Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Pagi di Hari Pemilu

16 April 2019   13:29 Diperbarui: 16 April 2019   13:57 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: kompas.com

Hari Pemilu telah tiba. Hari pencoblosan kali ini sudah dinanti oleh warga di seluruh negeri, termasuk warga desa Pancajati. Seluruh warga desa menyambut Pemilu dengan suka cita walaupun gempuran informasi sesat dan informasi palsu sempat melanda di tengah-tengah kehidupan mereka.

Desa Pancajati berada di sebuah wilayah di Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Desa itu dikenal memiliki pemandangan yang sangat indah. Hawanya sejuk, udaranya pun masih segar. Banyak perbukitan, lembah dan hutan yang cantik.

Desa tersebut pernah dipimpin oleh kepala desa koruptor, namun kini seorang pria muda dan giat bekerja membangun desa hingga mampu menggeliat, bertumbuh. Sang kepala desa pernah kuliah di negeri Inggris. Ia mendapatkan beasiswa penuh pasca sarjana dari sebuah lembaga. Sepulang dari sana, ia memutuskan kembali untuk membangun tanah kelahirannya.

Sang kepala desa yang tak kenal lelah bekerja itu menyulap desa Pancajati dari desa kategori miskin menjadi desa paling makmur se-propinsi dalam hitungan beberapa tahun saja. Warga desa tersebut kini umumnya makmur berkat keberhasilan sektor pertanian, industri kecil UMKM, perdagangan dan jasa yang wilayah pemasaran produknya sampai lintas propinsi.

Penduduk desa Pancajati, selain warga asli, ada juga warga pendatang dari kota. Warga pendatang ini umumnya para pensiunan. Mereka sudah membeli tanah atau rumah di sana sejak lama dan baru ditempati ketika pensiun. Setelah bertahun-tahun lamanya bekerja di kota, mereka ingin hidup tenang di masa tua di desa itu.

Ada pasangan suami istri, ada juga janda dan duda. Ada yang anak-anaknya tinggal di kota, ada juga yang berada di luar pulau atau luar negeri. Tinggal di desa itu adalah keputusan mereka sendiri setelah beberapa waktu sebelumnya mereka pernah singgah di desa ini dan merasa click dengan suasana desa yang sangat indah dan tenang.

Pagi itu, para warga desa berbondong-bondong menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS). Meskipun undangan dari Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang mereka terima mencantumkan informasi bahwa jam buka TPS adalah jam 07.00, warga telah memenuhi semua TPS sejak jam 06.00. Tak terkecuali TPS 15 yang berlokasi di sebuah tanah desa yang sehari-hari berfungsi sebagai taman warga.

Karena membludaknya warga yang datang pagi-pagi, juga karena diantara warga terdapat lansia, tim Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) TPS 15 memutuskan memindahkan empat puluh kursi yang telah tertata rapi di dalam area TPS ke area di luar TPS. Salah seorang anggota KPPS dengan cekatan membuat nomor antrian sesuai jumlah kursi dan segera membagikannya kepada warga yang telah tiba.

Anggota KPPS tersebut menginformasikan kepada warga, bahwa ketika TPS dibuka pada jam 07.00, warga akan dipanggil sesuai nomor urut kursi untuk memasuki area TPS dengan membawa kursinya ke area tunggu yang telah ditentukan. Petugas keamanan TPS akan membantu warga. Surat suara nantinya akan dibagikan sesuai nomor urut.

Sementara itu, warga yang tidak kebagian kursi memilih berdiri di belakang barisan kursi atau menunggu di bawah pohon sawo yang letaknya beberapa meter di belakang area tim KPPS. Sejumlah warga duduk di bangku kayu sambil menikmati menu-menu dagangan Bu Sarti, salah satu warga desa Pancajati. Ada juga yang berdiri karena tidak kebagian kursi.

Setiap hajatan Pemilu, Bu Sarti selalu memberikan layanan jemput bola, menggelar dagangannya di salah satu TPS. Ada nasi pecel, nasi campur, aneka gorengan lezat, aneka minuman, termasuk es cincaunya yang terkenal itu. Sehari-hari, Bu Sarti berjualan nasi pecel Madiun di salah satu warung di pasar desa. Menu es cincau Bu Sarti yang enak dan segar sangat tenar, hingga warga luar desa kerap mampir ke warungnya.

