Mohon tunggu...
Gani Sipayung
Gani Sipayung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirasawasta

Desain Grafis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Terminologi Dan Asal-usul Batak

9 September 2024   17:40 Diperbarui: 25 September 2024   03:31 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar. Peta “Die Landschatt Toba auf Sumatra von Silindung bis zum Tao”  yang dipetakan oleh  Lembaga Penginjil Jerman (RMG, Rheinische

Sebuah jurnal internasional mengatakan bahwa terdapat kesalahan atau ketidakakuratan pengelompokan etnis suku bangsa di Utara Sumatra, khususnya terhadap penguatan keberadaan suku 'Batak dan Melayu' di Sumatera Utara. Kedua nama ini muncul serentak pada abad ke-15 dalam tulisan para etnografer asing yang berkunjung Sumatera bagian utara. Untuk pertama kalinya muncul istilah 'Batak' (Bata, Battak, Battas, Batech) muncul dalam tulisan Pires (1940) dan Pinto (1991) yang mendefinisikan (secara general) orang-orang yang tinggal di pedalaman Aceh dan Sumatera Utara.[1]

Issu penting dalam jurnal ini adalah menjawab pertanyaan kritis yang harus dijawab, yaitu siapa saja yang tergolong masyarakat 'Batak dan Melayu' ? Mengacu pada tulisan Daniel Perret (2010),[2] ada kelompok masyarakat yang mendiami dareah di pegunungan Bukit Barisan. Dibagian utara, yaitu daerah Panyabungan, Mandailing Natal, yang disebut 'Orang Kubu' atau 'Orang Siladang' dan tidak termasuk dalam dua kategori Melayu atau Batak. Hal ini sejalan dengan sumber Belanda, yaitu Kremer (1912) dan Adatrechtbundel (1919) yang menyebutkan keberadaan masyarakat Loeboes (Ulu) yang bermukim di negeri Padanglawas dan Mandailing.

Dalam artikelnya “Is There a Batak History?” sejarawan Anthony Reid (2006)[3] berpendapat bahwa penulisan sejarah tentang kelompok etnis Batak di dataran tinggi (Bukit Barisan) Sumatra telah terdistorsi karena digunakan dalam lensa yang hierarkis.  Maka penulisan sejarah tentang kelompok etnis ini adalah masyarakat tanpa negara, dan karena tanpa negara, ia tanpa sejarah–sebagaimana suku bangsa tanpa negara lain di nusantara.

Menurut Reid, satu-satunya elemen ‘Ke-batak-an’ (batakness) yang cukup spektakuler untuk dicatat dalam sumber-sumber sejarah paling awal adalah kanibalisme orang batak. Sumber-sumber asing mencatat kehadirannya di Sumatera jauh sebelum munculnya istilah ‘Batak’ atau ciri lain yang dapat diidentikkan dengannya. Ptolemaeus adalah orang pertama, yang sekitar tahun 100 M, yang mencatat keberadaan kanibalisme dalam apa yang dia identifikasi sebagai gugusan pulau Barusae, yang mungkin adalah Sumatra. Menyusul setelah itu ada serangkaian sumber Arab, India dan Eropa, termasuk Marco Polo, yang menyatakan ada bukti kanibalisme di pulau itu, termasuk di pantai utara yang lebih mudah diakses. Nicolo da Conti adalah orang Eropa pertama, yang pada tahun 1430, yang mencatatkan fakta temuan istilah Batak (Batech) yang menunjukkan sebuah populasi kanibal ini di Sumatra.[4] 

Catatan Susiyanto, dalam artikel nBASIS : Kristenisasi dan Kolonialisme di Tanah Batak, mengemukakan catatan Marcopolo (1290) menyebutkan keberadaan Kerajaan Ferlec (Peurlak) di Aceh bagian Timur, penduduk pesisir (perkotaan) telah menjadi penganut Islam dari penganut penyembah berhala sebelumnya, namun penduduk yang tinggal di wilayah pedalaman masih hidup sebagai kanibal. Marcopolo mengambarkan bahwa mereka memakan daging apa pun baik dalam keadaan bersih maupun kotor, termasuk daging manusia.[5]

Meninjau catatan sejarawan Anthony Ride (2006) :

  • Terdapat distorsi pnyebutan tentak Batak dan Melayu sebagai penduduk di pedalaman Aceh, Sumatera
  • Catatan Perret, mengenai populasi orang Lubu dan Siladang yang mendiami daeran Panyabungan dan Mandailing Natal, dan mereka ini bukan termasuk kategori orang Batak atau Melayu.
  • Sumber dari Belanda sendiri, Kremer (1912) dan Adatrechtbundel (1919), yang menyebutkan keberadaan populasi orang Kubu yang mendiami negeri Padang Lawas dan Mandailing.
  • Catatan Ptolemaeus pada pada abad ke-2, yang mencatat tentang keberadaan populasi manusia kanibal di gugusan pulau Barussae ( apakah ini tentang Barus di Simatera ?)
  • Catatan Nicolo Da Conti (1430) yang menggunakan istilah Batak atau Batech untuk menunujukkan populasi manusia kanibal di pedalaman Sumatera.

