Itu jawaban yang selalu kukatakan setiap kali ia mengomeliku untuk segala ketidakberesan itu. Aku memang telah tenggelam dalam keasyikan menulis sebuah novel dan mulai mengubah gaya hidupku dalam berumah tangga menjadi layaknya gaya hidup anak kos yang sudah cukup puas menyantap mi instan sebelum tidur.
Istriku semakin kurus dari hari ke hari sejalan dengan bertambahnya jumlah halaman naskah novelku. Ia kerap berangkat kerja tanpa sempat sarapan, sebab aku --yang seharusnya menyiapkan sarapan untuknya-- baru bangun tidur berjam-jam setelah ia pergi.Â
Aku tidak peduli sebab aku masih menaruh harapan pada naskah novel yang menurutku akan  menarik minat penerbit dan aku akan mendapat cukup uang untuk membalas setiap rasa lapar yang mendera aku dan istriku selama masa-masa sulit ini.
Pernah aku meminta agar istriku mau membantuku dalam urusan-urusan rumah tangga itu. Aku ingin ia menjalankan perannya sebagai istri di rumah sebagaimana istri-istri tetangga, sedangkan ia merasa akulah yang seharusnya bertanggung jawab untuk segala urusan rumah tangga sebab ia bekerja di luar rumah.
 "Itu semua tanggung jawabmu! Apa yang kau buat selama seharian di rumah? Nonton tivi? Tidur? Menulis novelmu yang tidak selesai-selesai itu!?" Begitu kata-kata yang selalu ia teriakkan ketika kami mulai terbiasa bertengkar lima bulan terakhir ini.
Aku merasa istriku sama sekali tidak memahami diriku. Itu tidak adil, sebab aku telah berusaha sekuat tenaga memahami pilihannya, termasuk pekerjaan yang ia tekuni, meski sejujurnya aku memang harus memaklumi bahwa ia melakoninya demi menjaga asap dapur kami terus mengepul.
Puncak pertengkaran kami terjadi dua malam yang lalu. Itu sudah jam sepuluh malam. Aku sedang asyik menulis sebuah adegan yang kubayangkan sebagai puncak konflik dalam novelku ketika istriku melangkah masuk dengan tubuh basah kuyup.Â
Aku tidak menjemputnya sebab aku takut konsentrasiku menggarap puncak konflik itu buyar bila harus pergi. Lagi pula di luar sedang hujan lebat. Aku kira ia akan menungguku hingga hujan reda sebab kami tidak punya mantel hujan.Â
Ternyata ia memilih berjalan kaki. Mungkin ia telah bosan menunggu, sedang aku tahu ia tidak punya uang untuk membayar tukang ojek.
Ia melangkah masuk dan langsung menuju kamar mandi tanpa bicara sepatah kata pun. Aku kira ia tidak marah dan mau memaklumi kondisiku. Namun, ia seperti dirasuk monster jahat ketika tidak menemukan apapun untuk disantap di meja makan.Â
Ia telah berjalan kaki menempuh jarak empat kilometer, dihantam hujan, dan tidak menemukan makan malam tersedia sementara perutnya mungkin sudah penuh berisi angin. Ia memecahkan piring berisi remah-remah mi instan santapanku.