Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerbung: Sekte Laknat Malam Tahun Baru di Hotel Marun Biru (3/3)

5 Januari 2023   12:31 Diperbarui: 5 Januari 2023   12:39 904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi: Suhas Rawool / Pixabay)

Link Bagian 1 
Link 
Bagian 2 

Sara membuka kedua matanya dengan perlahan. Cahaya terang di depannya membuatnya silau.

Sadar bahwa yang ia lihat adalah kobaran api yang menyala-nyala, ia pun berteriak. Akan tetapi suaranya terhenti di pangkal lidahnya. Rupanya mulutnya disumpal dengan kain lalu diplester dengan isolasi plastik.

Sara menyadari bahwa tubuhnya terikat dalam posisi berdiri di sebuah tiang kayu. Kedua pergelangan tangannya terikat erat di atas, begitu pula kedua pergelangan kakinya juga terbelenggu dengan rapat. Ia melihat dirinya mengenakan pakaian dari kain satin berwarna merah yang menutupi tubuhnya dari dada hingga mata kakinya.

Ia berada di sebuah ruangan dengan atap berbentuk kubah terpancung yang cukup tinggi. Jadi ruangan itu tidak beratap atau terbuka. Dindingnya yang berbentuk lingkaran bercat biru dan mengandung ornamen aneh yang berwarna marun dan warna emas.

Terdapat sejumlah jendela dengan lis berwarna marun di sejumlah bagian dinding. Gedung itu tidak berlantai alias berlantai tanah.

Perlahan Sara menolehkan kepalanya ke kanan. Ia melihat sejumlah orang yang mengenakan jubah berwarna sama. Mereka mengenakan tudung yang menutupi kepala mereka, wajah mereka kurang terlihat jelas. Sara melihat mata mereka terpejam dan mulut mereka komat-kamit seperti sedang merapal mantera.

Sara merasa cemas. Perlahan ia menoleh ke kiri dan merasa terkejut dengan sosok di sebelahnya.

Biyan... Posisi tubuhnya sama persis seperti dirinya, tergantung setengah telanjang dengan kedua tangan dan kaki yang terikat erat. Kain merah yang sama menutupi area perut hingga lututnya.

Biyan masih belum siuman. Kepalanya tampak terkulai lemas, kedua matanya masih terpejam.

Sara menangis. Tetapi karena mulutnya tersumpal, suara tangisnya tidak terlontar dari mulutnya dan terdengar seperti erangan saja.  

Ia berusaha menggerak-gerakkan tubuhnya dengan maksud agar tali itu mengendor. Tetapi tali berbahan serat kayu itu mengikatnya dengan sangat erat, rasanya mustahil ia bisa melepaskan diri.

Sara merasa tidak ada yang bisa ia lakukan. Nafasnya tersengal-sengal, wajahnya basah oleh keringat. Asap dari kobaran api di depannya juga menghalanginya menghirup oksigen. Ia menundukkan kepalanya dan memejamkan kedua matanya, berharap semua ini cuma mimpi.

Lalu suasana mendadak hening. Semua orang menghentikan rapalan manteranya. Beberapa saat kemudian terdengar seorang pria berbicara dengan suara keras dan lantang.

"Matahari akan segera terbit. Kita sudah mendapatkan sepasang pengantin yang akan kita persembahkan kepada Thoccase, sang penyelamat kita yang akan memberikan karunianya kepada kita dengan tiada batasnya. Kedua pengantin ini akan menjadi jalan kita untuk meraih kemakmuran hidup kita di dunia, menggenggam dunia di tangan kita, di sepanjang tahun dua ribu dua puluh tiga..."

Sara terkesiap. Ia teringat dengan suara pria itu. Perlahan ia mengangkat kepalanya dan melihat seorang pria yang berdiri di sebuah panggung kecil di seberang api. Posisinya menghadap orang-orang yang berada di bawahnya, di kanan dan kiri pria itu.

Kemudian pria itu berbalik menghadap api seraya menurunkan penutup kepalanya. Pria itu menatap ke arah api selama beberapa saat. Sara segera mengenali pria tersebut. Pria itu adalah orang yang mengarahkan mobil Budi di gerbang hotel.

Suara hatinya tidak salah. Sedari awal ia memang merasakan ada yang tidak beres dengan pria tersebut.