KERAJAAN ISLAM SUMATERA

Mengemukakan catatan Tomé Pires dalam ekspedisinya ke Sumatera (1515) menggambarkan kerajaan Islam Aceh, menyebutkan daerah Batta yang berbatasan dengan kerajaan Pasai (Aceh) dan di sisi lain dengan kerajaan Aru (Daruu). Penguasa negeri pedalaman ini disebut Raja Tomjano.[6]  Dia adalah seorang kesatria Moor, yang sering pergi ke laut untuk menjarah (merompak), dan Raja Tomjano adalah  merupakan Menantu Raja Aru (Pires, 1944:145-146).

Mengemukakan tulisan Mendes Pinto dalam ekspedisinya ke Sumatera (1539), sepanjang pantai utara Sumatera telah dikuasai Kesultanan Islam Aceh, yang kala itu turut diperkuat pasukan ekspedisi kerajaan Turki. Semua negeri pesisir di sepanjang negeri Aceh dan Aru (Melayu) sudah ditaklukkan. Karakter militan Islam dari ekspansi ini digambarkan dengan jelas oleh Mendes Pinto, selain itu juga terlihat dalam literatur-literatur Portugis, Turki, dan Aceh, yaitu tentang konfrontasi abad ke-16 antara koalisi Kesultanan Aceh bersama tentara ekspedisi Turki melawan pasukan ekspedisi Portugis.

Menurut Mendes Pinto, pada masa konfrontasi ini pula terdapat istilah definitif “batak” yang menunjuk kepada kelompok-kelompok milisi di pedalaman Sumatera atau orang-orang yang melawan pendudukan Kesultanan Islam Aceh, dan dalam perjalannya orang-orang ini kemudian terdesak dari pesisir oleh tekanan pasukan pendudukan Aceh, dan lalu orang-orang “batak” ini bermigrasi mendiami pedalaman Bukit Barisan, Sumatera. Mendes Pinto mengisahkan tentang seorang pemimpin kelompok “Batak”, yang kekuasaanya beribukota di Panaju, di bagian selatan Singkil, pantai barat Sumatera, ditepian sungai yang memberikan akses ke negeri Barus. Nama ibukota Panaju sejalan dalam kisah kerajaan Pano (Pão) yang disebutkan di daerah yang sama dalam catatan ekspedisi Tomé Pires.

Akibat pergerakan pendudukan Kesultanan Islam Aceh yang telah berhasil menguasai seluruh pesisir timur dan barat Sumatera, seiring pula dengan pengislaman suku-suku pedalaman. Bahkan dalam masa ini, model pemerintahan raja-raja negeri dan tuan telah dilebur menjadi taklukan yang dikepalai Sultan bentukan Kesultanan Aceh, sesuai dengan model kerajaan Islam. Selanjutnya, terjadi pengislaman raja-raja negeri di pantai Barat dan Timur Sumatera dengan melakukan asimilasi perkawinan silang. Kerajaan Aru dipecah menjadi beberapa kesultanan Melayu, seperti Sultan Deli yang seorang suku Karo yang memeluk Islam. Hal yang sama terjadi di etnis Simalungun yang memeluk Islam (mendirikan Kesultanan Serdang, Bedagai dan Inderapura, Siak), Karo (mendirikan Kesultanan Langkat dan Binjai). Sementara itu kelompok yang menentang pendudukan Kesultanan Islam Aceh terdesak dan melarikan diri ke dataran tinggi bukit barisan dan mereka membentuk milisi-milisi yang memberontak untuk tunduk dibawah kekuasaan Kesultanan Aceh (Pinto, 1989:20-30).

Dalam literatur Hikayat Aceh abad ke-17 tercatat dua kali menyebutkan “batak” yang menunjuk kepada kelompok-kelompok gerilya orang bebas di hutan pedalaman, mereka tanpa raja maupun memiliki otonomi kerajaan, yang melawan pendudukan kekuasaan Kesultanan Islam Aceh, dan kelompok ini masih animisme (kepercayaan suku). Naskah ini dua kali menyebut Batak sebagai sebuah kelompok pedalaman “batak” yang anti Islam. Perseteruan kedua kelompok masyarakat pesisir Islam dan non-Islam yang memberontak berlangsung panjang sampai kemudian kekuatan Kesultanan Aceh melemah seiring dengan kedatangan kekuatan kolonialis Inggris dan Belanda di Sumatera. Kelompok milisi anti Islam melakukan pemberontakan secara massif, terus membangun perlawanan dan defens terhadap pengaruh Islam.

