MENGAKU ORANG BATAK ?
Istilah Bataklanden terlanjur dibuat oleh Belanda, bukan untuk membedakan dan melokalisasi etnis pedalaman (non Islam), sekaligus menunjukkan sebuah otonomi bebas dan bukan bagian dari otonomi atau kekuasaan dari raja atau sultan manapun, sebagai mana daerah Sumatera umumnya. Istilah Bataklanden atau tanah Batak, oleh Belanda kemudian dijadikan sebagai Afdeling Bataklanden, yang didalamnya termasuk wilayah Tapanuli sampai ke pesisir pantai Barat Sumatera, seperti Padang, Sibolga dan Pulau Nias. Hal ini kemudian jamak menimbulkan generalisasi orang Batak sebagai definitif etnis atau masyarakat Bataklanden.
Adalah Ir. Darwin Siagian (2016), berkesempatan mengunjungi Arsip Misionaris Barmen, Jerman, menyimpan sebuah peta kuno yang di keluarkan oleh Lembaga Penginjil Jerman (RMG, Rheinische Mission-Gesellschaft) RMG Bericht edisi Agustus 1878, yang di dalamnya mengumumkan sebuah peta zending yang kini sangat menarik bagi kajian sejarah, antropologi ataupun geografi kuno tentang kawasan sekitar pengunungan Toba sampai ke Tao. Peta ini diberi judul berbahasa Jerman “Die Landschatt Toba auf Sumatra von Silindung bis zum Tao” yang artinya “Kawasan Toba di Pulau Sumatra dari Silindung sampai Tao.” Sangat jelas dalam peta tersebut tidak didapati kata kata “Batak” atau “Tao Toba.”
Dalam peta ini tidak terdapat nama Tao Toba atau Danau Toba, melainkan ada 3 penamaan yang disebutkan menunjukkan orisinilitas sebutan Danau Toba saat ini, yaitu Tao Si Lalahi, Tao Balige, dan Tao Muara, demikian tulisan dalam laman facebook Ir.Darwin Siagian (2016). Disini memberikan gambaran, bahwa pada abad ke-19 para Missionaris Jerman yang telah masuk ke dataran tinggi Toba telah melakukan pemetaan daerah pengunungan Toba, Samosir dan sekitarnya, namun tidak pernah mencatatkan penggunaan istilah “batak” atau “bataklanden” karena memang istilah ini popular pasca masuknya pengaruh kolonial Belanda (1820).
Lalu kemudian sebuah catatan mitologi fenomenal yang diterbitkan sebagai buku pada tahun 1926 oleh kolonial Belanda, yang konon ditulis oleh Waldemar Hutagalung, berjudul “Pustaha Tarombo dohot Turi-turian ni Bangso Batak” yang mencetuskan diaspora suku atau etnik Batak yang berawal dari ‘si raja batak” yang turun temurun mendiami dataran tinggi Sianjur Mula-mula Pusuk Buhit (Toba) dan selanjutnya keturunan si raja batak merengsek “turun gunung” ke daerah Simalungun, Barus, Mandailing, Karo, Pakpak, Angkola, bahkan mencapai daerah Gayo Alas , Singkil dan Nias. Buku ini kemudian sampai hari ini semakin menambah runcingnya polemik tentang pengelompokan berbagai etnis menjadi sebuah etnik induk yaitu Batak, di Sumatera Utara.
Pasca terbitnya buku Pustaha Tarombo, sejarawan Anthony Reid menyebutkan bahwa sejak tahun 1926 orang-orang Toba kemudian melakukan 'peleburan diri' sebagai etnis Batak dan mereka dengan bangga mendapatkan gelar baru sebagai keturunan Si Raja Batak diaspora Pusuk Buhit, Sianjur Mula mula. Pendapat Reid (2009) membandingan pernyataan J. Pardede (1975)[9] dalam disertasinya yang menyatakan bahwa 'tanah Batak' dan 'orang Batak' adalah ciptaan kolonial atau orang asing (die begriffe batakland und batakvolk wurden von auslander). [10]
TERMINOLOGI BATAK
Jika merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) [11], kata “batak” memiliki arti :
- batak/ba~tak/ (n) petualang; pengembara;
- membatak/mem~ba~tak/ (v) 1 bertualang, melanglang; mengembara; 2 merampok; menyamun; merampas;
- pembatak/pem~ba~tak/(n) perampok;penyamun
Tidak ada diantaranya yang menunjukkan makna terminologi sebagai kelompok etnis, seperti yang terjadi di Sumatera Utara, bahwa ada pendapat bahwa kata “Batak” menunjuk kepada kelompok etnis yang serumpun. Polemik tentang label “Batak” sebagai kelompok etnis kini ramai diperbincangkan, khusunya di kalangan diaspora Sumatera Utara. Penggiringan opini tentang asal-usul kata dan makna “Batak” dimaknai berbeda sehingga menimbulkan pro dan kontra dikalangan etnis di Sumatera.
Masalahnya, orang “bataklanden” sangat bangga mengidentifikasikan dirinya sebagai “orang Batak” sebagai domain dari etnis-etnis lain di Sumatera, seperti Melayu, Simalungun, Karo, Mandailing, dan lainnya, seperti tercatat dalam karya Waldemar Hutagalung (1926) yang diterbitkan Belanda. Bahkan beberapa kajian menilai tulisan 'boombastis" Waldemar Hutagalung ini sengaja diterbitkan Belanda sebagai pendukung propaganda kolonial yang memantik api aneksasi kolonial di pedalaman Sumatera. Hal ini turut diperkuat dengan praktik penempatan (eksodus) etnis "toba" oleh Belanda (sejalan dengan zending Missionaris) sebagai mitra kepentingan kolonial Belanda (1820-1840), pasca perluasan koloninya di Simalungun, Humbang, Dairi, Karo, Angkola, Mandailing, Asahan, Serdang, dan akhirnya berpusat di Medan.