Sara berusaha menggerakkan kedua tangan dan kakinya, menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan sisa-sisa energinya agar tiang kayu itu roboh. Berhasil, ia merasakan tiang mulai bergerak. Ia menggerakkan badannya lebih kuat lagi.
Tiang dimana Sara dan Biyan terikat di sana adalah tiang kayu jati berdiameter kira-kira lima belas sentimeter. Tiang setinggi kira-kira tiga meter itu tertancap di tanah.
Sara menduga tiang ini sudah berkali-kali digunakan untuk ritual ini. Dari kalimat yang diucapkan pria pemimpin sekte tersebut, ritual tersebut diadakan setiap tahun. Ia juga sempat mencium bau anyir, mungkin bekas darah dari korban-korban sebelumnya yang menempel di tiang kayu itu.
Sara masih menggerakkan tubuhnya dengan sekuat tenaganya. Kali ini ia menghentakkan badannya dengan keras.
Pada akhirnya, tiang tempat Sara terikat pun doyong lalu tumbang ke arah sang pemimpin sekte yang sedang fokus menampung darah dari kaki Biyan. Ia sontak terkejut dan berusaha menghindar.
Tapi terlambat, puncak tiang itu tumbang sedemikian cepatnya, menghantam kepalanya. Tubuhnya terbanting ke tanah, wajahnya remuk.
Darah Biyan yang sudah ditampung di cawan tumpah ruah di tanah. Darah segar juga mengucur dari kepala pemimpin sekte itu.
Ketika tiang tersebut tumbang, tubuh Sara dalam posisi miring sehingga ia mendarat di atas tubuh sang pemimpin sekte. Sara memicingkan matanya, menahan rasa nyeri di tangan dan kakinya.
Sara juga merasakan hawa panas yang membuat mata dan wajahnya pedih. Ternyata posisi tubuhnya kini cukup dekat dengan kobaran api.
Sara merasa bahwa saatnya telah tiba. Ia merasa lebih dari siap untuk meninggalkan dunia.
Ia melihat sosok sang ayah yang melambaikan tangan kanannya di depan sebuah gerbang besi di atas awan. Sara hendak mengangkat tangannya menyambut mendiang ayahnya, tetapi ia sadar bahwa kedua tangannya sedang terbelenggu.