Selama proses asimilasi dan pengaruh Islam di pesisir barat dan timur Sumatera, serta pengaruh perkawinan silang antar pemangku kekuasaan, baik itu Sultan atau Raja Negeri (Tuan), telah membentuk budaya dan karakter etnis yang baru. Anderson (1971) dalam kunjungannya ke Sumatera pada tahun 1832, menyebutkan bahwa akibat dari pengaruh ajaran dan kebudayaan Islam telah memberikan tampilan perbedaan mencolok diantara suku-suku Karo, Simalungun, Toba dan Melayu, yaitu mereka yang tinggal dipesisir ( yang telah memeluk Islam dan merasa lebih beradab) dengan mereka yang tinggal di pedalaman (belum memeluk Islam, penganut kepercayaan nenek moyang, dianggap tidak beradab, dan kaum pesisir menyebut golongan ini sebagai golongan batak).

Baik Bahasa, budaya maupun kepercayaan warisan leluhur telah dipengaruhi Islam dan menciptakan tatanan peradaban baru. Demikian pula Loeb (1991) membedakan warna nasional Karo, yaitu warna biru, dan warna nasional Toba yaitu coklat. Perbedaan lain terlihat dalam 'agama', di mana setiap kelompok etnis memiliki sistem kepercayaan khusus masing-masing.

Meninjau catatan Mendes Pinto (1515) :

  • Raja Tomjano, pemimpin “batak” yang mendiami pedalaman Sumatera
  • Istilah Batak, atau Batech, menurut Mendes Pinto (1539) menunujuk kepada kelompok atau milisi yang mendiami pedalaman pengunungan Bukit Barisan, yang melawan kekuatan kerajaan Islam Aceh. Hal ini juga diperkuat dalam catatan Hikayat Aceh

BUDAPEST INTERNATIONAL RESEARCH AND CRITICS INSTITUTE-JOURNAL (BIRCI-JOURNAL)

Catatan Herlina Jasa Putri Harahap [8] dalam BIRCI-Journal Volume 4, No 4, November 2021, Page: 12736-12746 e-ISSN: 2615-3076 menyebut bahwa pada era kolonialisme, Belanda mencoba memperlakukan batas wilayah (peta administratif koloni). Herlina mengutip catatan Joustra (1909; 1910), catatan Westenberg (1891;1897), catatan Kroesen (1897) dan catatan Perret (2010), bahwa pembentukan peta administrartif koloni tersebut dibentuk melalui pemetaan alam, budaya dan agama. Herlina mengemukakan catatan Perret (2010), bahwa pembetukan kelompok etnis dan territorial administratif kolonial dilakukan dalam dua tahap, yaitu : 

  • Penetapan batas wilayah koloni berdasarkan topografi (pegunungan), sejarah (gagasan migrasi manusia ke pedalaman) dan politik (orisinal tatatan lokal daerah mandiri atau belum terkena dampak), dan
  • Tipologi masyarakat yang dikelompokkan menutut ciri khas budaya dan kepercyaaan dalam masyarakat.

Masih menurut catatan Daniel Perret (2010), yang dilakukan dalam tahapan pemetaan ini adalah dengan mencari ciri-ciri yang sama di tiap daerah secara implisit dipandang sebagai ekspresi kesadaran pemersatu secara fundamental. Dan faktual, pembentukan batas wilayah administratif berdasarkan topografi akan mengabaikan ciri-ciri atau perbedaan khusus dari masing-masing suku bangsa yang ada.  Masyarakat digabung atau dipecah menjadi satu kelompok administratif, meski secara etnis dan budaya mereka adalah berbeda-beda.

Pada tahun 1752, Inggris menaklukkan pantai Sumatera bangian Barat dan mendirikan benteng Tapanuli (Tapian Nauli) di wilayah pantai Sibolga. Pada tahun 1820, Belanda secara agresif menaklukkan wilayah-wilayah pedalaman pantai Barat Sumatera dan kemudian mendirikan Kegubernur Sumatera Barat yang beribukotakan di Air Bangis Pasaman tahun 1842, seiring dengan hengkangnya Inggris dari Sumatera.

Jurnal BIRCI-Journal Volume 4, turut mengemukan catatan Castels (2002) bahwa Guvernoor Belanda di Sumatera Barat yang berkedudukan di Air Bangis Pasaman membentuk Afdeling Bataklanden yang meliputi wilayah Nias, Sibolga, Mandailing, Padanglawas, Labuhan Batu, Kisaran dan Asahan. Selanjutnya, Afdeling Bataklanden membentuk sebuah keresidenan baru yang bernama Keresidenan Tapanuli pada tahun 1905.

Dalam perkembangannya setelah tahun 1918, Belanda kemudian membagi Keresidenan Tapanuli dibagi menjadi 4 sub divisi, yaitu [1] Sibolga en Omstreken, termasuk ibu kota Sibolga dan sekitarnya; [2] Nias en omliggend eiland, termasuk Pulau Nias; [3] Bataklanden (tanah Batak) yang meliputi Tarutung, Samosir dan sebagian besar wilayah Batak Toba; dan [4] Padang Sidempoean, yang berpusat di kota Padangsidempuan.

Tetapi pada tahun 1938, Belanda melakukan restrukturisasi besar-besaran, Keresidenan Tapanoeli dan seluruh keresidenan lainnya di Sumatera disatukan menjadi Pemerintah Sumatera yang baru, yang berpusat di Medan. Namun sejak kedatangan pendudukan Jepang pada Tahun 1942, keresidenan Tapanuli dihapuskan, sehingga wilayah Tapanuli seolah bebas dan seiring dengan masa-masa Revolusi Nasional, wilayah Tapanuli diperebutkan para panglim perang atas nama revolusi. Pada tahun 1948, Tapanuli kemudian ditetapkan sebagai bagian dari otonomi provinsi Sumatera Utara.

MENGAKU ORANG BATAK ?

Istilah Bataklanden terlanjur dibuat oleh Belanda, bukan untuk membedakan dan melokalisasi etnis pedalaman (non Islam), sekaligus menunjukkan sebuah otonomi bebas dan bukan bagian dari otonomi atau kekuasaan dari raja atau sultan manapun, sebagai mana daerah Sumatera umumnya. Istilah Bataklanden atau tanah Batak, oleh Belanda kemudian dijadikan sebagai Afdeling Bataklanden, yang didalamnya termasuk wilayah Tapanuli sampai ke pesisir pantai Barat Sumatera, seperti Padang, Sibolga dan Pulau Nias. Hal ini kemudian jamak menimbulkan generalisasi orang Batak sebagai definitif etnis atau masyarakat Bataklanden.

Adalah Ir. Darwin Siagian (2016), berkesempatan mengunjungi Arsip Misionaris Barmen, Jerman, menyimpan sebuah peta kuno yang di keluarkan oleh Lembaga Penginjil Jerman (RMG, Rheinische Mission-Gesellschaft) RMG Bericht edisi Agustus 1878, yang di dalamnya mengumumkan sebuah peta zending yang kini sangat menarik bagi kajian sejarah, antropologi ataupun geografi kuno tentang kawasan sekitar pengunungan Toba sampai ke Tao. Peta ini diberi judul berbahasa Jerman “Die Landschatt Toba auf Sumatra von Silindung bis zum Tao” yang artinya “Kawasan Toba di Pulau Sumatra dari Silindung sampai Tao.” Sangat jelas dalam peta tersebut tidak didapati kata kata “Batak” atau “Tao Toba.”

Dalam peta ini tidak terdapat nama Tao Toba atau Danau Toba, melainkan ada 3 penamaan yang disebutkan menunjukkan orisinilitas sebutan Danau Toba saat ini, yaitu Tao Si Lalahi, Tao Balige, dan Tao Muara, demikian tulisan dalam laman facebook Ir.Darwin Siagian (2016). Disini memberikan gambaran, bahwa pada abad ke-19 para Missionaris Jerman yang telah masuk ke dataran tinggi Toba telah melakukan pemetaan daerah pengunungan Toba, Samosir dan sekitarnya, namun tidak pernah mencatatkan penggunaan istilah “batak” atau “bataklanden” karena memang istilah ini popular pasca masuknya pengaruh kolonial Belanda (1820).

Lalu kemudian sebuah catatan mitologi fenomenal yang diterbitkan sebagai buku pada tahun 1926 oleh kolonial Belanda, yang konon ditulis oleh Waldemar Hutagalung, berjudul “Pustaha Tarombo dohot Turi-turian ni Bangso Batak” yang mencetuskan diaspora suku atau etnik Batak yang berawal dari ‘si raja batak” yang turun temurun mendiami dataran tinggi Sianjur Mula-mula Pusuk Buhit (Toba) dan selanjutnya keturunan si raja batak merengsek “turun gunung” ke daerah Simalungun, Barus, Mandailing, Karo, Pakpak, Angkola, bahkan mencapai daerah Gayo Alas , Singkil dan Nias. Buku ini kemudian sampai hari ini semakin menambah runcingnya polemik tentang pengelompokan berbagai etnis menjadi sebuah etnik induk yaitu Batak, di Sumatera Utara.