Bagian 1: Fandi dan Rafi
Dua anak muda yang baru memiliki hak pilih, Fandi dan Rafi, nampak berebut kertas bernomor urut 1 yang dibagikan oleh salah seorang anggota KPPS. Melihat keduanya sama-sama mengklaim tiba lebih dulu dan berhak mendapat nomor urut 1, petugas keamanan menggertak mereka, mengingatkan agar tertib. Petugas keamanan itu akhirnya memberikan nomor urut 1 kepada Fandi, dan nomor urut 2 kepada Rafi.

Fandi terkekeh, mengucapkan terima kasih kepada petugas keamanan dan segera duduk di kursinya. Rafi yang merasa tiba lebih dulu merasa dongkol. Ia melipat kedua tangannya di dadanya. Wajahnya nampak kesal, cemberut.

Sehari-hari mereka kuliah di kota Surabaya tetapi di jurusan dan kampus yang berbeda. Hampir tengah malam mereka tiba di desa dan pagi-pagi sudah datang ke TPS. Keduanya saling mengklaim pendukung fanatik dari masing-masing Calon Presiden dan Wakil Presiden. Perang di medsos kerap mereka lakukan.

Whatsapp Group (WAG) alumni SMA Negeri Pancajati 1, almamater Fandi dan Rafi, menjadi panas gegara ulah mereka. Kalau salah satu teman mereka tidak memasukkan nomor guru favorit mereka untuk menengahi, perdebatan mereka tidak pernah selesai. Walaupun ada banyak group admin, tidak ada satupun yang mau mengeluarkan mereka dari WAG karena anggota WAG juga terpecah gegara perdebatan mereka.

"Aku tadi datang lebih dulu, Fandi!" kata Rafi meluapkan kekesalannya. Ia berkata dengan suara pelan, khawatir menarik perhatian.

"Eh, kamu jangan ngaku-ngaku datang dulu ya! Buktinya, Bapak petugas itu memberikan kertas nomor 1 ke aku. Terima saja apa adanya, lah.." kata Fandi tidak mau kalah. Padahal ia tahu kalau Rafi yang tiba terlebih dahulu.

"Bapak itu gemas melihat kita berebut nomor... Dia gak melihat siapa yang datang lebih dulu.." balas Rafi.

"Eh, apaan sih kamu itu? Terima aja apa adanya, aku dapet nomor 1, kamu dapet nomor 2. Hidup tu yang simple aja kali, Raf!" tukas Fandi, suaranya mengeras.

"Fan, kamu jangan nyolot ya! Egois kamu tu! Sudah jelas tadi aku yang datang paling pagi.." balas Rafi, dengan suara lebih keras.

Tiba-tiba petugas keamanan TPS yang bernama Pak Minto menghampiri mereka dan mencengkeram lengan mereka.

"Kalau kalian bertengkar lagi, saya usir kalian dari sini!" kata Pak Minto.

"Eh Pak, kalau Bapak mengusir kami, itu artinya Bapak menghalangi warga menggunakan hak pilihnya. Hati-hati UU Pemilu pasal 510 Pak.." kata Rafi mencoba mengingatkan Pak Minto. Karena kekesalannya pada Fandi, Rafi merasa berani berargumentasi.

"Oke, kalau begitu saya akan bilang ke Ketua KPPS bahwa kalian mengganggu keamanan TPS. Kalian bisa nyoblos tapi di atas jam 12 nanti. Mau?" kata Pak Minto dengan nada setengah membentak. Fandi dan Rafi terdiam.

"Oke, oke Pak.. Oke saya terima nasib saya mendapat nomor urut 2 walaupun saya tadi datang lebih dulu daripada dia." Kata Rafi sambil mengarahkan telunjuk tangan kanannya ke arah Fandi.

"Eh, kamu masih..." tukas Fandi yang segera dipotong oleh Pak Minto. Kini ia mencengkeram lengan mereka lebih kuat.

