Coba lihat foto yang di atas ini. Kamu lihat deh, apa yang dilindas ban mobil dan motor itu?
Aspal!
Ya betul, aspal. Tapi lihat dulu, apa tuh yang warnanya putih abu dan bundar kecil itu?
Apaan sih itu, uang koinkah?
Nah benar, itu uang logam kita. Uang yang dikeluarkan Bank Indonesia.
Wah, miris banget. Kenapa musti dibuang-buang? Kalau dikumpulin kan bisa jadi banyak.
(Saya pun tersenyum. Kecut)
o o O o o
Jelas kelihatan, uang koin receh yang terbuang itu bahkan sudah "terbenam" dan menyatu dengan permukaan aspal. Bagaimana enggak? Panas menyengat membuat aspal memuai, dan uang koin receh yang setiap saat terlindas ban-ban kendaraan itu pun melesak masuk dalam pori-pori aspal.
Di pertigaan jalan tersebut, saya coba bertanya kepada salah seorang "Pak Ogah" atau "pengatur lalu-lintas". Bagaimana caranya? Sedikit putar otak supaya "Pak Ogah" tak tersinggung, saya berdalih ingin menukar dua lembar uang kertas Rp 2000, dengan uang logam miliknya. Kendaraan saya pinggirkan sambil memanggil "Pak Ogah" yang tampak mengenakan kemeja kotak-kotak dengan luaran hoodie bertutup kepala.
"Abang, saya mau tukar uang receh dong," seru saya kepada 'Pak Ogah' yang mengenakan kacamata gelap tersebut.
Sambil berjalan menghampiri, "Pak Ogah" bertanya, "Mau nukar berapa duit?"
"Empat ribu, nih. Tolong, saya perlu," ujar saya pendek.
Tangan kanan "Pak Ogah" merogoh kantong, lalu dikeluarkan lagi. Terlihat uang logam sudah memenuhi tangan kanannya. Kebanyakan adalah uang logam pecahan Rp 500, meskipun ada beberapa yang juga Rp 200. Cekatan, tangan kirinya kemudian mengambil uang logam Rp 500 sebanyak 8 keping. "Emang buat apaan duit recehan ini? Buat parkir juga ya," tanya si "Pak Ogah".
"Ya saya perlu buat simpan di rumah," jawab saya sekenanya.
Sambil menerima 8 uang logam pecahan Rp 500, saya kembali bertanya, "Abang, kalau duit receh yang Rp 100, Rp 200, biasanya suka dibuang-buang ya. Tuh, kayak di tengah jalan itu?"
"Ya, suka buangin. Tuh, pada dibuang-buang juga," ujar lelaki muda ini sembari seolah menunjukkan dengan wajahnya ke arah uang-uang logam yang sudah terbenam dan menyatu dengan aspal.
Lihat saja logam pecahan Rp 1000 terbitan Bank Indonesia tahun 2016. Pada sisi muka ada gambar Pahlawan Nasional Mr I Gusti Ketut Pudja, yang pernah ikut serta dalam perumusan negara Indonesia melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mewakili Sunda Kecil (Bali dan Nusa Tenggara). Pada saat perumusan naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda, I Gusti Ketut Pudja juga hadir. Selanjutnya, oleh Presiden Soekarno ia diangkat sebagai Gubernur Sunda Kecil. Dan, pada 2011 menerima penganugerahan Pahlawan Nasional.
Di uang logam pecahan Rp 500 tahun emisi 2016, ada gambar Letnan Jenderal TNI (Purn) Tahi Bonar Simatupang. Gelar pahlawan nasional disematkan pada tahun 2013, kepada tokoh militer yang satu ini atas jasa-jasanya yang pernah menggantikan Panglima Besar Jenderal Soedirman. TB Simatupang waktu itu dilantik Presiden Soekarno untuk menjabat Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia. Namanya kemudian diabadikan juga sebagai nama jalan di wilayah Jakarta Selatan.
Pada uang logam pecahan Rp 200 keluaran Bank Indonesia tahun 2016, ada foto Dr Tjipto Mangunkusumo. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Ambarawa pada 1943, dan menerima penganugerahan sebagai Pahlawan Nasional pada 1964. Bersama Ki Hadjar Dewantara dan Ernest Douwes Dekker, Dr Tjipto Mangunkusumo pernah diasingkan ke Negeri Belanda oleh Pemerintah Kolonial. Perjuangan "Tiga Serangkai" ini sudah tidak diragukan lagi dalam memajukan bangsa Indonesia.