Pasca terbitnya buku Pustaha Tarombo, sejarawan Anthony Reid menyebutkan bahwa sejak tahun 1926 orang-orang Toba kemudian melakukan 'peleburan diri' sebagai etnis Batak dan mereka dengan bangga mendapatkan gelar baru sebagai keturunan Si Raja Batak diaspora Pusuk Buhit, Sianjur Mula mula. Pendapat Reid (2009) membandingan pernyataan J. Pardede (1975)[9] dalam disertasinya yang menyatakan bahwa 'tanah Batak' dan 'orang Batak' adalah ciptaan kolonial atau orang asing (die begriffe batakland und batakvolk wurden von auslander). [10]

TERMINOLOGI BATAK 

Jika merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) [11], kata “batak” memiliki arti :

  • batak/ba~tak/ (n) petualang; pengembara;
  • membatak/mem~ba~tak/ (v) 1 bertualang, melanglang; mengembara; 2 merampok; menyamun; merampas;
  • pembatak/pem~ba~tak/(n) perampok;penyamun

Tidak ada diantaranya yang menunjukkan  makna terminologi sebagai kelompok etnis, seperti yang terjadi di Sumatera Utara, bahwa ada pendapat bahwa kata “Batak” menunjuk kepada kelompok etnis yang serumpun.   Polemik  tentang label “Batak” sebagai kelompok etnis kini ramai diperbincangkan,  khusunya di kalangan diaspora Sumatera Utara. Penggiringan opini tentang asal-usul kata dan makna “Batak” dimaknai berbeda sehingga menimbulkan pro dan kontra  dikalangan etnis di Sumatera.

Masalahnya, orang “bataklanden” sangat bangga mengidentifikasikan dirinya sebagai “orang Batak” sebagai domain dari etnis-etnis lain di Sumatera, seperti Melayu, Simalungun, Karo, Mandailing, dan lainnya, seperti tercatat dalam karya Waldemar Hutagalung (1926) yang diterbitkan Belanda. Bahkan beberapa kajian menilai tulisan 'boombastis" Waldemar Hutagalung ini sengaja diterbitkan Belanda sebagai pendukung propaganda kolonial yang memantik api aneksasi kolonial di pedalaman Sumatera. Hal ini turut diperkuat dengan praktik penempatan (eksodus) etnis "toba" oleh Belanda (sejalan dengan zending Missionaris) sebagai mitra kepentingan kolonial Belanda (1820-1840), pasca perluasan koloninya di Simalungun, Humbang, Dairi, Karo, Angkola, Mandailing, Asahan, Serdang, dan akhirnya berpusat di Medan.

Kajian lain juga melihat usaha “agresif” kolonial Belanda untuk menguasai pedalaman Sumatera melalui zending Minssionris yang menyebarkan agama Kristen. Dan milisi Sisingamangaja melihat ini sebagai usaha spionisme masif Belanda untuk tujuan koloninya. Sisingamangaraja kemudian melawan dan megusisr praktik Missionris Kristen di pedalaman Toba. Missionris Kristen kemudian meminta bantuan Belanda dan Belanda berhasil menganeksasi kota Silindung sebagai basis kolonial, dan bahkan menjadikannya sebagai pusat koloni dan tangsi kekuatan militernya. Alhasil, milisi Sisingamanraja diperhadapkan kepada dua persoalan sekaligus, yaitu ancaman zending yang melakukan Kristenisasi  orang-orang pedalaman Toba dan gerakan kolonialisme Belanda, dan puncaknya adalah munculnya perlawanan milisi Sisingamangaraja di pedalaman Sumatera (Toba) terhadap kekuatan militer koloni Belanda yang berpusat di Silindung (Toba).

Kelompok milisi Sisingamangaraja dianggap sebagai momok “batu” sandungan bagi suksesi kolonialisme Belanda. Sisingamangaraja dan milisinya seringkali berhasil melakukan penyergapan dan melumpuhkan pergerakan kekuatan militer koloni Beladan di pedalam Toba. Sisingamangaraja yang nota bene menolak ajakan masuk Kristen, Sisingamangaraja konsisten memeluk agama leluhurnya yang kini dikenal dengan kepercayaan suku atau ugamo Malim atau Parmalim, dimana Sisingamangaraja merupakan pemimpin “suci” tertinggi aliran kepercayaaan Ugamo Malim. Diperkirakan sejak 1875 Sisingamangaraja dan milisinya memilih konfrontasi (begerilya) melawan pergerakan kolonial Belanda dari pedalaman dataran tinggi Toba (Bukit Barisan).