Sara merasa Biyan dan dirinya akan menjadi tumbal dari sebuah ritual sekte sesat nan laknat. Ia tidak tahu pasti bagaimana metode penumbalannya. Yang pasti intuisinya mengatakan kalau ia sudah cukup dekat dengan penghujung hidupnya.

Sara mencoba menggerakkan badannya dengan sekuat tenaga agar ikatan tali di kedua tangan maupun kakinya mengendur. Tetapi, semakin kuat ia bergerak, semakin nyeri ia rasakan.

Lama-lama Sara merasa apa yang ia lakukan sia-sia saja. Tapi ia harus berusaha dengan sekuat tenaga atau... ia akan mati sia-sia di tangan para pemuja setan itu.

Lalu pria itu membalikkan tubuhnya lagi, kini ia berhadapan dengan orang-orang di hadapannya yang merupakan pengikutnya.

"Anak-anakku semuanya, apakah kalian sudah siap dengan kekayaan tanpa batas, kesuksesan hidup, ketampanan dan kecantikan yang terpancar abadi dan semua kebaikan duniawi yang tak akan pernah berhenti kita nikmati sepanjang tahun?" tanya sesosok pria itu dengan nada tinggi.

"Siap, Yang Mulia...," jawab semua orang yang berada di ruangan itu.

Lalu pria itu kembali menghadap ke kobaran api, mengangkat kedua tangannya lalu mengeluarkan sebilah pisau berwarna keemasan dari balik jubahnya, kemudian mengangkat pisau itu ke udara dengan kedua tangannya. Kepalanya menengadah ke atas, matanya membuka lebar, mulutnya komat-kamit merapal mantera.

Sara berusaha melihat wajah-wajah para pengikutnya. Ia menduga mereka adalah para tamu hotel yang kendaraannya sudah terparkir sebelum Sara dan teman-temannya tiba di hotel tersebut.

Pandangan Sara menyapu ke arah para pengikut sekte. Berkat cahaya dari api, Sara bisa melihat wajah mereka meskipun mereka mengenakan tudung kepala. Tiba-tiba ia terkejut dengan tiga wajah yang ia kenal baik: Budi, Tias dan Katy.

"Bedebahh!!" gumam Sara. Ia tidak menyangka ketiga temannya itu ternyata adalah pemuja setan laknat yang tega mengorbankan dirinya dan Biyan.

Ia baru sadar mengapa Tias dan Katy memaksanya mengikuti perayaan malam tahun baru di menit-menit terakhir? Itu karena mereka sudah sedari awal punya niat hendak mengorbankan dirinya.

Lalu mengapa Biyan? Teman-teman kampus menilai mereka adalah sahabat, karena Biyan hampir selalu menumpang mobil Budi ketika berangkat maupun pulang kuliah.

Sara merasa sangat cemas, sekaligus merasa bingung dengan semua ini.

Ia menoleh ke arah Biyan dan memanggilnya beberapa kalu. Karena mulutnya dalam keadaan tersumpal, bukan nama Biyan yang keluar dari mulutnya melainkan suara erangan pelan.

Biyan tidak jua bergerak. Tapi Sara melihat Biyan masih bernafas, kemungkinan masih belum sadar.

Kemudian pria itu turun dari panggung dengan perlahan, lalu berjalan menuju tiang dimana Biyan dan Sara terikat di sana.

Di tangan kanannya adalah pisau berwarna keemasan yang sepertinya bakal menjadi alat untuk melukai mereka, sedangkan di tangan kirinya adalah sebuah cawan berwarna keemasan pula. Ukuran cawan itu kira-kira sebesar kaleng biskuit berbentuk bundar.

Sara merasa sangat cemas. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain pasrah.

Pria itu berhenti di depan tiang dimana Biyan berada. Mulutnya masih komat-kamit, membaca mantera menjelang ritual puncak yaitu penumbalan manusia. Pria itu mengangkat pisaunya dengan tangan kanannya lalu menurunkannya dengan cepat.

Sara memekik dengan memejamkan mata, membuang pandangannya ke pundak kanannya. Ia berusaha menangis sekeras-kerasnya, tetapi lagi-lagi yang keluar dari pita suaranya hanyalah erangan.

Sara mengumpulkan keberaniannya untuk melihat dilakukan pria itu terhadap Biyan. Pria itu menyayat kaki Biyan, tepat di area vena di atas mata kaki bagian dalam. Seketika darah segar mengucur deras dari situ yang kemudian ditampung ke dalam cawan emas. Biyan yang masih dalam kondisi pingsan tentu saja tidak merasa kesakitan.

