Juventus terlilit masalah besar di tahun 2006. Adalah kasus calciopoli yang membuat gelar juara mereka dicopot dan harus rela turun kasta ke kompetisi Serie B.Â
Setelah berhasil kembali ke kasta tertinggi Italia, Juventus yang sempat tertatih arungi musim demi musim akhirnya merebut kembali gelar juara Italia pada tahun 2012.
Sejak saat itu pula, klub berjuluk Si Nyonya Tua terus bertengger di posisi pertama dan menjadi raja dalam waktu yang lama.
Banyak yang mengira bila aktor utama dari era kejayaan Juve adalah Antonio Conte. Pria Italia yang ditugaskan untuk duduk di kursi kepelatihan tim itu memang berhasil membawa Juve berjaya selama kurang lebih tiga tahun lamanya, sebelum akhirnya putuskan hengkang pada tahun 2014.
Namun wajah utama di balik era kejayaan Juve yang sebenarnya adalah Giuseppe "Beppe" Marotta. Pria 65 tahun, yang tak segan mendepak Conte karena terus menentang kebijakan klub.
Kemudian, tepat setelah era kejayaan Juve di Italia berhenti pada tahun 2021, yang mana nama Inter Milan muncul sebagai pemutus dominasi tim Zebra, nama Conte kembali dijunjung sebagai sosok yang paling berjasa dalam kebangkitan klub yang bermarkas di stadion Giuseppe Meazza.
Uniknya, aktor sesungguhnya di balik era kebangkitan Inter Milan bukanlah Conte, melainkan Beppe Marotta yang dahulu pernah bekerja sama dengan sang manajer di Juventus.
Jadi sosok yang begitu berjasa di era kejayaan Juventus, sekaligus berperan penting dalam era kebangkitan Inter Milan, siapa sebenarnya Giuseppe "Beppe" Marotta?
Perjalanan Karir Giuseppe Marotta
Lahir pada 25 Maret 1957 di Varese, Marotta terjun ke dunia sepakbola ketika usianya menginjak 21 tahun. Ketika itu, dia tidak berperan sebagai seorang pemain sepakbola, melainkan sebagai Direktur Pengembangan Usia Muda kesebelasan kota kelahirannya, Varese.
Naik pangkat ke posisi Direktur Umum setahun setelahnya, Varese langsung dibawa promosi ke ke kompetisi Serie B.Â
Bergabung dengan Monza tujuh tahun kemudian, Marotta sempat membawa klub tersebut promosi ke Serie B. Lalu, Como menjadi pelabuhan Marotta selanjutnya, dimana klub tersebut tidak membuatnya jadi sosok yang torehkan prestasi besar.
Meski begitu, Maurizio Zamparini yang sempat menjadi pemimpin Venezia bisa melihat kejeniusan yang ada pada sosok Marotta. Benar saja, di tahun ketiganya bermukim di Venezia, Marotta berhasil membawa klub tersebut promosi ke Serie A setelah menunggu selama 30 tahun.
Di era 2000 an, Marotta menjadi bagian dari klub Atalanta. Dia menjadi sosok yang tidak bisa disingkirkan usai klub tersebut muncul sebagai kuda hitam.
Karir Marotta kian meroket usai dirinya mampu membawa klub sekelas Sampdoria lolos dari jurang kehancuran. Sampdoria yang terpuruk di Serie B berhasil dibawa naik ke kompetisi Serie A.Â
Saat itu Marotta melakukan perombakan besar-besaran dengan menggaet Fabio Paratici sebagai Kepala Pemandu Bakat Sampdoria, sekaligus membawa pelatih Walter Novellino yang sempat mengantar Venezia promosi ke Serie A.
Pergerakan Marotta yang juga sukses datangkan pemain seperti Fabio Quagliarella, Christian Maggio, Andrea Poli, hingga meminjam Antonio Cassano, turut membawa Sampdoria bersaing di Liga Europa hingga Liga Champions Eropa.
Kejeniusan Marotta yang kian terlihat ketika menata sebuah tim kemudian membuat Juventus, yang saat itu tengah berjuang untuk bangkit, memanggil namanya. Dia sengaja didatangkan Agnelli untuk membuat Juve kembali kuasai kompetisi Italia.
Kesuksesan Bersama Juventus
Berkarir di Juve membuat Beppe Marotta kian dikenal dunia. Dia yang memang disiapkan untuk membantu Juve kembali bangkit dan meraih kejayaan telah berhasil menunaikan tugasnya dengan sangat baik.
Kedatangan Marotta ke Juve ketika itu menggantikan peran Alessio Secco sebagai Direktur Umum. Secco seringkali disebut sebagai sosok yang hanya menginginkan hasil instan.Â
Maka, Juve tak ragu untuk menggantinya dengan Marotta, yang dipandang sebagai pria yang lebih hati-hati dalam mempersiapkan segala sesuatu.
Selain menjadi Direktur Umum, Marotta juga sekaligus menjabat sebagai CEO gantikan Alessio Jean-Claude-Blanc. Dia dihadapkan dengan sejumlah tantangan, termasuk ketika klub terus dikritik ultras Juve.Â
Para penggemar merasa tidak puas dengan performa klub yang cuma menempati tangga ketujuh pada tahun 2010. Mereka menginginkan perubahan karena hasil tersebut jadi yang terburuk sejak Juve kembali naik ke kompetisi Serie A.
Dalam menjalankan tugasnya, Marotta turut membawa serta Paratici yang merupakan rekan kerjanya di Sampdoria.Â
Dua sosok yang saling bekerja sama itu kemudian berhasil mendatangkan nama-nama seperti Leonardo Bonucci dan Andrea Barzagli. Keduanya berhasil jadi pemain inti dalam waktu yang relatif lama.
Selain mendatangkan pemain, Marotta juga tak ragu melepas sejumlah nama yang dirasa sudah tidak mampu memberi keuntungan bagi klub. Diantaranya, David Trezeguet, Mauro Camoranesi, Fabio Cannavaro, Jonathan Zebina, dan Nicola Legrottaglie.
Pemain berbakat seperti Diego Ribas hingga Sergio Almiron juga dilepas karena dianggap tak mampu keluarkan performa terbaik.
Marotta yang menjadi sosok paling sibuk ketika bursa transfer dibuka, tahu betul bila klub harus melakukan banyak hal demi menyeimbangkan neraca keuangan. Terlebih ketika peraturan Financial Fair Play mulai diberlakukan.
"Sepakbola harus menjadi aktivitas yang berkelanjutan, dimana kalian harus membatasi kerugian. Financial Fair Play menjadi peringatan bagi setiap manajemen untuk mengatur pemasukan mereka," ujar Marotta pada 2013.
Selain bergerak mencari pemain yang memang dibutuhkan, kecerdikan Marotta juga tertuang dalam pemilihan pelatih kepala.Â
Antonio Conte, yang belum menjadi apa-apa ketika pertama kali bergabung dengan Juve menjadi bukti dari kejelian Marotta. Dia mempercayai Conte sebagai sosok yang bakal memberi dampak spektakuler bagi perkembangan skuad Si Nyonya Tua.
Benar saja, Conte berhasil persembahkan tiga trofi Serie A secara beruntun, sekaligus membangun pondasi kuat untuk kemudian membuat Juve jadi tim yang kian perkasa.
Di balik itu, Marotta juga jadi sosok yang tak ragu untuk memberhentikan Conte, setelah sang pelatih terus meminta dana besar untuk membeli pemain bintang.Â
Bagi Marotta, mendatangkan pemain berkelas memang perlu, namun tidak dengan cara buru-buru. Apalagi hal tersebut sangat rentan memberi kerugian.
Marotta pernah dihadapkan dengan situasi dimana Juve diberi dua pilihan, yaitu antara merekrut Gonzalo Higuain dari Real Madrid atau Carlos Tevez yang situasi nya mulai tak jelas di Manchester City.Â
Ketika manajemen lain meminta klub datangkan Higuain, Marotta dengan percaya diri memilih Tevez. Selain karena sang pemain berskill tinggi, harga yang harus dibayar juga relatif terjangkau.
Toh, dalam beberapa tahun berikutnya, Juve akhirnya juga mampu menggaet Higuain dari Napoli.
Bersama Marotta, pergerakan transfer Juve memang terlihat lebih irit namun efektif. Mereka berhasil datangkan Paul Pogba, Andrea Pirlo, Fernando Llorente, Kingsley Coman, Sami Khedira, sampai Daniel Alves, dengan tanpa biaya.Â
Selain itu, nama Arturo Vidal, Simone Pepe, Stephan Lichtsteiner, hingga Emanuele Giaccherini juga didatangkan dengan harga murah.
Keputusan tak kalah penting, Marotta tak ragu menunjuk Massimiliano Allegri sebagai juru taktik untuk gantikan Conte.
Tanpa melakukan belanja mewah, Allegri berhasil membawa Juve lolos ke babak final Liga Champions Eropa sebanyak dua kali. Selain itu, gelar juara Serie A juga berhasil dipertahankan dalam beberapa tahun berikutnya.
Selama kurang lebih delapan tahun berkarir di Juve, Marotta akhirnya putuskan hengkang dimana perbedaan visi dengan Andrea Agnelli dan Pavel Nedved ditengarai menjadi penyebab.
Memikul sejumlah tanggung jawab untuk membawa Juve kembali berjaya, membuat Marotta mampu kumpulkan tujuh gelar Liga Italia, empat Piala Italia, dan empat Piala Super Italia.
Tak butuh waktu lama bagi Marotta pasca berpisah dari Juve untuk dapatkan destinasi anyar. Tepat pada Desember 2018, Inter Milan resmi menunjuk Beppe Marotta sebagai CEO yang baru, hanya kurang dari dua bulan setelah ia meninggalkan Juve.
"Mulai hari ini, aku akan menjadi bagian dari Inter yang hebat ini, sesuatu yang sangat aku banggakan, untuk memenuhi peran penting tersebut, menjadi manajer umum untuk aspek-aspek olahraga,"
"Ini tentu saja merupakan pengalaman dan bab penting dalam kehidupanku, penuh tanggung jawab besar, meski ini tentunya tidak membuat ku takut ketika kami berada di jalur yang penting, dan harus menjadi pemenang."
Bangkitkan Inter dari Keterpurukan
Jejak gemilang Marotta berhasil membuat Steven Zhang tertarik mendatangkannya. Terlebih, Inter yang merupakan tim raksasa tengah berada dalam kondisi yang memprihatinkan.Â
Mereka sulit bersaing dengan tim-tim besar lainnya, hingga keuangan tim yang berada pada titik tidak seimbang.
Jendela transfer musim panas 2019 kemudian menjadi panggung pertama Marotta untuk membenahi Inter. Salah satu pergerakan brilian Marotta adalah dengan mendatangkan pelatih Antonio Conte untuk gantikan peran Luciano Spalletti.Â
Setelah menetapkan pelatih kepala, pemain seperti Nicolo Barella, Romelu Lukaku, sampai Alexis Sanchez berhasil didatangkan.
Yang tak kalah penting, Marotta juga tak ragu menyingkirkan nama seperti Gabriel Barbosa, Mauro Icardi, Radja Nainggolan, sampai Joao Mario, yang dianggap cuma memperberat beban gaji.
Ucapan penuh optimisme tinggi yang digaungkan Marotta di awal kedatangan membuat Inter tampil lebih perkasa. Pergerakannya dalam membangun skuad akhirnya menempatkan Inter sebagai runner up musim 2019/20. Meski gagal mencapai hasil maksimal, pertumbuhan Inter dengan nama Marotta di belakangnya terbilang sukses besar.
Hal tersebut dibuktikan dengan performa Inter di musim 2020/21, dimana gelar scudetto pertama berhasil didapat setelah sebelas tahun sebelumnya.
Peran Marotta dalam membawa Inter meraih gelar juara tentu tak jauh dari pergerakan transfer yang dilakukan.Â
Kita semua tentu masih ingat ketika klub berhasil datangkan nama Achraf Hakimi dan Arturo Vidal untuk menambah daya gempur. Kesepakatan penting lainnya adalah mempermanenkan status Barella dan juga Matteo Darmian.
Perjalanan Marotta di Inter kemudian diuji dengan sesuatu yang cukup membuat jantung berdegup kencang. Inter dikabarkan mengalami masalah finansial akibat pandemi yang menyerang.Â
Hal itu lantas membuat pemain seperti Romelu Lukaku sampai Achraf Hakimi yang jadi pilar penting dalam meraih gelar juara, harus dilepas.Â
Belum lagi karakter Conte soal dirinya yang ogah memperkecil budget belanja, kembali membuat Marotta harus memutus kerjasama nya dengan sang pelatih.
Beruntung dengan kecerdasannya, Marotta tetap bisa mendatangkan pemain yang sesuai dengan kebutuhan. Edin Dzeko yang diplot sebagai pengganti Lukaku, serta Denzel Dumfries yang gantikan posisi Hakimi, membuat nafas Inter cukup lega untuk menghadapi musim selanjutnya.
Dari sejumlah perekrutan penting tersebut, terdapat satu nama yang juga sangat menguntungkan. Adalah Hakan Calhanoglu yang didatangkan dari klub rival tanpa mengeluarkan dana sepeserpun.
Pemain-pemain tersebut juga tampak serasi dengan racikan skuad yang dikomandoi Simone Inzaghi.
Pada musim 2021/22, Inter memang gagal pertahankan gelar juara setelah mereka hanya duduki peringkat kedua. Namun di musim 2022/23, Inter memiliki perjalanan yang menawan. Meski mereka masih belum mampu kembali meraih gelar liga, mahkota di kejuaraan Eropa kini berada di depan mata.
Kesuksesan itu tak lepas dari hebatnya pergerakan Marotta di bursa transfer musim panas 2022. Saat itu Inter sukses datangkan sejumlah pemain pilar.Â
Selain itu, di antaranya Romelu Lukaku yang dipulangkan dari Chelsea, Andre Onana yang akhirnya diumumkan, penandatanganan pemain muda potensial macam Kristjan Asllani, sampai Henrikh Mkhitaryan yang didatangkan dengan status bebas transfer.
Bersama Marotta, Inter diprediksi akan terus berkembang. Mereka punya kesempatan besar untuk teruskan kejayaan, dan bukan suatu hal yang mengherankan, bila kompetisi Eropa nantinya akan kembali masuk ke dalam genggaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H