Beberapa kali Sisingamangaraja memimpin milisinya melakukan penyergapan tangsi militer kolonial Belanda di pedalaman Silindung, Tarutung, Balige dan Bakkara. Sisingamangaraja akhirnya membuka diplomasi dengan Kesultanan Islam Aceh, demi meminta bantuan dan dukungan militer untuk menghadapi pergerakan agresif Belanda di pedalaman Toba. Milisi Sisingamangaraja menjadi momok yang pernah sebagai sosok yang ditakuti dan disegani kolonial Belanda. Puncaknya, kolonial Belanda berhasil meghentikan pergerakan perjuangan milisi Sisingamangaraja XII di pedalaman tahak Batak atau Batak Toba (1906), setelah ia dan milisanya disergap dan dikepung Belanda, konon Sisingamangaraja gugur bersama milisinya dalam sebuah pertempuran sengit di pedalaman Bakkara. Buku sejarah di Indonesia terlanjur mengangkat dan membukukan kisah ini sebagai “Perlawanan Suku Batak terhadap Kolonial Belanda” di Sumatera (1878-1907) dan menganugerahi Sisingamangaraja klan Sinambela sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1962 [12] .

Kita tentu berbangga dengan keberagaman etnis yang ada di Nusantara, yang saling terkait dan saling memmpengaruhi sebagai insan hidup. Namun kebanggaan ini akan menjadi kerdil jika tidak dimaknai secara arif dan bijaksana. Bahkan akan ekstrim jika dimaknai dan dikaitkan dengan pemaksaan generaslisasi etnis dan bahkan pengaburan identitas terhadap suku-suku tertentu (evasive identity) di Sumatera.

Diatas telah banyak paparan dan temuan para peneliti dan para ahli terkait asal-usul kata “batak” serta hubungannya dengan sejarah panjang keberadaan etnis di Sumatera. Peradaban tidak bisa lepas dari pengaruh dari luar dan asimilasi pengaruh itu sendiri sehingga membentuk sebuah peradaban baru, budaya baru, bahkan identitas/suku baru.  Ada banyak pendapat yang memaknai “batak” namun dengan kajian-kajian yang dangkal bahkan tidak mendasar secara ilmiah, dan ini akan sulit dijadikan sebagai jawaban yang logis. Sehingga jawaban-jawaban tersebut hanya bersifat fiksi atau kajian mitologis.

Jika melihat kembali cacatan para ekspedisi pelaku sejarah dimasa lampau, seperti :

  • Nicolo da Conti adalah orang Eropa pertama, yang pada tahun 1430 atau pada abad ke-15, yang mencatatkan fakta temuan istilah Batak (Batech) yang menunjukkan sebuah populasi kanibal ini di Sumatra.[13] 
  • Tomé Pires dalam ekspedisinya ke Sumatera (1515) telah mencatatkan dominasi kekuasaan kerajaan Islam Aceh di Sumatera. Pires menemukan daerah bernama Batta yang berbatasan langsung dengan kerajaan Pasai (Aceh) dan di sisi lain berbatasan dengan kerajaan Aru (Daruu). Penguasa negeri pedalaman ini disebut Raja Tomjano.[14]  Dia adalah seorang kesatria Moor (istilah jamak dalam masyarakat Eropa), yang sering pergi ke laut untuk menjarah (perompak = bajak laut).
  • Mendes Pinto dalam ekspedisinya ke Sumatera (1539), sepanjang pantai utara Sumatera telah dikuasai kerajaan Islam Aceh, yang kala itu turut diperkuat pasukan ekspedisi kerajaan Turki. Semua negeri pesisir di sepanjang negeri Aceh dan Aru (Melayu) sudah ditaklukkan. Pada masa konfrontasi ini pula terdapat istilah definitif “batak” yang menunjuk kepada kelompok-kelompok milisi di pedalaman Sumatera atau orang-orang yang melawan pendudukan Kesultanan Islam Aceh, dan dalam perjalannya orang-orang ini kemudian terdesak dari pesisir oleh tekanan pasukan pendudukan Aceh, dan lalu orang-orang “batak” ini memilih bermigrasi dan mendiami pedalaman Bukit Barisan, Sumatera.
  • Anderson [14] dalam kunjungannya ke Sumatera pada tahun 1832, menyebutkan bahwa akibat dari pengaruh ajaran dan kebudayaan Islam telah memberikan tampilan perbedaan diantara suku-suku Karo, Simalungun, orang Toba dan Melayu, yaitu mereka yang tinggal dipesisir (yang telah memeluk Islam dan merasa lebih beradab) dengan mereka yang tinggal di pedalaman (belum memeluk Islam, penganut kepercayaan nenek moyang, dianggap lebih tidak beradab, dan kaum pesisir menyebut golongan ini sebagai golongan Batak).  

Catatan temuan fakta ekspedisi Nicolo da Conti (1430), kemudian Catatan temuan fakta ekspedisi Tomé Pires dalam ekspedisinya ke Sumatera (1515), kemudian catatan temuan fakta ekspedisi Mendes Pinto dalam ekspedisinya ke Sumatera (1539), dan terkahir catatan temuan fakta ekspedisi Anderson ke Sumatera  (1832), rangakaian catatan fakta temuan para ekspeditur sejak abad ke-15 sampai abad ke-19 ini menggiring kita kepada sebuah fakta selama berabad-abad tentang sebuah populasi pedalaman Sumatera yang konsisten resistan dari pengaruh peradaban baru di pesisir, sehinggan populasi ini memilih undur dan mendiami pedalaman yang notabene daerah pengunungan Bukit Barisan. Dan model ini sangat jamak ditemukan juga di berbagai daerah di Indonesia, seperti etnis Baduy di dataran tinggi Salak Banten, etnis Trenggalek di dataran tinggi Bromo Jawa Tengah, etnis Orang Dalam di dataran tinggi Masohi Maluku, dan lain sebagainya.

Apakah istilah Batak merupakan sebuah “labelling” atau istilah “tendensius” dari para pemeluk agama Islam di pesisir Sumatera, sejak abad ke-15 sampai pada abad ke-19, kepada orang-orang etnis yang belum/menolak memeluk agama Islam, yang umumnya berdiam di dataran tinggi atau pedalaman Sumatera?  Dan ini kemudian sejalan dengan istilah kolonial Belanda ketika menaklukkan pedalaman Sumatera dan menamainya daerah pedalam Sumatera ini sebagai Bataklanden atau tanah orang Batak, orang pedalaman Sumatera. Jadi istilah “batak” hanya familiar disebutkan oleh orang-orang pesisir yang notabene telah memeluk agama Islam untuk menyebut orang-orang pedalaman yang tidak memeluk Islam!

Dalam buku Mengikuti Jejak Leijdecker: Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara : Jilid I, J. L. Swellengrebel mengemukakan catatan H.N. Van der Tuuk, seorang peneliti atheis dan ahli bahasa dari lembaga Nederlands Bijbelgenootschap (NBG) kala itu, dalam suratnya tertanggal 15 November 1855, pernah mengusulkan kepada pengurus NBG agar  istilah “Batak” dan “Melayu” tidak digunakan secara formal. Usulan ini penyebabnya adalah istilah “Batak” telah berubah menjadi ungkapan yang bersifat ejekan atau penghinaan. Keberadaan ungkapan ini selanjutnya juga mejjadi penegasan bahwa orang Melayu yang telah memeluk Islam seolah derajatnya lebih tinggi dari orang yang berada di wilayah yang sekarang disebut “Batak”. Sebagai gantinya Van der Tuuk mengusulkan penyebutan etnis saja, seperti “Mandailing”, “Angkola”, dan lain sebagainya. [15]

Apakah istilah ‘batak’ ini kemudian berimplikasi kepada narasi atau makna kata ‘batak’ yang tersebut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang mendefinisikan sebagai orang-orang yang mengembara atau berpetualang? Serta memberikan artikulasi ‘pembatak’ sebagai orang-orang yang suka melakukan tindakan anormatif atau perampasan/penyamun? Dan sebagai akibatnya, sejak masa pendudukan kolonial Belanda, etnis pedalaman ini terbiasa disebutkan indentitasnya oleh kolonial Belanda sebagai kelompok orang-orang yang berasal dari Bataklanden (tanah Batak) atau orang Batak.[16]

Suka atau tidak suka, ini merupakan fakta sejarah yang mungkin sulit diterima, namun di sisi lain, fakta sejarah tetap sebagai sejarah yang tidak mungkin selamnaya ditutupi. Fakta sejarah lain juga mengungkap bahwa orang-orang terluar pedalaman Sumatera yang kemudian tunduk kepada Kesultanan Aceh dan berasimilasi (kawin antar etnis) bersamaan dengan pengaruh Islam kemudian enggan dengan dikaitkan dengan Batak, seperti etnis Karo yang memeluk Islam dan berasimilasi menjadi Melayu, demikian juga orang Simalungun di Serdang, Padang Bedagai, Labuhan Batu, Indrapura, sebagai Melayu. Maka masyarakat Simalungun dan Karo kemudian memiliki tatanan hirarki kerajaan atau kesultanan, mengadopsi peradaban modern oleh karena pengaruh Kerajaan Islam Aceh.[17]

Fakta lain juga mengungkap keberadaan etnis pedalaman di pantai barat Sumatera, seperti Tapanuli, Barus dan Singkil, dan kemudian Mandailing yang dipengaruhi Kerajaan Islam Pagaruyung, Pasaman Sumatera Barat, yang telah memisahkan diri dari tatanan lama kepada tatanan Islam, dan mengadopsi sitem hirarki kesultanan. Terkepung dengan kondisi ini, di pedalaman atau dataran tinggi Bukit Barisan (Toba), sebagai populasi yang tidak terikat dalam sistem hirarki kerajaan atau kesultanan Melayu atau Islam di pesisir Timur maupun Barat, pada akhirnya mendapat pengaruh dari zending Missionaris Kristen Belanda dan Jerman. Sehingga para Missionaris Kristen menjadikan Batak Toba (Silindung) sebagai pusat pergerakan Missionaris Kristen di  pedalaman Sumatera.[18]