Adapun uang logam pecahan Rp 100 edisi tahun yang sama, ada foto pahlawan nasional Prof Dr Ir Herman Johannes. Beliau dikenal sebagai pendidik dan ilmuwan fisika juga kimia. Berkat keilmuannya ini, Herman pernah diberi tugas Letkol Soeharto yang waktu itu menjabat sebagai Komandan Resimen XXII TNI yang membawahi Yogyakarta, untuk memasang bom di jembatan kereta api Sungai Progo. Selain itu, Herman yang dianugerahi Pahlawan Nasional pada 2009 juga turut angkat senjata pada aksi Serangan Umum 1 Maret 1949.
Demi mengenang jasa mulia para pahlawannNasional tersebut, apa kita lantas tega membuang begitu saja, uang-uang logam tadi ke jalan raya? Rasanya sambil menutup muka karena malu, kita wajib mengatakan, "Tidak!"
Pihak minimarket jelas butuh uang koin aneka pecahan untuk berjaga-jaga bila harus melakukan pengembalian uang kepada pelanggan yang bertransaksi.
Selain itu, kalau kita masih ingat, pada medio Juli 2010 lalu pernah digalang kerja sama antara Bank Indonesia, Kementerian Perdagangan, Perbankan, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) dan Perhimpunan Kasir se-Jabodetabek yang meluncurkan kampanye "Peduli Koin Nasional".
Tak hanya berhenti pada memberi saran, agar supaya uang-uang koin logam itu tidak dibuang sembarangan dan lebih baik ditukarkan ke kasir minimarket terdekat, saya tergerak untuk menanyakan langsung kepada petugas kasir di minimarket yang lokasinya jadi satu dengan area SPBU di Jalan Pajajaran, Pamulang, Tangsel.
"Mbak, apa boleh kalau saya punya uang koin logam di rumah yang recehan itu, ditukarkan dengan uang kertas nominal yang sama di sini?" tanya saya pada Rabu (10/12) sambil membeli camilan.
"Tukar recehannya di sini, boleh Pak," jawab Uri, kasir di minimarket ini sambil tersenyum.
Jawaban Uri tentu melegakan hati. Artinya, tidak ada alasan apapun bagi siapa pun untuk masih membuang-buang uang logam, entah di aspal panas jalan raya maupun di mana-mana. Bisa kok kita tukarkan uang logam itu ke kasir minimarket. Atau, ya tukar deh ke bank.
Oh ya, di depan mesin kasir minimarket, saya melihat ada satu piring transparan yang ukurannya tidak terlalu besar, tempat dimana Uri menyediakan banyak sekali uang koin logam. Tentu, ini digunakan sebagai pelengkap nominal uang kembalian untuk pelanggan. Termasuk saya, yang menyodorkan secarik uang Rp 50.000, dan sesudah digunakan untuk membayar belanjaan, tercantum bahwa uang kembalian yang harus saya terima adalah senilai Rp 26.400. Cekatan sekali jemari Uri mencari-cari dua uang logam senilai pecahan Rp 200, demi melunasi nomimal uang kembalian untuk saya. Jelasnya, tak ada istilah mengganti uang kembalian nominal uang kecil dengan permen dan sebagainya.
Seiring waktu berjalan, bukannya gerakan ini tambah memacu semangat orang untuk menghargai penggunaan uang koin logam, yang terjadi justru sebaliknya. Itulah yang membuat 6 tahun kemudian, gerakan ini digaungkan kembali. Pada Juni 2016 itu, Bank Indonesia sampai-sampai mengeluarkan pernyataan bahwa uang koin logam masih terpinggirkan.
