini mempercepat terkabulnya do'a yang dipanjatkan. Sedangankan yang dimaksud dengan tawssul menurut al-syaikh jamil afandi shiddiq al-zahawi ialah: 

( -

"Sesungguhnya yang dimaksud istghatsah dan tawassul dengan para nabi dan orang-orang yang shalih bahwa mereka adalah sebab-sebab dan perantara untuk mencapai tujuan. Pada hakikatnya Allah SWT adalah pelaku yang sebenarnya (yang mengabulkan do'a) sebagai penghargaan kepada mereka. Sebagaimana i'tiqad yang benar dalam segala macam perbuatan. Pisau tidak mempunyai kemampuan memotong dari dirinya sendiri karena pemotong yang sebenarnya adalah Allah SWT. Pisau hanya sebagai penyebab yang biasa (berpotensi untuk memotong) Allah SWT menciptakan memotong melalui pisau tersebut." (al-Fajr al-Shadiq, 53-34) 

            Masih banyak lagi bukti yang menjelasakn tentang tawassul. Dari segi istilah, keutamaan, maupun dari segi manfaat. Allah SWT berfirman :

. (

"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah SWT. Dan carilah sebuah perantara untuk sampai kepada Allah SWT. Berjihadlah kamu di jalan-Nya mudah-mudahan kamu mendapat keuntungan". (QS. Al-Ma'idah, 35)

Dalam ayat yang lain, Allah SWT berfirman:

"Jika mereka telah berbuat aniaya pada dirinya (berbuat dosa). Lalu mereka datang kepadamu (hai Raslullah) dan meminta ampunan kepada Allah SWT, kemudian Rasul memohonkan ampunan untuk mereka, tentulah Allah SWT Yang Maha Menerima taubat dan Yang Maha Penyayang akan menerima taubat mereka." (QS. Al-Nisa', 64)

Menurut KH. Sirajuddin Abbas bahwa orang yang telah berbuat dosa, entah itu dosa besar maupun kecil  dan dating kepada nabi Muhammad SAW untuk melakukan tawassul dalam rangka pertaubatan.  Dan mengharap ampun kepada allah SWT atas segala dosa yang dilakukan  maka allah memaafkan orang tersebut.

Namun tawassul bukan hanya untuk meminta ampun namun juga bisa sebagai sarana peermohonan lainnya. Seperti meminta rezeki dan semacamnya. Sahabat Umar RA ketika melakukan shalat Istisqa juga melakukan tawassul

. (

"Dari Anas bin Malik RA, beliau berkata, "Apabila terjadi kemarau, shahabat Umar bin al-Khaththab bertawasul dengan Abbas bin Abdul mutthalib kemudian berdoa, "Ya Allah kami pernah berdo'a dan bertawssul kepada-Mu dengan Nabi SAW, maka Engkau turunkan hujan Dan sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan Anas berkata, "Maka turunlah hujan kepada kami (Shahih al-Bukhari (954)

Menyikapi tawassul Sayyidina Umar RA tersebut, Sayyidina Abbas RA kemudian berdo'a

..

"Ya Allah, sesungguhnya malapetaka itu tidak akan turun kecuali karena dosa dan tidak akan sirna melainkan dengan taubat Kini kaum muslimin bertawassul kepadaku untuk memohon kepada-Mu karena kedudukanku di sisi nabi-Mu. diriwayatkan oleh al-Zubair hin Bakkar." (al-Tahdzir min al-Ightirar, 125)

Seperti itulah tawassul, jika memang kita benar-benar ingin mendalami tawassul maka dapatkita simpulkan bahwa tawassul itu sendiri sudah ada sejak zaman nabi dan hal itupun juga dilakukan oleh para sahabat dan tawassul tersebut tidak hanya kepada nabi saja, namun bisa juga kepada orang yang alim akan ilmunya, orang yang dekat dengan tuhannya maupun orang yang rajin dengan ibadahnya. Sebagai penutup dari pembahsan ini Syaikh Yusuf bin Isma il al Nabhani menyatakan :

. . - - - - -

"Dalam hal bertawassul itu tidak ada perbedaan antara tawassul kepada Nabi Muhammad SAW atau para nabi yang lainnya, juga kepada para Wali Allah serta orang-orang shaleh Dan tidak ada perbedaan pula antara bertawassul kepada orang yang hidup ataupun orang yang telah meninggal dunia Sebab pada hakikatnya mereka tidak dapat mewujudkan serta tidak dapat memberi pengaruh apapun. Mereka diharapkan barokahnya karena mereka adalah para kekasih Allah SWT. Yang menciptakan dan yang mewujudkan (apa yang diminta oleh orang yang bertawassul) hanyalah Allah SWT semata Orang-orang yang membedakan antara tawassul kepada orang hidup dan orang yang telah wafat meyakini bahwa ada pengaruhnya (manfaatnya) jika bertawassul kepada orang yang hidup, tapi manfaat itu tidak ada apabila bertawassul kepada orang mati Menurut hemat kami - Hanya Allah SWT yang menciptakan segala sesuatu, - Dan Allah SWT yang menciptakan kamu serta apa yang kamu kerjakan -orang-orang yang membolehkan tawassul kepada orang yang hidup tapi mengharamkan tawassul kepada orang mati tersebut, sebenarnya telah terjebak pada kemusyrikan, sebab mereka meyakini bahwa orang yang hidup dapat memberikan sesuatu (pengaruh) kepada seseorang. tapi orang yang mati tidak dapat memberikan manfaat apapun Maka pada hakikatnya mereka adalah orang-orang yang meyakini bahwa ada makhluk lain selain Allah SWT yang dapat memberi pengaruh dan menjudkan sesuatu. Maka bagaimana mungkin mereka mengklaim dirinya sebagai orang-orang yang menjaga tauhid (aqidah), dan menuduh kelompok lam berbuat kemusyrikan?-sungguh ini adalah sangat mustahil (Syawahid al-Haqq, 158-159)

Wallahualam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun