Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Pagi di Hari Pemilu

16 April 2019   13:29 Diperbarui: 16 April 2019   13:57 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: kompas.com

"Saya tidak salah kan? Tidak ada yang tahu kapan kita akan mati. Bisa saja sepulang dari sini saya pergi dari dunia ini..." kata Pak Rahmat.

"Nah, ini yang namanya pesimis dalam hidup. Pak Rahmat, kita harus tetap optimis walaupun umur kita tinggal sedikit. Apa yang dikatakan Pak Rahmat itu betul. Tapi hati-hati, kalau kita berpikir seperti itu, hidup kita nanti isinya hanya menunggu kapan kita mati. "

"Kalau sudah begitu, tidak ada yang berarti di sisa hidup kita karena setiap hari selalu menunggu kematian.." kata Pak Beno sambil menepuk paha kiri Pak Rahmat.

"Sudahlah Pak Beno.. Biarkan saja.." kata Pak Rahmat.

Lalu ada keheningan selama beberapa waktu lamanya. Pak Beno nampak sedang memikirkan sesuatu. Pak Rahmat sesekali memandang tim KPPS yang sedang sibuk menandatangani lembar surat suara di sebuah meja besar. Sesekali ia menundukkan kepalanya.

"Ee..Pak Rahmat, kalau Bapak mau, saya mau ajak Bapak bantu saya berkebun. Saya punya kebun cabai dan tomat di belakang rumah. Ada juga beberapa pohon pisang kepok. Sudah dua tahun ini saya menyibukkan diri berkebun. Saya juga membuat kolak pisang seminggu sekali. Semua hasil kebun dan kolak pisang saya kirimkan ke pasar. Hasilnya lumayan lho, Pak Rahmat.." kata Pak Beno.

Keceriaan pun membuncah di wajah Pak Rahmat.

"Oh ya? Boleh, boleh, Pak Beno..." kata Pak Rahmat tersenyum.

"Oke, setelah nyoblos nanti ke rumah saya ya, Pak? Saya akan ajarkan ilmu dasar berkebun..hehe" kata Pak Beno yang disambut dengan kata "iya" oleh Pak Rahmat.

Bagian 4: Nyonya Martha Suja, Nyonya Rahma Suwito dan Nyonya Ana Suwondo 
Sebagai salah seorang terkaya di desa, Nyonya Martha datang ke TPS dengan penampilan yang lumayan glamor. Ia mengenakan pakaian panjang berwarna merah tua, lengkap dengan koleksi perhiasan emas di telinga, leher, tangan dan jemarinya. Perhiasan paling banyak adalah gelang-gelang di kedua tangannya yang kerap bergemerincing setiap kali ia menggerakkan tangannya, criingg... criingg...

Nyonya Martha datang bersama semua anggota keluarganya: Pak Suja, suaminya, dan kedua anaknya. Mereka mendapatkan nomor antrian berurutan, yaitu 11, 12, 13 dan 14.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun