"Uang-uang receh ini akan disebar oleh sanak keluarga tadi, lalu menjadi bahan rebutan orang-orang terutama anak-anak. Nah biasanya uang-uang itu kemudian dibelikan lilin. Lilinnya lalu dinyalakan dengan maksud supaya bisa menerangi arwah yang meninggal di alam sesudah dunia. Ini cuma kepercayaan saja sih, Pak," tutur perempuan berusia senja ini menjelaskan.
Saya cukup tertegun menyimak penuturan asisten rumah tangga yang berasal dari wilayah Jawa Tengah ini. Seraya berpikir bahwa ternyata ada nilai budaya tradisional yang melekat terkait fungsi dan kegunaan uang logam. Pikir saya, tentu ini sama dengan apa yang sering kita saksikan pada saat prosesi ijab-kabul pernikahan. Beberapa pasangan pengantin menggunakan uang logam sehingga membuat nilai mahar mas kawin menjadi nyentrik. Misalnya, mahar mas kawin berupa emas seberat 20 gram dan uang tunai senilai Rp 20.115. Jumlah uang tunai Rp 20.115 ini bisa menjadi simbol, bahwa pernikahan mempelai pengantin dilaksanakan pada tanggal 20 bulan 1 tahun 2015. Ada-ada saja ya ide cemerlangnya ...
Pertama, sebagai media untuk mengajarkan anak-anak menabung dan menghargai uang miliknya sejak masa kecil. Senang lho manakala kita melihat anak-anak dengan jemari kecilnya memasukkan uang logam ke celengan tanah liat maupun plastik. Kepada mereka, dulu saya kerapkali memberi saran bahwa kalau celengannya sudah penuh, boleh digunakan untuk membeli apa saja yang mereka inginkan, mulai dari sepatu roda, tas sekolah sampai sepeda. Untuk yang keinginan yang terakhir, tetap saja kita sebagai orangtua yang harus menambahkan uang juga karena harga sepeda tentu cukup mahal. Kecuali, Pak Jokowi mau memberi tebakan soal 5 nama ikan dan anak saya menjawabnya untuk bisa mendapatkan sepeda cuma-cuma seperti yang diberikan Pak Presiden ke penyanyi Raisa itu, hiks ...
Jelasnya, mengajarkan anak-anak menabung, termasuk dengan uang logam sejak dini agar supaya kelak mereka dapat mengatur kondisi keuangannya. Jelasnya, mereka tidak akan menjadi pribadi-pribadi yang suka menghamburkan uang dengan foya-foya.Â
Kedua, sebagai bentuk dukungan yang disimbolkan dengan uang logam. Banyak kok contohnya, seperti misalnya Kasus Prita (Koin Untuk Prita) tempo hari. Atau, seperti yang diusahakan salah seorang rekan saya yang turut berjibaku dalam program Coin a Chance. Ini merupakan gerakan sosial untuk mengumpulkan recehan atau uang logam yang biasa bersebaran, bertumpuk dan jarang dimanfaatkan. Uang yang terkumpul ini segera ditukarkan dengan "sebuah kesempatan" khususnya bagi anak-anak kurang mampu sehingga bisa melanjutkan pendidikannya lagi.
Sungguh mulia sekali. Dan ingat, medianya uang logam recehan itu lho ...
Eh, kalau sekalian saya boleh usul ke kawan-kawan admin pengelola gerakan sosial Coin a Chance, ada baiknya mengajak bermitra juga para 'Pak Ogah' di banyak persimpangan jalan, supaya uang logam jangan sampai dibuang-buang percuma. Bagaimana caranya? Ya monggo diatur aja, seperti misalnya menerjunkan para relawan ke lapangan dan menemui para "Pak Ogah" tadi.
Sedangkan bagi Bank Indonesia sendiri, uang logam diciptakan sebagai alat pembayaran yang sah, seperti yang termaktub dalam Pasal 1 UU No.7 tahun 2011 tentang Mata Uang, dimana pada bahan bakunya terdapat unsur pengaman dan tahan lama.
Tahan lama? Ya, uang logam yang terbuat dari aluminium, nikel maupun kuningan tentu saja bisa lebih awet dibandingkan dengan uang kertas. Perbandingannya adalah 1:15, artinya uang kertas bisa tahan selama 1 tahun, sedangkan uang logam sampai 15 tahun. Tapi, biaya produksi uang logam juga tidak sedikit. Selain karena bahan logam lebih mahal dari kertas, tapi juga ada biaya lain yang harus dikeluarkan, seperti biaya desain, biaya riset dan biaya hak cipta. Sejauh ini, biaya untuk mengurus proses hak cipta inilah yang paling mahal.