"Oke, jam 12 ya? Saya mau ke meja Ketua KPPS nih.. Gimana, deal?" kata Pak Minto sambil menatap keduanya lekat-lekat. Rafi bersungut.

"Maaf Pak.. Ya Pak, saya terima saja nomor urut 2." Kata Rafi.

"Nah, begitu dong dari tadi.. Nomor urut 1 dan 2 itu hampir tidak ada bedanya. Lihat itu di depan sana ada empat bilik suara. Paling cuma selisih satu menit saja. Tidak usahlah kalian meributkan sesuatu yang sepele seperti ini." kata Pak Minto sambil melepaskan cengkeramannya.

Fandi dan Rafi lalu terdiam. Melihat suasana nampaknya telah kondusif, Pak Minto pun kembali ke tempatnya. Fandi mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan teks "Capresmu pasti kalah" disertai emosikon tertawa terbahak-bahak, lalu mengirimkannya ke nomor Rafi.

Rafi yang nampaknya belum reda amarahnya memilih untuk tidak berbuat apa-apa. Ia terlalu malas mengeluarkan gadget-nya. Jadi ia memilih duduk saja dan diam.

Mereka tidak sadar ulah mereka diperhatikan oleh dua orang gadis yang duduk di nomor urut 3 dan 4, Sandra dan DIna. Kedua gadis itu tidak menyangka bakal ada kehebohan receh di pagi hari. 

Bagian 2: Sandra dan Dina
Waktu masih menunjukkan pukul 6.30. Masih menunggu setengah jam lagi. Tetapi Sandra nampak cemas. Ia cepat-cepat mengeluarkan ponselnya dari tas jinjingnya begitu mendengar suara notifikasi. Dina, tetangga satu gang, yang duduk di sebelahnya merasa penasaran.

"Janjian nih?" tanya Dina tersenyum seraya menggerakkan kedua alis matanya. Ia duduk di kursi nomor urut 4.

Sandra mengetikkan beberapa kata, mengirimkannya dan segera memasukkan ponselnya ke dalam tasnya.

"Eh, iya Din.. Ini si Anto sudah gak sabar ingin segera ke Surabaya. Dia lebih beruntung, dapat nomor urut 1. Padahal aku tadi sudah lari-lari ke sini. Yah, gapapa nomor 3 pun gak masalah." Jawab Sandra.

"Mmm, Ayah ibumu kemana Ndra? Kok belum keliatan sedari tadi?" tanya Dina lagi.

"Oh, masih ada urusan sepertinya. Tapi nanti bakal ke TPS kok, tapi ya agak siangan gitu, Din.." jawab Sandra. "Papa Mamamu juga ga keliatan, belum ke sini juga, Din?"

"Lha itu tuh di bawah pohon, lagi ngopi di sana. Itu tuh yang pakai baju kuning merona di sana. Tadi kita barengan sih ke sininya. Tau Bu Sarti jualan, belok deh mereka." Kata Dina terkekeh. Sandra ikut terkekeh.

"Kamu gak ikutan ngemil apa kek di situ?" ujar Sandra. Ia tahu ngemil adalah salah satu hobi Dina. Ia juga tahu Dina kerap makan di warung bakso di seberang pasar. Biasanya Dina memesan dua porsi bakso campur di warung itu.

"Males ah Ndra, tadi juga aku udah sarapan. Ini aku bawa air putih saja. Soalnya Papaku bilang Pemilu kali ini sepertinya bakal banyak yang dating, jadi aku pikir kayaknya perlu bawa air putih. Tau sendiri kan aku gampang haus." kata Dina. Ya iyalah, badan segede itu, kata Sandra dalam hati.

Ponsel Sandra berbunyi lagi. Pesan dari Anto. Ia membalas dengan mengetik beberapa baris kalimat, mengirimkannya dan memasukkan kembali ponselnya ke tasnya.

"Memangnya mau ngapain sih kalian ke Surabaya?" tanya Dina lagi penuh tanda tanya.

"Eh.. Biasa lah si Anto mau nyari action figure kesukaannya. Ada satu toko di kota yang jadi langganan kalo dia lagi nyari action figure terbaru. Nah, katanya ada karakter baru apa gitu aku gak tau.." kata Sandra.

