Mohon tunggu...
Garuda Hitam
Garuda Hitam Mohon Tunggu... profesional -

Garuda Hitam adalah cerita bersambung dengan genre spionase, kombinasi antara Da Vinci Code dengan James Bond, tentang intrik politik dan intelejen tingkat tinggi yang terjadi di tanah air. Kendati beberapa tokoh dan lembaga yang disebut dalam kisah ini benar-benar ada, cerita ini seratus persen fiksi alias khayalan. Kisah ini ditulis secara bergantian oleh Suka Ngeblog, Daun Ilalang dan Hes Hidayat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[13] Ledakan Meliputi Malam

27 Mei 2014   12:57 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:04 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SIGIT memeriksa alat komunikasinya.

“Red Hawk," panggilnya.

Suara jawaban segera terdengar dari Dosolsi. "Loud and clear, Team Leader..."

Sigit mengangguk. “Oke. Setelah mengantar Sekar aku menyusul ke kantor. Blue Hawk, bisa dengar aku?" panggilnya kembali.

"Roger, Team Leader. Kami melaju sesuai petunjuk."

Sigit mengangguk. Itu suara Doredo. Dia ada di dalam mobil yang dikemudikan Dolare, bersama dua lelaki yang terborgol. Kedua lelaki yang sempat menculik Sekar itu masih pingsan, dan kini dibawa ke Rumah Pantai untuk diinterogasi.

“Sekali lagi, kalian diberi hak untuk melakukan apapun agar kedua lelaki itu berkicau. Lakukan apapun. Dan tetap naikkan kaca mobil. Jangan sampai ada orang yang mengintip dan melihat ada orang terborgol di mobil...”

Dimengerti, Team Leader. Blue Hawk out

Sigit menarik nafas panjang dan menatap gadis yang berdiri di sampingnya.

"Naiklah, kuantarkan kau pulang. "

Sekar mengangguk. Dia masih tak banyak bicara. Apa yang baru saja terjadi masih memengaruhi dirinya.

Sigit memahami itu. Maka dia juga tak banyak bertanya.

***

Dolare memutar arah mobil, menuju arah pintu keluar kompleks perumahan. Perumahan itu indah, tertata dengan baik. Namun sangat sepi. Tak banyak orang melintas. Sekali- sekali, nampak satu dua mobil melaju. Keluar dari kompleks, jalan lebih ramai. Kendaraan dan para pejalan kaki lalu lalang. Dolare terus mengemudikan mobilnya, berbelok ke kiri lalu mengambil arah putaran ke kanan dan di sebuah lampu merah tak jauh dari terminal bus, dia berhenti sebab lampu menyala merah.

Dolare memerhatikan jalan di depannya. Seperti biasa, kendaraan berdesakan di situ. Sebagian hendak berbelok masuk ke jalan tol, sebagian hendak masuk ke dalam kota. Persis di depan lampu merah itu ada terminal bus antar kota yang menyebabkan kendaraan juga tak bisa melaju cepat.

Di samping dan di belakang mobil mereka, banyak motor yang juga berhenti menanti lampu merah berganti hijau.

"Jumlah motor, kini makin banyak saja," gumam Dolare. Di yayasan, Dolare yang nama aslinya Reynaldo Mangatur Sihotang biasa disapa rekan-rekannya sebagai ‘Batak Palsu’. Sejak berusia 10 tahun, Reynaldo mengikuti kedua orang tuanya bertugas di Solo. Setelah ayahnya pensiun dari tentara, mereka tetap bermukim di Solo. Bertahun-tahun menetap di Solo membuat Reynaldo akhirnya menjadi ‘lebih Jawa’. Dia fasih berbahasa Jawa, paham budaya Jawa, bahkan tutur katanya kini bergaya Jawa.

Dia mengikuti jejak ayahnya dengan mendaftar menjadi tentara di Angkatan Darat. Ketika lulus pendidikan, dia terpilih menjadi anggota Kopassus. Belakangan, dia ditugaskan menjadi perwakilan Kopassus di Lembaga Intelejen Negara (LIN).

Sementara Doredo, rekannya, di Yayasan secara bercanda biasa disebut sebagai ‘Artis Gagal’. Semasa kecil, Doredo yang nama aslinya Lanang Kilimanjaro ini memang pernah menjadi artis. Dia sempat tampil dalam satu episode Si Doel Anak Sekolahan. Bersama seorang perempuan yang berakting menjadi ibunya, Lanang mendapat adegan bersama Mandra. Dalam adegan itu Lanang dan ‘ibunya’ menaiki oplet yang dikemudikan Mandra. Lanang juga beberapa kali menjadi figuran video klip artis anak-anak, seperti Enno Lerian dan Trio Kwek Kwek.