Ketika cawan itu hampir penuh dengan darah Biyan, pria itu menyiramkannya ke dalam bara api. Di sesi ini, baik pria itu dan seluruh anggota sekte meneriakkan mantera khusus secara bersamaan. Setelah itu, pria itu kembali menampung darah Biyan lalu menyiramkannya ke api.

Sara semakin cemas, nafasnya tersengal-sengal. Ia melihat kobaran api di depannya membentuk sesuatu, seperti sesosok tubuh berukuran besar yang belum begitu jelas wujudnya. Ia menduga begitu ritual selesai seluruhnya, sosok itu akan tampak jelas.

Dalam hati ia mengutuk semua orang yang ada di ruangan itu, termasuk ketiga temannya. Dari mulutnya juga terucap kalimat doa, memohon pertolongan dari Tuhan.

Ia tidak mau mati malam ini. Apalagi mati dengan cara begini, menjadi tumbal bagi sosok gelap yang mereka puja. Tidak...

Sara berusaha menggerakkan kedua tangan dan kakinya, menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan sisa-sisa energinya agar tiang kayu itu roboh. Berhasil, ia merasakan tiang mulai bergerak. Ia menggerakkan badannya lebih kuat lagi.

Tiang dimana Sara dan Biyan terikat di sana adalah tiang kayu jati berdiameter kira-kira lima belas sentimeter. Tiang setinggi kira-kira tiga meter itu tertancap di tanah.

Sara menduga tiang ini sudah berkali-kali digunakan untuk ritual ini. Dari kalimat yang diucapkan pria pemimpin sekte tersebut, ritual tersebut diadakan setiap tahun. Ia juga sempat mencium bau anyir, mungkin bekas darah dari korban-korban sebelumnya yang menempel di tiang kayu itu.

Sara masih menggerakkan tubuhnya dengan sekuat tenaganya. Kali ini ia menghentakkan badannya dengan keras.

Pada akhirnya, tiang tempat Sara terikat pun doyong lalu tumbang ke arah sang pemimpin sekte yang sedang fokus menampung darah dari kaki Biyan. Ia sontak terkejut dan berusaha menghindar.

Tapi terlambat, puncak tiang itu tumbang sedemikian cepatnya, menghantam kepalanya. Tubuhnya terbanting ke tanah, wajahnya remuk.

Darah Biyan yang sudah ditampung di cawan tumpah ruah di tanah. Darah segar juga mengucur dari kepala pemimpin sekte itu.

Ketika tiang tersebut tumbang, tubuh Sara dalam posisi miring sehingga ia mendarat di atas tubuh sang pemimpin sekte. Sara memicingkan matanya, menahan rasa nyeri di tangan dan kakinya.

Sara juga merasakan hawa panas yang membuat mata dan wajahnya pedih. Ternyata posisi tubuhnya kini cukup dekat dengan kobaran api.

Sara merasa bahwa saatnya telah tiba. Ia merasa lebih dari siap untuk meninggalkan dunia.

Ia melihat sosok sang ayah yang melambaikan tangan kanannya di depan sebuah gerbang besi di atas awan. Sara hendak mengangkat tangannya menyambut mendiang ayahnya, tetapi ia sadar bahwa kedua tangannya sedang terbelenggu.

Bersamaan dengan tumbangnya tiang, sejumlah polisi menyerbu ke arah bangunan tersebut. Para pengikut sekte pun kocar-kacir memisahkan diri, tetapi segera dikejar dan dilumpuhkan dengan senjata api. Tiga orang terkena timah panas di kakinya, termasuk Budi.

Lamat-lamat Sara mendengar seseorang berteriak tidak jauh dari posisi tubuhnya. Beberapa saat kemudian ia merasa tubuhnya terangkat. Rupanya tiang dimana Sara terikat di sana dipindahkan ke tempat lain yang jauh dari kobaran api.

Ia merasakan seseorang melingkarkan kedua tangannya ke tubuhnya, menahan tubuhnya agar tidak terguncang keras. Beberapa saat kemudian ia merasakan desir angin dingin yang menerpa kulit lengannya. Sepertinya ia dipindahkan ke luar bangunan.