"Oh gitu... Karakter Shazam kali, ya? Itu kan superhero baru yang lagi trending sekarang ini, Ndra. Eh tapi dengar-dengar ada yang pengin nambah koleksi sepatu branded nih..." kata Dina terkekeh.

Wajah Sandra memerah mendengarnya. Tahu dari mana si Dina kalau tujuannya ke Surabaya sebenarnya memang ingin mencari sepatu? Ia memang sudah lama mengincar sepasang sepatu branded berhak tinggi berwarna jingga. Sepatu itu hanya dijual di sebuah gerai fashion di sebuah mal besar di kota Surabaya.

Wajah Sandra yang memerah perlahan berubah. Urat kesal mulai nampak di sana. Kebohongannya yang awalnya hanya basa-basi belaka terbongkar di depan Dina. Sandra malu bercampur marah. Ia berusaha menarik nafas panjang untuk mendapatkan mood-nya kembali. Kalau bukan karena Pemilu, ia ingin hengkang saja dan segera kabur ke kota bersama Anto.

Kini matanya kerap menatap jam dinding besar yang dipasang di belakang bilik suara. Jam dinding yang sehari-hari dipasang di pendopo desa itu digantungkan dengan tali yang ditambatkan di sisi atas tenda.

Sandra tidak sabar TPS segera dibuka. Ia menatap jarum pendek jam itu, menatap lebih detail ke gerakan jarum panjangnya. Begitu terus, sambil sesekali mengambil ponselnya dan mengetikkan sesuatu di sana. Ia ingin waktu berputar dengan cepat...

Bagian 3: Pak Beno dan Pak Rahmat
"Bagaimana kabarnya Pak Rahmat?" tanya Pak Beno yang duduk di kursi nomor antrian 6. Sosok yang ia sapa, Pak Rahmat, duduk di kursi antrian nomor 7.

"Kabar baik Pak Beno." Jawab Pak Rahmat.  "Bagaimana kabar Pak Rahmat. Kabar anak-anak bagaimana?"

"Saya baik-baik saja Pak Rahmat. Anak-anak saya sekarang semuanya tinggal di Bekasi. Terakhir si bungsu yang tadinya tinggal di Bandung kini juga sekeluarga pindah ke Bekasi. Katanya ingin dekat sama kakak-kakaknya." jawab Pak Beno dengan penuh kebanggaan.

Semua orang tahu keempat anak Pak Beno sukses meniti karir di Jakarta. Ada yang menjadi dosen, ada yang menjadi petinggi sebuah perusahaan. Salah satu anaknya bahkan menjadi direksi termuda salah satu perusahaan pelat merah yang tahun ini kabarnya akan membagikan dividen cukup besar.

Pak Beno sendiri seorang duda. Ia pensiunan salah satu perusahaan BUMN. Istrinya sudah lama tiada. Sehari-hari ia hidup sendiri saja dan tidak menjadi masalah baginya. Tapi ia tidak sepenuhnya sendiri. Sesekali ada pasangan suami istri warga desa tetangga yang datang membersihkan rumah dan areal kebunnya.

Pak Rahmat menikah dua kali. Dengan istri pertama, ia hanya memiliki seorang anak laki-laki. Ketika sang anak beranjak remaja, mereka bercerai. Tidak lama, Pak Rahmat menikahi istri keduanya dan memiliki lima anak yang kesemuanya laki-laki. Kini mereka sudah dewasa. Tiga putranya dari istri keduanya kabarnya sudah berkeluarga. Mereka tinggal di kota Surabaya namun karirnya tidak sesukses anak-anak Pak Beno.

Pak Rahmat juga sudah lama bercerai dengan istri keduanya. Kelima anak dari istri keduanya tidak ada yang mengenalnya secara dekat. Itu karena Pak Rahmat bekerja keras siang malam mencari nafkah untuk dua keluarganya. Ia bekerja sebagai operator forklift di sebuah perusahaan pertambangan di pedalaman Kalimantan dan hanya sempat pulang enam bulan sekali.  

