Aku keki.
Setiap kali menemukan kontak perempuan lain yang mampir ke ponselmu.
Entah itu berupa pesan ataupun telepon.
Makanya, saat ini aku lebih tergoda berduaan dengan ponselmu di kamar dibanding berduaan denganmu.
Paling tidak, aku jadi bisa iseng mengecek aktivitas ponselmu.
Siapa yang meneleponmu.
Siapa yang mengirim pesan dan apa balasanmu.
Apa saja yang kalian bicarakan.
Jujur saja.
Aku ingin tahu.
Siapa saja, selain aku yang dekat dan berusaha mendekati dirimu.
Okay, sudah bukan iseng lagi sih namanya.
Aku serius.
Aku bisa jadi sangat pencemburu.
Aku juga bisa jadi sangat toleran, bahkan hampir tak mau ambil peduli soal itu.
Tapi, semua itu tergantung dari jawabanmu.
“ Jadi, siapa itu OKTA ? “
Aku tahu, kau cukup pintar.
Pintar menyembunyikan berbagai macam hal, termasuk memberikan jawaban diplomatis.
Kira-kira, bagaimana kau akan menjawab pertanyaanku yang sarat akan nada curiga dan kecemburuan kali ini.
“ Pacarku ? Kami jadian minggu lalu, “
Itu jawabmu.
Dan, beberapa kali kau sempat melirikku.
Mencoba mencari sejumlah perubahan ekspresi di wajahku yang terlanjur mengeras macam aspal jalanan di luar sana.
Aku marah.
Tentu saja marah.
Begitu entengnya kau menyebut status “ Pacar “ saat menjelaskan tentang si Okta ini.
Padahal, jelas-jelas kau tahu bagaimana perasaanku padamu selama ini.
Pertimbangkan juga, sikapmu yang seenaknya menggantung perasaanku tanpa menjawabnya.
Kurasa ,aku pun berhak semena-mena padamu soal ini.
Sayangnya, semarah apapun.
Aku tak ingin terjebak lelucon murahan yang barusan kau umbar untuk mencandaiku.
“ Siapa ? “
Kuulang pertanyaanku di awal tadi lambat-lambat.
Lebih lambat dari biasanya.
Ringkas, cukup 1 kata dan bernada menekan.
Memintamu mengulang jawaban sebelumnya atau lebih tepatnya, memaksamu memberikan jawaban yang sebenarnya.
Aku yakin, aku lebih dari sekedar mampu untuk membuatmu bicara.
Dan, kau pun menghela napas panjang.
Mengaku kalah.
“ Okay .. okay, dia juniorku di kampus. Satu komunitas backpack dan … cantik ? “
Mudah saja menandai kebohonganmu.
Dan, aku menyadari nada menggantung di akhir kalimatmu.
Selama sepersekian detik kau mencoba mencari kata-kata lain yang bisa kau pakai untuk mengakhiri kalimat nanggung barusan.
Tanpa membuatku curiga dan bertanya, apa lagi yang kau sembunyikan di balik senyummu yang menawan.
Hanya saja, aku tak pernah semudah itu tertipu olehmu.
“ Cantik ? “
Lagi-lagi metode yang sama kupakai untuk mengekstrak kejujuranmu.
Dan, kulihat kau cukup kaget.
Menyadari aku tak segampang aku yang dulu, yang langsung menyerah dan terdiam cukup dengan satu senyuman atau sekedar pelukan.
Aku bukan anak ingusan.
Senyummu meluntur dan berganti dengan kebimbangan.
“ Well, dia … pernah menyatakan cinta padaku dan kutolak. Kemarin dia minta ketemu dan kami jalan-jalan sebentar, “
Dari sekian opsi yang kupikirkan.
Selalu saja opsi terburuk yang muncul dan merajai situasi, persis seperti yang sekarang sedang terjadi.
Rahangku mengeras.
Ekspresiku makin kaku, menahan amarah.
Apa bedanya aku dengan si Okta barusan ?
“ Kutolak kok … beneran, sudah kutolak. “
Aku tahu, kau berusaha keras menjelaskan situasinya.
Tapi bukan itu.
Kau justru memperkeruh suasana dan membuatku benar-benar marah.
Aku sudah tak tahu lagi harus berkata apa.
Kulempar ponselmu hingga membentur dinding dan pecah berantakan.
Kau terdiam.
Terkesiap kaget.
Bukan karena tindakanku barusan, melainkan karena sejumlah besar airmata yang menggenang di kedua pelupuk mataku.
Aku bukan perempuan cengeng.
Aku tidak suka menangis.
Tapi, kemarahan yang tak tertahankan sanggup menjebol tanggul air mataku yang selama ini orang pikir sudah kering kerontang.
“Apa bedanya aku sama Okta ? “
Akhirnya suaraku keluar juga.
Meski serak, macam engsel pintu kayu karatan yang dibuka paksa.
Aku kesal.
Tak habis pikir rasanya.
Apa bedanya, aku dengan si Okta ?
Kenapa Okta yang sama-sama menyatakan perasaan padamu bisa kau tolak dengan mudahnya.
Sementara aku tidak.
Kuharap cuma aku saja yang kelewat besar kepala atau kelewat tinggi menilai diri sampai berpikir macam-macam, mengartikan kata-kata sederhanamu yang tak berarti dulu.
Bahwa, kau tidak ingin menerima tapi juga tidak mau menolak perasaanku.
Dan, bahwa masih ada sejumput keinginan darimu untuk menyambut perasaanku.
Aku tak ingin menangis di sini.
Tapi, air mataku jatuh juga.
Dan, tak mau berhenti sampai di situ.
Rasanya seperti meloloskan sejumlah besar air dalam sekali hentakan.
Dan, aku menenggelamkan dirimu.
Kau tahu ?
Aku keki, sayang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H