Seseorang yang suaranya tidak asing meneleponku. Ia akan dibunuh esok pagi, dan aku disuruh datang menyaksikan bagaimana ia dibunuh.
"Kau harus datang dan melihat dengan mata kepalamu sendiri. Tapi ingat, kau tidak boleh mencegah pembunuhan itu, tidak boleh mengisahkannya kepada siapapun, dan tidak boleh menulis apapun tentang peristiwa itu. Kau hadir hanya untuk menyaksikannya, tidak lebih." Itu yang terakhir disampaikan suara yang tak asing itu sebelum menutup telepon.
Aku berusaha mengingat-ingat siapa pemilik suara yang tak asing itu. Suara serak, layaknya orang yang baru saja dipaksa mengisap sepuluh batang rokok sekaligus. Dari mana ia memperoleh nomor teleponku? Aku akan berpikir ia asal menekan nomor secara acak kalau saja ia tidak menyebut namaku, seolah memastikan bahwa ia tidak salah menelepon. Akulah orang yang dipilihnya untuk menjadi saksi pembunuhan dirinya esok pagi.
Kebingungan melandaku. Aku tidak pernah berpikir untuk menjadi saksi pembunuhan. Sama seperti banyak orang lain, aku tidak menyukai kekerasan. Aku bahkan tidak suka menonton film-film laga yang menampilkan kekerasan berlebihan.Â
Untuk beberapa alasan, aku lebih suka film-film romantis atau drama-drama komedi. Bisa jadi karena kondisi inilah si pemilik suara yang tidak asing itu memilihku untuk menjadi saksi pembunuhan atas dirinya.
***
Aku masih ingin memikirkan percakapan itu, tetapi ini sudah mendekati jam sembilan malam. Aku harus keluar menjemput istriku. Aku tidak ingin kembali memulai pertengkaran hanya karena telat menjemputnya malam ini. Tidak ada salahnya aku bersikap baik dan membuktikan kepada istriku bahwa aku bisa menepati janjiku untuk memperbaiki sikapku setelah pertengkaran hebat dua malam lalu itu.
Kebanyakan teman masa mudaku menganggap aku adalah seorang laki-laki sialan yang entah bagaimana bisa mengalami keberuntungan menikahi perempuan istimewa seperti istriku. Aku kira anggapan itu ada benarnya juga, meski kadang aku bertanya, apakah pernikahan kami dianggap keberuntungan pula oleh istriku? Maksudku apakah ia bahagia setelah empat tahun berbagi ranjang dengan seorang laki-laki yang bahkan belum mampu memberinya anak?
Barangkali ia tidak pernah merasa seberuntung aku dalam pernikahan ini, sebab terkadang aku juga merasa begitu menderita. Ada begitu banyak alasan yang bisa aku kemukakan untuk menunjukkan betapa aku tidak bahagia menjalani kehidupan berumah tangga dengan istriku, semisal ujaran-ujaran yang keluar dari mulut orang-orang di sekeliling kami.
"Kasihan istrinya, bekerja seperti budak untuk menghidupi laki-laki yang hanya bisa makan dan tidur setiap hari."
"Mereka mungkin serumah tetapi tidak seranjang, makanya tidak punya anak sampai sekarang. Betapa menyedihkan."