Ketika anak kelimanya lahir, ia memutuskan bercerai dengan istri keduanya. Sang istri mendapat informasi, bahwa Pak Rahmat telah menikah siri dengan seorang warga Kalimantan. Alhasil, rumah tangganya pun berantakan. Tidak lama, Pak Rahmat juga akhirnya bercerai dengan istri ketiganya. Ia tidak memiliki anak dari istri ketiganya.

Beberapa tahun kemudian Pak Rahmat pensiun. Sadar bahwa ia akan hidup dalam sunyi, ia memutuskan kembali ke istri pertamanya. Niatan itu tercapai. Sang istri pertama menerimanya kembali hingga beberapa tahun lamanya, hingga sang istri pertama wafat sekitar tiga tahun lalu.

Sejak istri pertamanya wafat, Pak Rahmat hidup dalam kesendirian. Sunyi sendiri berhari-hari, berbulan-bulan, mendorong penyakitnya kambuh. Sebelum pensiun, ia didiagnosa menderita penyakit jantung koroner. Ia juga sudah lama menderita diabetes. Tubuhnya yang dulu sehat bugar, kini berangsur kurus oleh karena tidak ada yang mengurus.

Mendengar kabar suksesnya anak-anak Pak Beno membuat hati Pak Rahmat merasa ciut. Ia merasa tidak berhasil membina keluarganya. Satu-satunya anak lelaki dari istri pertamanya, menurut kabar terakhir dari istrinya, bekerja di Papua.

Sebelum wafat, sang istri pertama mewanti-wanti Pak Rahmat agar jangan sekalipun menemui putra mereka. Sang anak sangat membenci ayahnya sejak hari perceraian itu dan memutuskan pergi dari rumah.

"Semuanya itu harus disyukuri Pak Rahmat..." kata Pak Beno, membuyarkan lamunan singkat Pak Rahmat tentang hidupnya yang tidak utuh seperti keluarga Pak Beno.

"Apapun keadaan kita harus kita syukuri Pak. Ingat pesan Ustadz Yahya waktu pengajian minggu lalu? Dengan bersyukur maka nikmat kita akan ditambah oleh Allah..." lanjut Pak Beno.

"Iya Pak, saya ingat pesan Pak Ustadz Yahya. Saya menjalani saja apa yang sekarang ini saya jalani. Umur juga tinggal sedikit Pak, tidak ada yang saya cari lagi sekarang. Mungkin saya mati setahun lagi, atau seminggu lagi tidak ada bedanya. Atau mungkin sepulang dari sini bisa saja saya mati.." kata Pak Rahmat. Ia menarik nafas panjang. Kedua matanya nampak berkaca-kaca.

"Lho lho Pak Rahmat... Jangan berkata seperti itu lah, tidak baik. Umur memang tidak bisa diduga. Tapi jangan memikirkan tentang kematian dengan berlebihan seperti itu lah.." tukas Pak Beno.

"Saya tidak salah kan? Tidak ada yang tahu kapan kita akan mati. Bisa saja sepulang dari sini saya pergi dari dunia ini..." kata Pak Rahmat.

"Nah, ini yang namanya pesimis dalam hidup. Pak Rahmat, kita harus tetap optimis walaupun umur kita tinggal sedikit. Apa yang dikatakan Pak Rahmat itu betul. Tapi hati-hati, kalau kita berpikir seperti itu, hidup kita nanti isinya hanya menunggu kapan kita mati. "

"Kalau sudah begitu, tidak ada yang berarti di sisa hidup kita karena setiap hari selalu menunggu kematian.." kata Pak Beno sambil menepuk paha kiri Pak Rahmat.

"Sudahlah Pak Beno.. Biarkan saja.." kata Pak Rahmat.

Lalu ada keheningan selama beberapa waktu lamanya. Pak Beno nampak sedang memikirkan sesuatu. Pak Rahmat sesekali memandang tim KPPS yang sedang sibuk menandatangani lembar surat suara di sebuah meja besar. Sesekali ia menundukkan kepalanya.

