"Terimakasih pak, secepatnya saya akan memberikan kabar", ucapku.
Laki-laki itu terkekeh. Menggeleng-gellengkan kepala. Lalu tangannya menepuk-nepuk pundakku.
"aku suka pemuda sepertimu, kau pasti perlu menghitung untuk jumlah yang akan kau butuhkan. Iyakan?. Aku suka itu. Dan aku pastikan hari ini tak datang pada tempat yang salah. Satu hal yang jangan sampai kau lupa, strategi bukan lah segalanya tapi penting sekali perannya. Dalam medan perang kau harus menyerang. Bermanuferlah. Terlalu memikirkan strategi tanpa serangan?, itu adalah jalan lapang menuju kematian. Kokang senjatamu, anak muda", ucapnya.
=/=
Selepas pertemuan itulah aku sibukan hariku dengan lembar-lemabar kertas dan penaku. Aku menyantat keperluan dan nominal uang yang aku perlukan. Aku menyiapkan materiku. Aku tak mau hanya dengan sebuah angka buta, meskipun pak Naryo sudah mengatakan akan memenuhi semuanya. Aku tetap memberikan keterangan-keterangan untuk bisa mempertanggung jawabkan dana itu. Aku tak mau merampok. Aku perhitungkan semuanya dengan penuh perhitungkan. Karena itulah yang selalu ayah dan bunda ajarkan padaku.
"kau tinggal menyebutkannya saja Beng, kau tak perlu serepot ini mengurus semuanya. Bukankah bisa kau lihat sendiri sorot mata pak tua itu?, dia jatuh cinta padamu, pada Coffernus-mu", begitu berulang Maul katakan padaku.
Setelah semua aku bereskan, aku jadwalkan kemabali pertemuanku dengan pak Naryo. Aku coba menghubungi walau sulitnya untuk bisa tersambung. Aku telpon, tidak diangkat. Aku sms, tidak dibalas. Aku telepon kekantornyapun selalu saja diterima seorang wanita diujung sana, dengan jawaban yang selalu saja sama, "maaf bapak sedang ada rapat, silahkan menghubungi lain kali",begitu saja terus.
"kau seharusnya langsung saja menyebutkan angka waktu itu, Beng. Kau menyia-nyiakan waktu yang sekarang kau rasakan sendirikan, betapa sulitnya untuk bisa menemuinya?", ucap Maul. Dibanding aku, Maul lebih terlihat tidak sabar menuju hari yang bahagia itu. Hari dimana Coffernus akan menjadi sebuah raksasa dari formula yang tiada dua.
Beberapa hari masih tak ada kabar. Tapi sudah aku putuskan untuk tidak lagi menghubunginya. Aku tak mau mengganggu. Aku menghargai niat baik itu, tapi aku juga tak perlu terus menghubungi pak Naryo. Menerornya. Dia bukan purna pengangguran sepertiku. Pastilah setiap waktunya handphonenya berdering. Aku tak mau menambah berisik pendengarnnya. Kalau masih rejeki itu untukku, pasti ada waktu yang pas untuk kita bepadu.
"apa dia sudah menghubungimu lagi, beng?", ucap Maul mengawali perbincangan kami diteras kedai sore itu.
"belum, belum sempat mungkin", jawabku sambil mengangkat segelas kopiku.