Aku menceritakan percakapan tokoh utama novelku dengan pemilik suara yang tidak asing itu kepadanya. Ia menatapku dengan pandangan aneh. Aku menebak-nebak arti tatapannya.
"Aku masih belum memutuskan apakah tokoh utama novelku akan pergi menyaksikan pembunuhaan itu atau ia lapor polisi saja."
"Aku tak bermaksud mencampuri imajinasimu tentang akhir kisah dalam novelmu itu, tetapi apa gunanya dia ke sana jika hanya untuk menjadi saksi bisu?"
Ia tersenyum. Ia masih tetap perempuan dengan seyum termanis yang membuatku rela melepas masa bujangku lebih cepat empat tahun lalu. Â Ia menempelkan bibirnya ke bibirku selama beberapa detakan jantung.
Kurasakan juga tangannya mulai meraba-raba sesuatu di dadaku. Tangannya terus berkelana, menjelajahi bagian-bagian tubuhku yang telah dikenalinya dengan baik. Sebentar lagi tangan  itu akan tiba pada bagian yang bakal membuatku melayang-layang. Tangan yang mesti sanggup menjelajahi semuanya demi keasyikan yang justru dirasakan oleh bagian lain dari tubuhku.
Tunggu! Aku tiba-tiba merasa tangan itu tidak ada bedanya dengan istriku yang dengan patuh menjalankan pekerjaannya demi kebahagiaan yang direngkuh orang lain di luar sana: para pelanggan toko yang tersenyum puas ketika menikmati roti bersama keluarga mereka sambil minum teh pada sore hari yang sejuk, Â juga pemilik toko yang mendapat untung besar dengan tetap memberi upah murah kepada para pekerja seperti istriku.Â
Begitu murahnya upah itu sampai tidak cukup kami pakai untuk bertahan hidup kami selama sebulan andai tidak ada "subsidi" dari mertua dan ipar-iparku yang kadang berbicara dengan nada penuh belas kasihan yang menjengkelkan setiap kali menelepon untuk menyuruh istriku mencairkan uang yang mereka kirim.
Tangan itu adalah aku yang kini bingung memikirkan cara membahagiakan orang-orang yang akan membaca novelku nanti. Aku harus membuat pemilik penerbit tersenyum bahagia membayangkan keuntungan yang bisa dihasilkan oleh novel itu.Â
Bukankah kita hidup untuk membuat bahagia oran lain? Untuk tujuan itu aku harus sedikit mempermainkan nasib para tokoh dalam novelku, seperti pemilik toko mempermainkan nasib istriku, ijazah dari kampus sialan ini mempermainkan nasibku atau pernikahan yang membosankan ini mempermainkan nasib kami berdua.
Aku membiarkan tangan istriku terus berkelana. Aku tidak ingin mencegahnya, atau menceritakan apa yang dilakukan tangan itu, atau menulis apapun tentang kejadian di atas ranjang malam itu. Aku tidak lebih dari saksi bisu yang hadir hanya untuk mengalami bagaimana tangan itu bekerja.**
Â