"Ee..Pak Rahmat, kalau Bapak mau, saya mau ajak Bapak bantu saya berkebun. Saya punya kebun cabai dan tomat di belakang rumah. Ada juga beberapa pohon pisang kepok. Sudah dua tahun ini saya menyibukkan diri berkebun. Saya juga membuat kolak pisang seminggu sekali. Semua hasil kebun dan kolak pisang saya kirimkan ke pasar. Hasilnya lumayan lho, Pak Rahmat.." kata Pak Beno.

Keceriaan pun membuncah di wajah Pak Rahmat.

"Oh ya? Boleh, boleh, Pak Beno..." kata Pak Rahmat tersenyum.

"Oke, setelah nyoblos nanti ke rumah saya ya, Pak? Saya akan ajarkan ilmu dasar berkebun..hehe" kata Pak Beno yang disambut dengan kata "iya" oleh Pak Rahmat.

Bagian 4: Nyonya Martha Suja, Nyonya Rahma Suwito dan Nyonya Ana Suwondo 
Sebagai salah seorang terkaya di desa, Nyonya Martha datang ke TPS dengan penampilan yang lumayan glamor. Ia mengenakan pakaian panjang berwarna merah tua, lengkap dengan koleksi perhiasan emas di telinga, leher, tangan dan jemarinya. Perhiasan paling banyak adalah gelang-gelang di kedua tangannya yang kerap bergemerincing setiap kali ia menggerakkan tangannya, criingg... criingg...

Nyonya Martha datang bersama semua anggota keluarganya: Pak Suja, suaminya, dan kedua anaknya. Mereka mendapatkan nomor antrian berurutan, yaitu 11, 12, 13 dan 14.

Pak Suja adalah seorang yang tenang, cenderung pendiam. Keluarganya sudah kaya raya sejak dulu. Harta berupa rumah dan tanah menghampar di desa Pancajati dan beberapa desa tetangga. Saat ini Pak Suja dan istrinya getol berbisnis pariwisata. Mereka berinvestasi di beberapa tempat wisata di seantero Jawa Timur. Tahun ini, mereka berencana mengembangkan investasinya ke Jawa Tengah.

Di TPS 15, Nyonya Martha bertemu dengan tiga nyonya-nyonya sosialita desa Pancajati yang bernama Nyonya Rahma dan Nyonya Ana. Mereka adalah para orang kaya di desa itu. Suami Nyonya Rahma memiliki empat toko kelontong di desa Pancajati, dua toko bangunan di desa tetangga, dan empat belas toko perkakas pertanian yang tersebar di Kabupaten Madiun.

Sementara itu Nyonya Ana datang bersama suaminya. Ketiga anaknya sepakat datang ke TPS agak siang. Nyonya Ana adalah perancang busana yang memiliki puluhan butik di seantero Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jakarta.

Semua butiknya menjual pakaian hasil rancangannya. Kabarnya, tahun ini ia sedang bersiap membuka satu butik di Singapura. Semua pekerja di workshop-nya adalah warga desa Pancajati. Ia ingin meniru semangat sang kepala desa untuk membangun desa Pancajati.

Namanya ibu-ibu sosialita, kalau sudah berkumpul artinya 'tiada hari tanpa ngomongin orang lain'. Tetapi, meskipun mereka ini sosialita tingkat desa, gosip ibu-ibu ini bukan gosip recehan. Orang yang mereka gosipkan adalah orang-orang berpangkat. Misalnya pejabat di tingkat kabupaten atau propinsi, petinggi BUMN, hingga pejabat di pemerintahan pusat.

Di keluarganya, Nyonya Martha sering ditugaskan oleh sang suami bertemu dengan pejabat-pejabat tingkat kabupaten berkaitan dengan bisnis mereka. Nyonya Ana malah sering bertemu dengan pejabat tingkat pusat. Beberapa diantara mereka adalah pelanggannya.

Ketiganya merasa lelah duduk dan memilih berdiri agak jauh dari area kursi antrian. Masing-masing menggunakan kipas bermotif bunga yang diproduksi oleh Nyonya Ana.

"Jeng-jeng.. itu di depan sana, lihat kan?" kata Nyonya Ana.

"Apa ya Jeng Ana? Ada siapakah di depan sana?" tanya Nyonya Martha.

"Itu kan Pak Beno, duduk di samping Pak Rahmat." kata Nyonya Ana.

"Oh, iya Jeng. Memangnya kenapa dengan Pak Beno?" tanya Nyonya Rahma penasaran.

"Ssstt, jangan bilang siapa-siapa ya Jeng.. Beliau itu dulu kerja di sebuah perusahaan BUMN, nama perusahaannya saya lupa. Baru beberapa tahun ini pensiun. Tau gak Jeng, dulu dia itu suka kongkalikong sama perusahaan supplier, lho Jeng.. Itu kan sama dengan korupsi, Jeng.. " kata Nyonya Ana dengan suara setengah berbisik.

"Ah, masak sih Jeng? Hati-hati lho kena UU ITE nanti main tuduh aja Jeng Ana ini.." kata Nyonya Martha.

"Eh, Jeng Martha ini bagaimana sih? UU ITE itu kalau kita ngomongin orang di fisbok.." potong Nyonya Rahma.

"Facebook Jeng Rahma.." kata Nyonya Ana dan Nyonya Martha serempak, menarik perhatian beberapa warga menoleh ke arah mereka, termasuk Sandra dan Dina.

"Ada apa sih?" tanya Sandra.

"Hadehh... Dasar tiga emak-emak rempong ngagetin orang aja." Kata Dina sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ssstt.. ssttt... jangan keras-keras bicaranya Jeng.." kata Nyonya Rahma berbisik.

"Begini, ini kata salah seorang staf di kantornya. Aku kenal baik staf itu. Biasanya Pak Beno tuh suka mainin harga material sama supplier perusahaan. Kabarnya, ia terima komisi gede dari supplier, lho Jeng. Herannya, ia selalu lolos dari KPK. Gak tau gimana kok bisa lolos.."

"Malah beberapa pejabat lain di kantornya yang kena. Nah, si Bapak ini setelah pensiun selamat lah dia. Sekarang dia bisnis cabai dan tomat. Sama katanya jualan kolak pisang di pasar. Bukan jualan sih Jeng. Dia nitip kolak buatannya di pasar. By the way, si Bapak ini sengaja beli tanah di desa ini buat ngumpet, Jeng.." lanjut Nyonya Ana.

"Wah, jangan beli cabainya, jangan beli tomatnya, jangan beli kolaknya juga deh, Jeng. Modal uang haram jangan dimakan lah Jeng.." kata Nyonya Martha.

"Husshh.. udah, udah Jeng.. Jeng Ana sama Jeng Martha ini... Sudah, sudah.. Yuk kita beli gorengan Bu Sarti aja daripada ngomongin orang. Inget bulan puasa sebentar lagi, Jeng.." potong Nyonya Rahma.

"Eh Jeng Rahma ini aneh, sedari tadi ndengerin serius gitu.. haha.." kata Nyonya Martha tertawa, begitu juga Nyonya Ana. Nyonya Rahma tersipu malu. Mereka bertiga pun beranjak menuju lapak Bu Sarti, meninggalkan suami-suami dan anak-anak mereka yang setia menunggu TPS buka di kursi masing-masing.

Bagian 5: Pembukaan TPS
Tepat jam 07.00, TPS pun dibuka. Para warga pun bersiap. Warga yang telah mendapatkan nomor antrian mempersiapkan diri. Para warga yang berdiri di belakang kursi juga bersiap. Begitu pula warga yang tadinya berkumpul di lapak Bu Sarti juga mulai mendekat ke arah TPS.

Bu Sarti segera membereskan cangkir-cangkir dan piring-piring. Ia mengangkutnya ke area cuci piring dan segera mencucuinya. Senyumnya sumringah. Nampaknya omzet lapaknya bisa maksimal. TPS belum buka saja, ia merasa sudah break even point. Sang suami juga masih sibuk menggoreng pisang dan singkong pesanan beberapa warga.

Terbayang laba bersih yang bakal ia dapat sepanjang hari itu.

Catatan: 

1. nama karakter dan nama desa di dalam cerpen ini adalah fiktif.

2. elemen kotak suara pada ilustrasi dari "INFOGRAFIK: Kotak Suara Berbahan Kardus pada Pemilu 2019"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun