Fakta lain juga mengungkap keberadaan etnis pedalaman di pantai barat Sumatera, seperti Tapanuli, Barus dan Singkil, dan kemudian Mandailing yang dipengaruhi Kerajaan Islam Pagaruyung, Pasaman Sumatera Barat, yang telah memisahkan diri dari tatanan lama kepada tatanan Islam, dan mengadopsi sitem hirarki kesultanan. Terkepung dengan kondisi ini, di pedalaman atau dataran tinggi Bukit Barisan (Toba), sebagai populasi yang tidak terikat dalam sistem hirarki kerajaan atau kesultanan Melayu atau Islam di pesisir Timur maupun Barat, pada akhirnya mendapat pengaruh dari zending Missionaris Kristen Belanda dan Jerman. Sehingga para Missionaris Kristen menjadikan Batak Toba (Silindung) sebagai pusat pergerakan Missionaris Kristen di pedalaman Sumatera.[18]
Dari peta yang dirilis oleh Lembaga Penginjil Jerman (RMG, Rheinische Mission-Gesellschaft) tahun 1878 yang kini ditemukan di museum Arsip Missionaris di Jerman, menurut Darwin Siagian [19] juga tidak menemukan kata batak, melainkan Tapanuli atau Toba. Bahkan dari peta RMG (1878) tersebut juga terlihat jika sebutan untuk Danau Toba juga belum ada, melainkan Tao Silalahi, Tao Muara dan Tao Balige, yang mengelilingi pulau Samosir.
Perjalanan panjang mengenai terminologi istilah batak ini masih memerlukan kajian-kajian mendalam sehingga kedepan dapat menjadi acuan rekontruksi termonologi yang dianggap penuh cacat atau distorsi ilmuah. Hal ini perlu sebagai pelurusan sejarah dan upaya pemeliharaan pemerintah terhadap orisinal etnis-etnis di Sumatera. Generaslisasi kolonial terhadap etnis-etnis di Sumatera bisa dianggap sebagai pembohongan publik, tidak ilmiah dan tendesius berdampak pendiskreditan (evasive identity) terhadap asal-usul etnis di Sumatera, seperti Melayu, Simalungun, Karo, Mandailing, Tapanuli.
Disisi lain, asal-usul etnis dipedalaman Sumatera menjadi tidak jelas karena mereka hidup terisolasi. Sehingga ide Belanda menciptakan sebuah mitologi asal-asul etnis pedalaman melalui seorang Waldemar Hutagalung (1962) terbilang sukses, sehingga etnis pedalaman Sumatera (pegunungan Toba) masuk dalam kategori etnis Batak yang didukung dengan teori mitologi berasal dari keturunan Siraja Batak, yang turun dari langit, yang mendiami dataran tinggi Pusuk Buhit, Sianjur Mula-mula. Bahkan, melalui karya mitologi “Pustaha Tarombo Si Raja Batak” yang serampangan menganeksasi etnis lain di Sumatera masuk dalam domain keturunan Si Raja Batak terus menjadi polemik berkepanjangan di tengah masyarakat diaspora Sumatera umumnya.
Masalahnya adalah kapan muncul suku Batak ? Adakah Batak 6 Puak ? Lalu mengapa dalam buku-buku pendidikan tercetus Suku Batak yang terdiri atas enam suku sub etnis ? Dan belakangan ini kembali mencuat sebagai polemik dikalangan msyarakat luas (khususnya di Sumatera Utara) atas klaim Batak sebagai suku induk.
- Catatan Mpu Prapanca pada abad-13 jelas sekali menyatakan bahwa Teba/Toba sebagai taklukan Majapahit, bukan Suku Batak!
- Catatan beberapa etnograf asing, menyatakan terminolgi Batak yang menjelaskan makna lain, bukan suku!
- Surat H.N. Van der Tuuk, seorang peneliti atheis dan ahli bahasa dari lembaga Nederlands Bijbelgenootschap (NBG) kala itu, dalam suratnya tertanggal 15 November 1855, pernah mengusulkan kepada pengurus NBG agar istilah “Batak” dan “Melayu” tidak digunakan secara formal (resmi), karena memicu polemik dan persoalan sosial!