"Uang koin sering dianggap nilainya kecil, padahal masih menjadi simbol negara dan fungsi transaksi perbankan. Fenomena yang terjadi, masyarakat memperlakukan uang koin bukan sebagai alat transaksi. Dan nilainya sering digantikan oleh permen, mahar bahkan permainan anak-anak," ungkap Deputi Gubernur Bank Indonesia, Ronald Waas kala itu. Pernyataan ini mencerminkan kegetiran bersama, apalagi dari pihak Bank Indonesia tentunya -- karena berdasarkan UU pokok Bank Sentral No.13 tahun 1968 pasal 26 ayat 1, mempunyai hak tunggal untuk mengeluarkan uang logam dan kertas. Hak tunggal ini disebut juga dengan Hak Oktroi atau Hak Istimewa.
Uang itu simbol kedaulatan bangsa? Ya, uang terbitan Bank Indonesia itu sama juga dengan simbol-simbol negara lainnya, seperti Bendera Merah Putih, Lambang Garuda Pancasila, Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, Bahasa Indonesia dan Istana Presiden. Maka itu, jangan sembarangan ya memperlakukan uang dengan tidak sepatutnya.
Malahan, Pasal 23 UU No.7 tahun 2011 tentang Mata Uang, mengancam pengenaan sanksi bagi siapa saja yang menolak untuk menerima Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah. Ancaman sanksinya tidak main-main. Seperti tertuang dalam Pasal 33 ayat 2 UU tentang Mata Uang tersebut, yaitu pidana kurungan paling lama 1 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200 juta.
Sisanya ke mana? Weleh-weleh ...
Kalau boleh dijawab, sisanya mungkin ada yang dibuang, terlupakan lalu terbuang, dan disimpan. Lho, kok disimpan? Ya, saya bisa jadi salah satu contoh kasusnya. Di rumah saya, ada baki kecil yang menjadi tempat penampungan uang-uang logam berbagai nilai pecahan, dari Rp 100, Rp 200, Rp 500 sampai Rp 1000. Lantas kenapa tidak dibelanjakan? Karena, untuk mencari harga barang yang seharga nilai nominal pecahan uang logam tadi memang semakin jarang, utamanya yang Rp 100 dan Rp 200. Jangankan itu, bahkan kalau pergi ke toilet umum yang biasa di setiap SPBU saja misalnya, minimal saya harus menyiapkan uang Rp 1000 sampai Rp 2000. Bener enggak?
Selain itu, kalaupun ingin ditukarkan ke kasir minimarket, harus menunggu supaya jumlah uang logamnya "menggunung" dulu di atas baki. Itu saja sih alasannya. Tapi yakinlah, "penyimpanan" uang logam di rumah saya rapi dan terkendali kok, hehehehee ...
"Lho, memangnya uang-uang receh itu dijadikan apa oleh sanak keluarga yang kemalangan itu?" tanya saya heran.
"Uang-uang receh ini akan disebar oleh sanak keluarga tadi, lalu menjadi bahan rebutan orang-orang terutama anak-anak. Nah biasanya uang-uang itu kemudian dibelikan lilin. Lilinnya lalu dinyalakan dengan maksud supaya bisa menerangi arwah yang meninggal di alam sesudah dunia. Ini cuma kepercayaan saja sih, Pak," tutur perempuan berusia senja ini menjelaskan.
Saya cukup tertegun menyimak penuturan asisten rumah tangga yang berasal dari wilayah Jawa Tengah ini. Seraya berpikir bahwa ternyata ada nilai budaya tradisional yang melekat terkait fungsi dan kegunaan uang logam. Pikir saya, tentu ini sama dengan apa yang sering kita saksikan pada saat prosesi ijab-kabul pernikahan. Beberapa pasangan pengantin menggunakan uang logam sehingga membuat nilai mahar mas kawin menjadi nyentrik. Misalnya, mahar mas kawin berupa emas seberat 20 gram dan uang tunai senilai Rp 20.115. Jumlah uang tunai Rp 20.115 ini bisa menjadi simbol, bahwa pernikahan mempelai pengantin dilaksanakan pada tanggal 20 bulan 1 tahun 2015. Ada-ada saja ya ide cemerlangnya ...