Namun Lanang tidak lama menjadi ‘artis’. Dia fokus di sekolah, dan setelah lulus dia mendaftar di Angkatan Laut. Setelah lolos menjadi anggota Marinir, Lanang ditugaskan satuannya menjadi agen di LIN.

Di LIN, Reynaldo dan Lanang satu angkatan dengan Sigit, yang merupakan perwakilan kepolisian. Mereka berteman dekat, dan jika waktunyaa pas, suka saling mengolok-olok. Gelar ‘Batak Palsu’ dan ‘Artis Gagal’ diciptakan oleh Sigit. Sebagai balasan, mereka menjuluki Sigit sebagai ‘Playboy Murtad’.

***

Dolare menatap lampu lalulintas dengan tak sabar. Sekilas dia melihat di samping kanan dan kiri mobil mereka. Ada beberapa sepeda motor yang posisinya nyaris menempel di badan mobil. Di belakang mobil, juga ada motor yang sangat mepet dengan bagasi.

Dolare kembali menatap lampu lalu lintas. Dia tak melihat salah satu pengendara sepeda motor menyentuh mobilnya. Menempelkan sebuah benda kecil berwarna kehitaman di bagian belakang mobil. Sekilas, benda itu berkedip.

Lampu merah berganti hijau. Mobil mereka melaju kembali, membelok ke kanan, memasuki jalan tol.

***

Semut merah melapor. Kembang gula sudah ditempatkan. Sepuluh menit lagi kita akan melihat kembang api...” Terdengar suara dari balik telepon.

“Bagus. Tetap pantau dari jarak yang aman. Jangan gegabah,” kata lelaki itu. Dia kemudian menutup teleponnya, dan setelah melihat ke kiri kanan, segera membuang ponselnya ke tempat sampah.

Lelaki itu, Gagak Malam, segera memasuki sebuah restoran cepat saji tak jauh dari terminal.

***

Jalan tol terpecah dua. Satu ke arah Puncak, satu lagi menuju Sukabumi. Dolare mengambil arah ke Sukabumi, dimana Rumah Pantai berada.

Rumah Pantai yang mereka tuju bukan rumah yang berada di tepi pantai. Itu rumah yang khusus dibangun untuk kegiatan LIN. Letaknya agak terpencil, jalan masuknya kecil dan agak mendaki.

Rumahnya sendiri tak terlihat terlalu menyolok dari luar. Tapi jika masuk ke dalam, orang akan paham mengapa rumah itu dijuluki Rumah Pantai. Sebab di sana, ada kolam renang yang terletak di halaman dalam rumah, di mana kolam itu dibuat seakan- akan berada di pantai. Lengkap dengan pasir putih yang ada di tepian kolam dan pohon kelapa hias di sana- sini.

Entah berapa banyak pasir yang dulu harus diangkut untuk bisa membuat halaman di sekitar kolam renang itu tampak benar- benar seakan pantai betulan seperti itu.

Dolare membelok ke kiri, keluar dari jalan raya. Mulai memasuki jalan kemana nanti Rumah Pantai itu terletak. Jalan itu tak terlalu ramai. Dolare menyetir dengan santai.

Namun tiba- tiba...

Tampak beberapa remaja berlarian sambil berteriak- teriak. Di belakang mereka tampak rombongan remaja lain berlari mengejar. Di tangan mereka ada tongkat dan sabuk dengan kepala besi.

Tawuran.

Jalan mereka terhalang. Jalan itu sempit dan tak mungkin mobil bisa terus melaju saat ada tawuran remaja seperti itu.

Dolare menghentikan mobil sambil menoleh pada Doredo yang duduk di kursi belakang. Doredo segera memahami, mereka harus menghentikan tawuran itu dulu sebelum bisa melanjutkan perjalanan. Atau setidaknya, mereka harus mengupayakan agar para remaja itu tidak tawuran di jalan.

Dilihatnya kedua lelaki yang terborgol. Mereka tampak masih kelenger. Tidak benar- benar pingsan namun jelas tak cukup punya tenaga untuk melakukan apapun selain duduk di dalam mobil seperti itu.

Doredo keluar dari mobil.

"Kunci mobilnya, " katanya pada Dolare yang telah lebih dahulu keluar dari mobil. Dolare mengangguk. Dia menekan tombol remote kunci dan suara berdetakan terdengar. Mobil terkunci.

"Blue Hawk pada Team Leader," Doredo memanggil.

"Roger," suara Sigit Bhuwono terdengar. "Lokasi ?" tanyanya.

"Hampir tiba, sob, " kata Doredo, "Di jalan mendaki. Tapi kami harus berhenti, ada tawuran."

“Tawuran?”.

"Iya. Tawuran, dan mereka menghalangi jalan," Doredo berkata lagi. "Kami akan lerai dulu. Dua orang itu aman, sob, Dolare mengaktifkan kunci kedua."

Kunci kedua yang dia maksud adalah kunci yang membuat pintu mobil tak bisa dibuka dari dalam. Semacam child lock yang biasa ada di pintu belakang mobil, namun ini difungsikan pada keempat pintu mobil. Artinya, kedua lelaki yang mereka bawa tadi terkunci di dalam mobil.

"Baiklah. Hati-hati. Upayakan selesai dalam waktu singkat..."

"Roger that, Team Leader. Blue Hawk out, " jawab Doredo sambil berlari mengejar Dolare yang sudah lebih dahulu menuju ke arah di mana tawuran sedang terjadi.

***

Di dalam mobil yang dikemudikannya, Sigit melirik Sekar yang duduk di kursi sebelah kiri. Bahkan dalam keadaan terguncang seperti itupun, Sekar masih juga tampak cantik. Atau bahkan, makin cantik.

"Kau sudah makan ?" tanya Sigit pada Sekar.

Sekar menggeleng. Dia tadi baru saja tiba di rumah kost ketika kedua lelaki yang kini berada di dalam mobil yang dibawa Dolare dan Doredo menjemputnya.

"Mau mampir makan dulu ?" Sigit menawarkan.

Sekar menggeleng. "Langsung pulang saja, aku lelah."

Sigit mengangguk memahami. Dia kembali menatap gadis itu. Wajahnya masih nampak pucat. Dia harus melakukan sesuatu untuk membuat gadis ini ceria, pikirnya. Dan dia punya akal.

“Jadi, kapan kita nonton?” tanya Sigit tiba-tiba.

Seperti yang dia duga, pertanyaannya itu membuat Sekar berpaling menatapnya.

“Nonton? Nonton apa?”

“Nonton film, tentu saja. Em, katanya Godzilla bagus lho. Yang X-Men juga bagus kayaknya.”

“Eh, siapa yang mau nonton dengan kamu?” Sekar bertanya sengit.

Sigit tersenyum. Rencananya berhasil. Gadis itu mulai kembali ke sifatnya yang “asli”.

“Lho, telepon kamu yang tadi gimana? Kamu kan bilang kita gak bisa nonton? Aku ngerti jika sekarang gak bisa. Jadi kapan? Besok?”

Sekar menatap Sigit dengan tajam. Gadis itu terlihat gemas.

“Kamu jangan pura-pura bego deh. Yang tadi itu kan cuma pura-pura. Cuma akting. Supaya aku bisa menghubungi kamu dan...”

“Wah cuma pura-pura?” Sigit menggaruk kepalanya. “Padahal tadi aku sudah sempat berbunga-bunga lho. Jadi, yang ‘beib’ itu, panggilan ‘sayang’ itu, juga pura-pura?”

“Gak usah banyak omong. Sebaiknya kau perhatikan jalan di depan, beib...” Sekar berujar ketus, dan sengaja memberi penekanan pada kata beib.

Sigit kembali tersenyum. Setidaknya, dia lebih menyukai melihat gadis ini bersikap ketus daripada melihatnya murung.

Sigit menekan dashboard mobil, dan mengaktifkan panel speaker interkoneksi level dua, sehingga pembicaraannya melalui komunikator bisa terdengar pada speaker. Karena dia kini bersama Sekar, Sigit pikir ada baiknya jika gadis ini juga mendengar komunikasinya dengan rekan-rekannya

" Team Leader pada Blue Hawk, bagaimana perkembangannya?" Sigit memanggil.

Terdengar suara gemerisik. Doredo belum menjawab.

"Blue Hawk," panggil Sigit kembali.

Tiba- tiba...

Blarrrrrrr.

Suara ledakan tedengar.

Sigit dan Sekar terkejut. Suara ledakan keras itu berasal dari speaker tempat alat komunikator tersambung. Artinya suara itu berasal dari tempat di mana Doredo dan Dolare berada!!

"Blue Hawk!" Sigit memanggil kembali. "Doredo ! Dolare ! Doredo !"

Tak ada jawaban.

"Dolare!! Rey! Lanangg!!"

Gelap meliputi malam. Tak juga terdengar jawaban dari seberang sana. (bersambung)

catatan

Bab 1 hingga bab 11 kisah Garuda Hitam diikutsertakan dalam lomba penulisan novella gramediana.com dan terpilih menjadi pemenang pertama. Karena naskah itu akan diterbitkan dalam bentuk ebook oleh gramediana maka bab-bab itu terpaksa kami unpublish. Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini...

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun