Mohon tunggu...
Gideon Budiyanto
Gideon Budiyanto Mohon Tunggu... Lainnya - Writer

Manusia pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Renyah Kerupuk Bangka

17 November 2022   15:49 Diperbarui: 17 November 2022   15:53 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Jason Goh from Pixabay 

Pagi ini hujan mengguyur kota Jakarta dengan derasnya. Angin bertiup menghembuskan hawa dingin membuat orang-orang yang sedang berjalan dengan membawa payung seketika merapatkan jaket tebal yang membungkus tubuhnya. Awan kelabu menutupi langit, mendung rupanya masih akan ada di sana dalam waktu yang cukup lama.

Nisa menatap jam di telepon genggamnya dengan perasaan kesal. Sudah hampir tiga puluh menit ia menunggu kedatangan bus transjakarta di halte ini tetapi sampai sekarang belum tampak tanda-tandanya akan datang.

"Aku bakal telat deh,"rutuknya dalam hati.

Sebenarnya gedung perkantoran tempat Nisa bekerja hanya tinggal beberapa blok saja dari tempat ia menunggu. Dalam cuaca normal, setelah habis turun dari kereta api, ia biasa menggunakan jasa ojek online dan sampai di kantornya dalam waktu sepuluh menit, namun hari ini, tidak mungkin ia melakukan hal itu.

Telepon genggamnya tiba-tiba berbunyi.

Nisa menatap nama si penelepon yang muncul di layar, ternyata Della, teman kantornya.

"Halo."

"Nis, elu dimana sih? Kok belum sampai jam segini?" Suara Della terdengar panik.

"Gue masih nunggu busway nih, belum dateng-dateng."

"Si Ilham nyariin elu melulu, katanya mau presentasi buat klien siapa gitu."

"Iya, sabar, tar lagi gue juga nyampe."

Della mematikan sambungan teleponnya. Nisa segera memasukkan telepon itu ke dalam tas ranselnya.

Hujan masih mengguyur dengan derasnya. Beberapa orang nampak berlarian masuk ke dalam halte. Nisa tidak tahu apakah mereka sedang menunggu kedatangan bus sama seperti dirinya atau sekedar berteduh saja.

Matanya tiba-tiba tertumbuk kepada seorang anak laki-laki kecil yang baru saja masuk ke dalam halte. Usianya mungkin sekitar delapan tahun. Tangannya membawa beberapa bungkus kerupuk yang nampak basah. Anak itu lalu berdiri tidak jauh dari tempat ia duduk.

Nisa menatap anak itu dengan tatapan tidak percaya, mulutnya sedikit terbuka.

"Adi?"

Anak itu sepertinya tahu bahwa ia sedang diperhatikan, seketika ia menengok ke belakang.

"Kerupuknya Kak? Masih baru cuma kena air hujan aja ini jadi basah."

Nisa tergagap.

"Eh....iya...berapa Dik?"

Mukanya, tubuhnya, mirip sekali dengan Adi. Nisa membatin masih tidak percaya.

"Lima ribu saja Kak sebungkus."

"Sa-saya beli semua boleh?"

Raut wajah anak itu seketika menjadi sumringah.

"Semua Kak? Betulan?"

Nisa mengangguk sambil tersenyum.

"iya Dik. Berapa totalnya?"

"Semuanya ada sepuluh Kak, jadi lima puluh ribu."

Dengan cepat Nisa segera mengeluarkan uang lima puluh ribu dari dalam tas ranselnya lalu menyerahkan ke anak itu.

Anak itu segera menerimanya lalu memberikan bungkusan kerupuk itu ke tangan Nisa.

"Nama kamu siapa Dik?"

"Bimo Kak."

Anak itu seperti hendak berlari keluar dari halte namun Nisa buru-buru memegang tangannya.

"Sebentar Dik."

Anak itu menatap Nisa dengan pandangan bingung.

"Ada apa Kak?"

"Boleh gak saya ngobrol sebentar sambil nunggu bus?"

Anak itu mengangguk.

"Kamu gak sekolah?"

"Gak ada yang biayain Kak."

"Orang tua?"

"Sudah meninggal, saya tinggal sama nenek di deket rel kereta itu."

Nisa melihat tubuh Bimo sedikit gemetar, mungkin karena udara dingin ditambah tadi sempat kehujanan. Ia lalu membuka sebungkus kerupuk dan memberikannya kepada Bimo.

"Cobain?"

Bimo tertawa.

"Itu nenek saya yang bikin Kak jadi saya sudah bosan makannya."

Nisa tertawa kecil sambil mengambil satu buah kerupuk lalu dimakannya.

Suara renyahnya menyebabkan beberapa orang menengok ke arah Nisa.

"Enak, berasa ikan nya."

"Kerupuk bangka buatan nenek emang paling enak Kak, dari ikan tenggiri asli." Bimo mengangkat jempolnya tinggi-tinggi.

Nisa memakan kerupuk itu dengan perlahan. Bayangan masa lalu seketika menghampirinya, memeluknya dengan penuh kerinduan.

Adi, adik laki-laki semata wayang yang sangat disayanginya harus pergi untuk selamanya dengan tiba-tiba karena kecelakaan akibat ditabrak truk yang dikemudikan secara ugal-ugalan di jalan tempat biasa anak-anak sekolah menyebrang.

Duka itu begitu dalam sampai ia harus meninggalkan ayah, ibu serta kampung halamannya dan merantau ke Jakarta dengan harapan ia bisa bangkit dari jurang kesedihan.

Tetapi ternyata masih tidak bisa. Duka itu terlampau dalam untuk dilupakan begitu saja.

Sampai hari ini.

"Boleh saya peluk kamu Bim?"

Bimo menatap Nisa dengan tatapan aneh.

Nisa lalu mengeluarkan sebuah foto berwarna ukuran 3x4 dari dalam dompetnya dan menunjukkan ke Bimo.

"Ini Adi, adik saya. Mirip kan sama kamu."

Bimo menatap foto itu lalu mengangguk.

"Sayangnya dia udah gak ada."

"Kemana Kak?" Bimo bertanya dengan polos.

"Meninggal, kecelakaan."

Keduanya lalu terdiam, hening. Waktu seakan berhenti berputar.

Mendadak, Bimo menghambur ke tubuh Nisa, memeluknya erat.

Air mata Nisa tumpah begitu saja saat ia menyambut pelukan Bimo. Beban itu sudah begitu lama dipikulnya, begitu berat dan kali ini ia ingin menumpahkan semua. Kerinduan dan cinta.

"Saya juga pernah merasa kehilangan Kak, saat orang tua saya meninggal gara-gara Covid waktu itu, jadi saya ngerti perasaan Kakak."

Saat itu bus Transjakarta yang ditunggu Nisa sampai di depan halte. Beberapa orang mulai mengantre untuk naik.

Buru-buru Nisa menghapus air mata dengan punggung tangannya, lalu membelai rambut Bimo.

"Saya naik bus dulu ya Bim, nanti sore pulang kerja saya mau mampir ke rumah kamu, di dekat rel kereta kan?"

Bimo mengangguk sambil tersenyum.

Nisa lalu bergegas masuk ke dalam bus. Dari dalam ia bisa melihat Bimo berlari menembus hujan menuju ke arah rel kereta api.

Nisa menarik napas, ada kelegaan yang hangat masuk ke dalam hatinya, menembus jiwa.

Di luar, hujan perlahan mulai berhenti. Sinar matahari mulai berani menampakkan cahayanya menghangatkan pagi yang tadi sempat dingin membeku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun