"Jika mereka telah berbuat aniaya pada dirinya (berbuat dosa). Lalu mereka datang kepadamu (hai Raslullah) dan meminta ampunan kepada Allah SWT, kemudian Rasul memohonkan ampunan untuk mereka, tentulah Allah SWT Yang Maha Menerima taubat dan Yang Maha Penyayang akan menerima taubat mereka." (QS. Al-Nisa', 64)
Menurut KH. Sirajuddin Abbas bahwa orang yang telah berbuat dosa, entah itu dosa besar maupun kecil  dan dating kepada nabi Muhammad SAW untuk melakukan tawassul dalam rangka pertaubatan.  Dan mengharap ampun kepada allah SWT atas segala dosa yang dilakukan  maka allah memaafkan orang tersebut.
Namun tawassul bukan hanya untuk meminta ampun namun juga bisa sebagai sarana peermohonan lainnya. Seperti meminta rezeki dan semacamnya. Sahabat Umar RA ketika melakukan shalat Istisqa juga melakukan tawassul
. (
"Dari Anas bin Malik RA, beliau berkata, "Apabila terjadi kemarau, shahabat Umar bin al-Khaththab bertawasul dengan Abbas bin Abdul mutthalib kemudian berdoa, "Ya Allah kami pernah berdo'a dan bertawssul kepada-Mu dengan Nabi SAW, maka Engkau turunkan hujan Dan sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan Anas berkata, "Maka turunlah hujan kepada kami (Shahih al-Bukhari (954)
Menyikapi tawassul Sayyidina Umar RA tersebut, Sayyidina Abbas RA kemudian berdo'a
..
"Ya Allah, sesungguhnya malapetaka itu tidak akan turun kecuali karena dosa dan tidak akan sirna melainkan dengan taubat Kini kaum muslimin bertawassul kepadaku untuk memohon kepada-Mu karena kedudukanku di sisi nabi-Mu. diriwayatkan oleh al-Zubair hin Bakkar." (al-Tahdzir min al-Ightirar, 125)
Seperti itulah tawassul, jika memang kita benar-benar ingin mendalami tawassul maka dapatkita simpulkan bahwa tawassul itu sendiri sudah ada sejak zaman nabi dan hal itupun juga dilakukan oleh para sahabat dan tawassul tersebut tidak hanya kepada nabi saja, namun bisa juga kepada orang yang alim akan ilmunya, orang yang dekat dengan tuhannya maupun orang yang rajin dengan ibadahnya. Sebagai penutup dari pembahsan ini Syaikh Yusuf bin Isma il al Nabhani menyatakan :
. . - - - - -
"Dalam hal bertawassul itu tidak ada perbedaan antara tawassul kepada Nabi Muhammad SAW atau para nabi yang lainnya, juga kepada para Wali Allah serta orang-orang shaleh Dan tidak ada perbedaan pula antara bertawassul kepada orang yang hidup ataupun orang yang telah meninggal dunia Sebab pada hakikatnya mereka tidak dapat mewujudkan serta tidak dapat memberi pengaruh apapun. Mereka diharapkan barokahnya karena mereka adalah para kekasih Allah SWT. Yang menciptakan dan yang mewujudkan (apa yang diminta oleh orang yang bertawassul) hanyalah Allah SWT semata Orang-orang yang membedakan antara tawassul kepada orang hidup dan orang yang telah wafat meyakini bahwa ada pengaruhnya (manfaatnya) jika bertawassul kepada orang yang hidup, tapi manfaat itu tidak ada apabila bertawassul kepada orang mati Menurut hemat kami - Hanya Allah SWT yang menciptakan segala sesuatu, - Dan Allah SWT yang menciptakan kamu serta apa yang kamu kerjakan -orang-orang yang membolehkan tawassul kepada orang yang hidup tapi mengharamkan tawassul kepada orang mati tersebut, sebenarnya telah terjebak pada kemusyrikan, sebab mereka meyakini bahwa orang yang hidup dapat memberikan sesuatu (pengaruh) kepada seseorang. tapi orang yang mati tidak dapat memberikan manfaat apapun Maka pada hakikatnya mereka adalah orang-orang yang meyakini bahwa ada makhluk lain selain Allah SWT yang dapat memberi pengaruh dan menjudkan sesuatu. Maka bagaimana mungkin mereka mengklaim dirinya sebagai orang-orang yang menjaga tauhid (aqidah), dan menuduh kelompok lam berbuat kemusyrikan?-sungguh ini adalah sangat mustahil (Syawahid al-Haqq, 158-159)