- Rupanya tindakan topograf "bataklanden" kolonial Belanda bukan hanya membuat penyesatan sejarah sosial-budaya, tetapu justru telah merekontruksi sejarah yang palsu demi tujuan kolonialisme.
- Pemerintah Sumatera Utara seharusnya melihat penyesatan ini dan kembali mendudukkannya pada tempatnya, sehingga penyesatan ini tidak semakin jauh dan polemik pro dan kotra ini berakhir dan dapat diterima semua kalangan (suku).
- Lembaga-lembaga Adat Swadaya Masyarakat harus dudk bersama dan menentukan langkah bersama menyikapi kondisi ini dan menyampaikannya kepada pemerintah, sebagaimana yang diamantakan dalam Peraturan Gubernur Sumatera Utara No.4 Tahun 2014 tentang PEDOMAN FASILITASI ORGANISASI KEMASYARAKATAN BIDANG KEBUDAYAAN DAN LEMBAGA ADAT DALAM PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN BUDAYA DAERAH DI PROVINSI SUMATERA UTARA.
- Lembaga Adat Suku-suku di Sumatera Utara supaya "mengingatkan" Pemerintah Sumatera Utara untuk mengindahkan
PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA NOMOR 8 TAHUN 2OI7 TENTANG PENGGUANAAN BAHASA INDONESIA DAN PELINDUNGAN BAHASA DAERAH DAN SASTRA DAERAH serta PENJELASANNYA : - Penjelasan Pasal 7, Yang dimaksud dengan Bahasa Daerah adalah bahasa yang dituturkan oleh suku bangsa yang berasal dari Sumatera Utara, yaitu suku bangsa : Mandailing/Angkola, Batak Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Nias, Pesisir Barat Sibolga-Tapanuli Tengah, Ulu, dan Siladang. Disini jelas terangkai BATAK TOBA, tidak ada kata Induk Etnis atau Batak enam Puak.
- Penjelasan Pasal 8, Yang dimaksud dengan Sastra Daerah adalah karya sastra lisan dan karyaa sastra dalam aksara daerah yang menggunakan bahasa daerah dari suku bangsa yang berasal dari Sumatera Utara, yaitu suku bangsa : Mandailing/Angkola, Batak Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, NiaS, Pesisir Barat Sibolga-Tapanuli Tengah, Ulu, dan Siladang. ( 9 Suku )
Sudah saatnya Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara untuk TERBUKA mengkaji kembali dan merekontruksi dan menyudahi persoalan akar rumput ini. Ini sangat penting demi penguatan persatuan dan kesatuan beragam suku bangsa di Sumatera Utara. Jangan sampai persoalan ini kembali dipolitisasi secara ekslusif demi tujuan politik "pemekaran" wilayah, dan pada akhirnya masyarakat umum rentan menjadi korban adu domba rasisme. Buku Sejarah dalam dunia pendidikan agar menjadi perhatian yang tidak kalah penting juga, sehingga sejak dini rekontruksi informasi dan sejarah dapat ditanamkan kepada generasi yang akan datang. (gani [h] sipayung @2024)
Sumber :
[1] Ethnic Dynamics in North Sumatra, Herlina Jasa Putri Harahap : https://digilib.unimed.ac.id/id/eprint/52960/1/Fulltext.pdf _ Budapest International Research and Critics Institute-Journal (BIRCI-Journal) Volume 4, No 4, November 2021, Page: 12736-12746 e-ISSN: 2615-3076 (Online), p-ISSN: 2615-1715
[2] Kolonialisme dan etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut, Daniel Perret, Kepustakaan Populer Gramedia, 2010
[3] Article : Is there a Batak History? , Anthony Reid, 2026, https://www.researchgate.net/publication/228196051
[4] “Di ejus insulae [Taprobana=Sumatera], quam dicunt Batech, parte, anthropophagi habitant […].” dikutip dalam Yule/ Burnell (1979: 74).