"Salahnya sendiri, kenapa mau jatuh dalam jerat laki-laki sialan yang tidak bisa diharapkan sama sekali itu. Laki-laki itu harusnya masih menyusu pada ibunya." Kau lihat? Betapa orang bisa menjadi kejam lewat ujaran-ujaran yang tak ingin kau dengar bila kau masih ingin memelihara nyawamu. Aku sendiri masih bernyawa sebab aku cukup bebal untuk diubah oleh kata-kata seperti itu.
Mau bagaimana lagi? Aku sudah belasan kali melamar pekerjaan tetapi selalu ditolak karena ijazah yang kusodorkan dinyatakan tidak sah gara-gara kampus tempat kuliahku dulu tidak diakui pemerintah.Â
Aku merasa telah menjadi orang berijazah paling malang di dunia sebab ijazah ternyata tidak menjamin datangnya pekerjaan. Aku sempat berpikir, mungkin dengan bantuan sedikit uang dalam amplop aku akan diterima bekerja di suatu tempat, tetapi aku tidak punya uang. Aku juga tidak ingin meminta uang lagi pada orang tuaku.Â
Mereka sudah menjual tiga bidang tanah yang menjadi bagian warisanku, ditambah enam ekor sapi demi memasukanku ke kampus sialan itu. Sekarang saja mereka masih memikul sisa utang yang mereka ambil demi membiayai segala urusan pernikahanku empat tahun lalu itu.
Harapan muncul dari seorang kawan lama yang baru kembali dari Jawa. Ia mengajakku berjualan buku. Dengan segala cara aku membujuk istriku agar ia mau mengambil pinjaman di sebuah koperasi swasta. Ia setuju, dan aku mendapat modal menjadi reseler buku-buku yang kudatangkan dari penerbit-benerbit di Jawa.Â
Awalnya aku mengandalkan lingkaran pertemananku untuk memasarkan buku-buku itu, tetapi lama-lama teman-temanku itu mulai berpikir dua atau tiga kali untuk menukar uangnya dengan sebuah buku. Memang orang-orang di kotaku tidak suka mengeluarkan uang untuk membeli buku, ketika tuntutan kebutuhan untuk bertahan hidup terasa lebih mendesak untuk dipenuhi.
Aku mengalihkan tergetku kepada para mahasiswa. Keluar masuk kampus, aku memberanikan diri menjajakan buku bersama para penjual kacang goreng dan pedagang minuman ringan. Hari-hari pertama aku seperti seonggok tai dikerubungi kawanan lalat. Dengan penuh antusiasme para mahasiswa itu mengacak-acak kumpulan buku yang kusajikan. Namun, lama-lama aku paham bahwa mereka suka membaca tetapi tidak suka membeli buku.
Para mahasiswa itu menggantungkan harapan pada buku-buku gratis yang tersedia di perpustakaan kampus, yang melulu terkait dengan bidang yang mereka tekuni. Aku tidak terkejut ketika mereka tidak tertarik dengan buku-buku yang pada sampulnya terpampang nama-nama macam Marquez, Murakami, Borges, Orwell, Kurniawan, hingga Toer. Namun, aku tidak habis pikir ketika mereka tidak cukup mengenal penulis yang lahir dan besar di kota ini.
Aku mengetahui itu setelah pada suatu hari di hadapan buku-buku yang kupajang di pojok kantin sebuah kampus, seorang mahasiswa yang kelihatan cerdas --sambil menunjuk buku Mendengarkan Coldplay-- bercerita kepada dua orang mahasiswi di sampingnya bahwa buku itu adalah karya terbaik penulis asal Sulawesi Selatan bernama Mario F. Lawi.Â
Di lain hari, seorang mahasiswi berkisah kepada empat kawannya yang sibuk mengamati Usaha Membunuh Sepi bahwa Felix K. Nesi adalah seorang pastor muda kreatif yang suka memberi ret-ret di rumah-rumah jompo dan panti asuhan.
Dua kejadian itu mungkin akan menjadi pengalaman paling menggelikan dalam karir bisnisku, jika saja seorang mahasiswa fakultas kesehatan yang sedang menggarap skripsi tentang kaum vegetarian tidak datang mengembalikan Vegetarian yang ditulis Han Kang.