Setelah tiang kayu itu diturunkan ke tanah, ikatan di kedua tangan dan kaki Sara pun dibuka. Sara yang terkulai lemas sempat membuka kedua matanya selama satu dua detik. Ia melihat beberapa orang, lalu bintang-bintang di langit yang berkerlip cantik, sebelum akhirnya semuanya gelap.

***  

Sara membuka kedua matanya dengan perlahan. Apa yang ia lihat serba putih. "Apakah aku telah mati?", kata Sara dalam hati.

"Welcome back, kak Sara..."

Sebuah suara yang tidak asing terdengar di telinganya. Begitu kedua matanya seluruhnya terbuka, ia melihat wajah Lala, adik perempuan satu-satunya yang sedang berdiri di samping ranjang.

"Halo Kak Sara... Kakak lagi di rumah sakit, di tempat yang super aman," kata adiknya.

Sara menarik nafas panjang lalu menghembuskannya. Kemudian ia berusaha menggerakkan kedua tangannya.

"No no, jangan gerakin tangan dulu, Kak. Ada luka robek yang cukup dalam di situ. Kaki kakak juga jangan digerakkan dulu," sergah Lala yang segera meraih tangan kakaknya dan mengembalikannya ke sisi kanan dan kiri tubuhnya.

"Syukurlah Kak Sara selamat. Papa dan Mama akan datang sebentar lagi," kata Lala.

"Ohh Tuhan, terima kasih Tuhan...," ucap Sara dengan suara lirih dan bergetar. Sara merasa Tuhan telah mendengar doanya.

"Ta.. tapi, ba.. bagaimana ka... kamu?" tanya Sara kepada adiknya dengan terbata-bata.

Lala segera menyahut, menjelaskan kronologi bagaimana ia bisa menyelamatkan kakaknya

"Pas kita video call, aku merasa heran kenapa Kakak meloncat ke ranjang hotel. Aku melihat posisi Kakak tengkurap. Aku pikir Kakak nggak beneran tidur, mungkin sedang merasa rileks dengan posisi begitu. Jadi aku tunggu aja beberapa menit. Lama-lama aku merasa Kakak sudah tertidur, karena mungkin Kak Sara terlalu lelah."

Sara menghela nafas panjang. Ia ingat belum sempat mematikan sambungan video dengan adiknya.

"Aku sudah mau mencet tombol off, tiba-tiba aku terkejut melihat beberapa orang laki-laki mendatangi ranjang Kakak dan mengangkat tubuh Kakak. Aku berusaha diam dengan menutup mulutku dengan tanganku. Aku berusaha tidak berteriak, lalu buru-buru aku menutup kamera ponselku dengan kertas putih agar wajahku tidak tampak di layar ponsel kakak," lanjut Lala.

"Bersamaan dengan itu, aku juga gercep merekamnya. Lalu aku cepat-cepat menghubungi telepon darurat 112. Setelah tersambung, aku juga meminta nomor Whatsapp petugas yang berbicara denganku supaya aku bisa kirim videonya. Dia sempat susah menghubungi polisi yang bertugas. Malam tahun baru, kan... Tapi syukurlah akhirnya ada tim polisi yang segera meluncur ke hotel itu," kata Sara menutup penjelasannya.

Sara tersenyum. Ia membayangkan bagaimana nasibnya bila mereka tidak berkomunikasi lewat video? Pada waktu itu daya ponselnya juga cuma sepertiga karena baru beberapa menit diisi ulang.

Lalu suasana hening selama beberapa saat.

"Biyan... Biyan... Biyan dimana, La?" tiba-tiba Sara bertanya dengan mimik kebingungan.

Lala diam mematung, lalu berkata,"Kak Biyan sudah... sudah meninggal dunia, Kak. Meninggal di tempat. Terlalu banyak kehilangan darah..."

Sara memejamkan kedua matanya, terisak tanpa suara. Air matanya menggenangi ujung matanya sebentar, lalu menuruni pelipisnya. Ia benar-benar menyesal tidak bisa membantu Biyan yang kala itu sedang pingsan.

Lala mengusap air matanya dengan tisu lalu memeluknya. Sara menatap jendela kamar rumah sakit, membuang pandangannya ke langit biru nan cerah di luar jendela.

Malam tahun baru dua ribu dua puluh tiga, adalah malam yang tak bakal ia lupakan di sepanjang hidupnya.

***
 
TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun