Seiring waktu berjalan, bukannya gerakan ini tambah memacu semangat orang untuk menghargai penggunaan uang koin logam, yang terjadi justru sebaliknya. Itulah yang membuat 6 tahun kemudian, gerakan ini digaungkan kembali. Pada Juni 2016 itu, Bank Indonesia sampai-sampai mengeluarkan pernyataan bahwa uang koin logam masih terpinggirkan.
"Uang koin sering dianggap nilainya kecil, padahal masih menjadi simbol negara dan fungsi transaksi perbankan. Fenomena yang terjadi, masyarakat memperlakukan uang koin bukan sebagai alat transaksi. Dan nilainya sering digantikan oleh permen, mahar bahkan permainan anak-anak," ungkap Deputi Gubernur Bank Indonesia, Ronald Waas kala itu. Pernyataan ini mencerminkan kegetiran bersama, apalagi dari pihak Bank Indonesia tentunya -- karena berdasarkan UU pokok Bank Sentral No.13 tahun 1968 pasal 26 ayat 1, mempunyai hak tunggal untuk mengeluarkan uang logam dan kertas. Hak tunggal ini disebut juga dengan Hak Oktroi atau Hak Istimewa.
Uang itu simbol kedaulatan bangsa? Ya, uang terbitan Bank Indonesia itu sama juga dengan simbol-simbol negara lainnya, seperti Bendera Merah Putih, Lambang Garuda Pancasila, Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, Bahasa Indonesia dan Istana Presiden. Maka itu, jangan sembarangan ya memperlakukan uang dengan tidak sepatutnya.
Malahan, Pasal 23 UU No.7 tahun 2011 tentang Mata Uang, mengancam pengenaan sanksi bagi siapa saja yang menolak untuk menerima Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah. Ancaman sanksinya tidak main-main. Seperti tertuang dalam Pasal 33 ayat 2 UU tentang Mata Uang tersebut, yaitu pidana kurungan paling lama 1 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200 juta.
Sisanya ke mana? Weleh-weleh ...
Kalau boleh dijawab, sisanya mungkin ada yang dibuang, terlupakan lalu terbuang, dan disimpan. Lho, kok disimpan? Ya, saya bisa jadi salah satu contoh kasusnya. Di rumah saya, ada baki kecil yang menjadi tempat penampungan uang-uang logam berbagai nilai pecahan, dari Rp 100, Rp 200, Rp 500 sampai Rp 1000. Lantas kenapa tidak dibelanjakan? Karena, untuk mencari harga barang yang seharga nilai nominal pecahan uang logam tadi memang semakin jarang, utamanya yang Rp 100 dan Rp 200. Jangankan itu, bahkan kalau pergi ke toilet umum yang biasa di setiap SPBU saja misalnya, minimal saya harus menyiapkan uang Rp 1000 sampai Rp 2000. Bener enggak?
Selain itu, kalaupun ingin ditukarkan ke kasir minimarket, harus menunggu supaya jumlah uang logamnya "menggunung" dulu di atas baki. Itu saja sih alasannya. Tapi yakinlah, "penyimpanan" uang logam di rumah saya rapi dan terkendali kok, hehehehee ...
"Lho, memangnya uang-uang receh itu dijadikan apa oleh sanak keluarga yang kemalangan itu?" tanya saya heran.