Malam itu untuk pertama kalinya selama pernikahan kami ia mengungkit segala jerih lelah yang telah dilakukannya demi menyambung hidup keluarga kami. Mulai cincin kawin yang sudah digadai dan tidak bisa kami tebus, cicilan kredit yang sudah tiga bulan tertunggak, hingga ponselnya yang terpaksa ia jual demi membeli 10 kilogram beras  sehari sebelumnya.Â
Ia menangis sejadi-jadinya dan mulai membuang barang-barang pribadinya dalam koper kecil pemberian ibunya. Ia berkeras akan kembali pada orangtuanya malam itu juga.
***
"Maaf sudah membuatmu menunggu setengah jam di sini."
Kata-kata istriku membawaku kembali menemukan diri bahwa aku sudah sejak tadi tiba dan menunggunya di parkiran sambil mengenang pertengkaran kami yang ternyata jauh lebih dahsyat dari puncak konflik dalam naskah novelku.Â
Aku menangkap nada lain dalam kata-katanya sebab baru kali ini aku mau menunggunya. Selalu ia yang menungguku di parkiran itu setelah pintu toko ditutup.
Kami melewati jalanan dengan sepeda motor bututku dalam diam yang bertahan hingga usai makan malam. Seperti biasa ia tidak mengatakan apapun tentang pekerjaannya. Ia kelihatan cukup puas setelah menemukan rumah dalam keadaan teratur, tidak ada tumpukan barang kotor, dan bak mandi yang sudah kuisi penuh sore tadi.
Kami naik ke ranjang dan bersiap untuk tidur.
"Bagaimana naskah novelmu? Apa aku akan menjadi pembaca pertamanya?"
"Entahlah."
"Maksudmua?"