" Mbak Wina, pak ! yang resepsionis kantor itu. Bapak merasa, gak.. kalo dia perhatiin ?" timpal Rika membuat Gim berdebar-debar.
" Gak mungkin, dia perhatiin aku. Dia banyak yang ngeceng, termasuk bapak manager kita kan, belum supervisor yang lain !!?" sanggah Gim sambil tertawa miring.
" Bapak, Rika deket ma mbak Win. Tentunya Rika lebih tahu gelagat mba Win sesama wanita. Taruhan !! kalo mbak Win gak suka, Rika bayar makan bapak siang ini, tapi kalo mba Win suka, traktir 10 kali makan Rika disini, ok ?" seru Rika begitu PD.
" Ok..! timpal Gim singkat. Suasana makan itu berlalu dengan berdebar-debar. Ia bertanya-tanya tentang kebenaran yang diceritakan Rika. Rasanya Gim ingin menepis pikiran-pikiran itu. " Gak mungkin, aku memang memuji dia. Aku akui dia cantik, Â dia juga lembut, tapi gak mungkin Wina mau sama aku," Â begitulah Gumamnya.
Begitu jam pulang, Gim siap-siap bergegas pulang kekostanya. Tepat di pelataran parkir, Gim berpapasan dengan Wina, sesuatu yang kebetulan. Memang hari-hari sebelumnya, Wina sering turun dan berjalan-jalan di outlet bahkan Gim untuk yang kedua kalinya, Gim mengaping mencarikan suatu barang yang Wina cari. Gim mulai melempar senyum dan menyapa Wina dengan sopan.
" Pulang, mbak Win ?" tanya Gim.
" I yah, kok bilang mbak, sich ?" timpal Wina.
" Kan biasa juga aku bilang, mbak !" timpal Gim dibaringi senyum.
" Bilang Wina saja, yah," sahut Wina sambil tersenyum.
Sejak kejadian itu, Gim dengan Wina lebih akrab. Lebih banyak waktu mereka lalui bersama. Empat bulan mereka lalui dengan makan dan nonton film yang mereka anggap perlu. Isu mengenai hubungan antara Gim dengan Wina, mulai tersebar di outlet dan kantor pusat. Teman-teman Gim banyak yang memberikan selamat, termasuk pak Purnama managernya. Terlebih lagi Rika, Rika begitu bahagia karena dia merasa telah berhasil menjadi macomlangnya.
Akhirnya janji Gim dipenuhi dengan cara di rapelkan. Seratus ribu yang diberikan Gim, cukup untuk sepuluh kali mentraktir Rika makan siang. Padahal di balik itu Gim bingung. Pernyataan resmi belum ada dengan Wina, hingga pada suatu hari di sebuah halte bis tempat biasa Wina menunggu bis yang membawanya pulang ke Cijantung, Gim berkata sesuatu dengan hati-hati.