Pertama, sebagai media untuk mengajarkan anak-anak menabung dan menghargai uang miliknya sejak masa kecil. Senang lho manakala kita melihat anak-anak dengan jemari kecilnya memasukkan uang logam ke celengan tanah liat maupun plastik. Kepada mereka, dulu saya kerapkali memberi saran bahwa kalau celengannya sudah penuh, boleh digunakan untuk membeli apa saja yang mereka inginkan, mulai dari sepatu roda, tas sekolah sampai sepeda. Untuk yang keinginan yang terakhir, tetap saja kita sebagai orangtua yang harus menambahkan uang juga karena harga sepeda tentu cukup mahal. Kecuali, Pak Jokowi mau memberi tebakan soal 5 nama ikan dan anak saya menjawabnya untuk bisa mendapatkan sepeda cuma-cuma seperti yang diberikan Pak Presiden ke penyanyi Raisa itu, hiks ...
Jelasnya, mengajarkan anak-anak menabung, termasuk dengan uang logam sejak dini agar supaya kelak mereka dapat mengatur kondisi keuangannya. Jelasnya, mereka tidak akan menjadi pribadi-pribadi yang suka menghamburkan uang dengan foya-foya.Â
Kedua, sebagai bentuk dukungan yang disimbolkan dengan uang logam. Banyak kok contohnya, seperti misalnya Kasus Prita (Koin Untuk Prita) tempo hari. Atau, seperti yang diusahakan salah seorang rekan saya yang turut berjibaku dalam program Coin a Chance. Ini merupakan gerakan sosial untuk mengumpulkan recehan atau uang logam yang biasa bersebaran, bertumpuk dan jarang dimanfaatkan. Uang yang terkumpul ini segera ditukarkan dengan "sebuah kesempatan" khususnya bagi anak-anak kurang mampu sehingga bisa melanjutkan pendidikannya lagi.
Sungguh mulia sekali. Dan ingat, medianya uang logam recehan itu lho ...
Eh, kalau sekalian saya boleh usul ke kawan-kawan admin pengelola gerakan sosial Coin a Chance, ada baiknya mengajak bermitra juga para 'Pak Ogah' di banyak persimpangan jalan, supaya uang logam jangan sampai dibuang-buang percuma. Bagaimana caranya? Ya monggo diatur aja, seperti misalnya menerjunkan para relawan ke lapangan dan menemui para "Pak Ogah" tadi.
Sedangkan bagi Bank Indonesia sendiri, uang logam diciptakan sebagai alat pembayaran yang sah, seperti yang termaktub dalam Pasal 1 UU No.7 tahun 2011 tentang Mata Uang, dimana pada bahan bakunya terdapat unsur pengaman dan tahan lama.
Tahan lama? Ya, uang logam yang terbuat dari aluminium, nikel maupun kuningan tentu saja bisa lebih awet dibandingkan dengan uang kertas. Perbandingannya adalah 1:15, artinya uang kertas bisa tahan selama 1 tahun, sedangkan uang logam sampai 15 tahun. Tapi, biaya produksi uang logam juga tidak sedikit. Selain karena bahan logam lebih mahal dari kertas, tapi juga ada biaya lain yang harus dikeluarkan, seperti biaya desain, biaya riset dan biaya hak cipta. Sejauh ini, biaya untuk mengurus proses hak cipta inilah yang paling mahal.
Eh jangan salah asumsi ya, bukan Cinta Uang lho maksudnya. Melainkan Cinta Rupiah yang itu berarti kita wajib menghargai jasa para Pahlawan Bangsa dan menjunjung tinggi simbol Kedaulatan Negara. Itulah makanya perlu dilakukan perlakuan "3 + 5". Apa saja itu?
Adalah "3 Di" yang harus kita sadari sepenuhnya dengan segala bentuk tanggung-jawab terhadap uang rupiah, yaitu:
- Didapat. Ya tentu, cara mendapatkannya harus benar juga halal. Setuju dongya.
- Disayang. Artinya luas, seperti misalnya jangan dihamburkan foya-foya.
- Disimpan. Maknanya, supaya kita bisa mengatur perencanaan keuangan bila uang tersimpan untuk kebutuhan di masa depan.
Sedangkan perlakuan "5 Jangan" terhadap uang berikutnya adalah menyayangi hasil kerja keras kita tersebut dengan:
- Jangan melipat uang.
- Jangan mencorat-coret uang.
- Jangan pernah menstapler uang.
- Jangan sampai diremas.
- Jangan juga dibasahi.
Sungguh, perilaku "3 + 5" yang tak terlalu rumit untuk kita lakukan, bukan?
Yuk, kita #CintaRupiah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H