Tak ada kebisingan, tak ada kegalauan, tak ada kepenatan semua terkubur perasaan bangga yang hari ini ternyata diketemukannya. Bagi Gim, Win adalah harapannya, Win adalah impiannya dan Win juga kekasihnya. Setahun sudah Gim dengan Wina berjalan sebagai kekasih. Hingga pada saatnya Gimpun pernah mambawanya ke Bandung dan diperkenalkan ke ibu dan keluarganya. Gim begitu serius dan bermaksud menikahi Win.
Begitu juga Win. Kedua-duanya sudah merencanakan pernikahan di tahun depan. Tetapi apa yang terjadi, pada satu hari di tempat kostnya Gim selesai mereka solat ashar, Win terlihat murung. Gim memaksanya untuk berbicara, Win tetap tidak berbicara. Akhirnya Winapun mau terbuka tentang mantan kekasihnya yang dulu memohon kepada ibunya untuk meminta kembali menikahi Wina.
" Wina tidak menghiraukan, tapi mama merasa bersalah terhadap mas Adi, mama pernah memutuskan Wina dengan mas Adi, hanya karena mas Adi menganggur waktu itu. Sekarang mas Adi sudah berhasil. Punya rumah, punya mobil dan tinggal satu saja yang belum ia penuhi," papar Wina terbata-bata.
" Apa yang belum ia penuhi ?" Tanya Gim penasaran.
" Mengawini Wina A," jawabnya membuat Gim tertunduk sekejap.
" Lantas tentang kita ?" tanya Gim spontan.
 " Wina juga bingung, A. Wina harus mengikuti keinginan mama sebagai ibu yang membesarkan Wina," timpalnya disertai mata yang sembab. Setelah Gim tampak berfikir, dan baru kali ini Gim tampak meneteskan airmata. Sepertinya akan rumit jalan yang ditempuh. Sedikitpun Gim tidak pernah memikirkan akan terjadi seperti ini.
" Wina gak tega menyakiti perasaan Aa, sekarang bawa Wina kemanapun a mau, asal Wina dapat jawaban yang tidak membingungkan bagi Win dan Aa," sela Wina sambil menangis.
" Maksudnya ?" tanya Gim spontan.
" Wina rela sebelum berpisah dengan A, sebelum nikah dengan mas Adi, Win memberi sesuatu yang berharga untuk A, Wina rela... " papar Wina sambil menangis.
" Tak mungkin, Win. Aku masih waras," tukas Gim menyadarkan Win, lalu melanjutkan lagi omongannya.