Dari peta yang dirilis oleh Lembaga Penginjil Jerman (RMG, Rheinische Mission-Gesellschaft) tahun 1878 yang kini ditemukan di museum Arsip Missionaris di Jerman, menurut Darwin Siagian [19] juga tidak menemukan kata batak, melainkan Tapanuli atau Toba. Bahkan dari peta RMG (1878) tersebut juga terlihat jika sebutan untuk Danau Toba juga belum ada, melainkan Tao Silalahi, Tao Muara dan Tao Balige, yang mengelilingi pulau Samosir.

Perjalanan panjang mengenai terminologi istilah batak ini masih memerlukan kajian-kajian mendalam sehingga kedepan dapat menjadi acuan rekontruksi termonologi yang dianggap penuh cacat atau distorsi ilmuah. Hal ini perlu sebagai pelurusan sejarah dan upaya pemeliharaan pemerintah terhadap orisinal etnis-etnis di Sumatera. Generaslisasi kolonial terhadap etnis-etnis di Sumatera bisa dianggap sebagai pembohongan publik, tidak ilmiah dan tendesius berdampak pendiskreditan (evasive identity) terhadap asal-usul etnis di Sumatera, seperti Melayu, Simalungun, Karo, Mandailing, Tapanuli.

Disisi lain, asal-usul etnis dipedalaman Sumatera menjadi tidak jelas karena mereka hidup terisolasi. Sehingga ide Belanda menciptakan sebuah mitologi asal-asul etnis pedalaman melalui seorang Waldemar Hutagalung (1962) terbilang sukses, sehingga etnis pedalaman Sumatera (pegunungan Toba) masuk dalam kategori etnis Batak yang didukung dengan teori mitologi berasal dari keturunan Siraja Batak, yang turun dari langit, yang mendiami dataran tinggi Pusuk Buhit, Sianjur Mula-mula. Bahkan, melalui karya mitologi “Pustaha Tarombo Si Raja Batak” yang serampangan menganeksasi etnis lain di Sumatera masuk dalam domain keturunan Si Raja Batak terus menjadi polemik berkepanjangan di tengah masyarakat diaspora Sumatera umumnya.

Masalahnya adalah kapan muncul suku Batak ? Adakah Batak 6 Puak ? Lalu mengapa dalam buku-buku pendidikan tercetus Suku Batak yang terdiri atas enam suku sub etnis ? Dan belakangan ini kembali mencuat sebagai polemik dikalangan msyarakat luas (khususnya di Sumatera Utara) atas klaim Batak sebagai suku induk.

  • Catatan Mpu Prapanca pada abad-13 jelas sekali menyatakan bahwa Teba/Toba sebagai taklukan Majapahit, bukan Suku Batak! 
  • Catatan beberapa etnograf asing, menyatakan terminolgi Batak yang menjelaskan makna lain, bukan suku!
  • Surat H.N. Van der Tuuk, seorang peneliti atheis dan ahli bahasa dari lembaga Nederlands Bijbelgenootschap (NBG) kala itu, dalam suratnya tertanggal 15 November 1855, pernah mengusulkan kepada pengurus NBG agar  istilah “Batak” dan “Melayu” tidak digunakan secara formal (resmi), karena memicu polemik dan persoalan sosial!
  • Rupanya tindakan topograf "bataklanden" kolonial Belanda bukan hanya membuat penyesatan sejarah sosial-budaya, tetapu justru telah merekontruksi sejarah yang palsu demi tujuan kolonialisme. 
  • Pemerintah Sumatera Utara seharusnya melihat penyesatan ini dan kembali mendudukkannya pada tempatnya, sehingga penyesatan ini tidak semakin jauh dan polemik pro dan kotra ini berakhir dan dapat diterima semua kalangan (suku). 
  • Lembaga-lembaga Adat Swadaya Masyarakat harus dudk bersama dan menentukan langkah bersama menyikapi kondisi ini dan menyampaikannya kepada pemerintah, sebagaimana yang diamantakan dalam Peraturan Gubernur Sumatera Utara No.4 Tahun 2014 tentang PEDOMAN FASILITASI ORGANISASI KEMASYARAKATAN BIDANG KEBUDAYAAN DAN LEMBAGA ADAT DALAM PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN BUDAYA DAERAH DI PROVINSI SUMATERA UTARA.
  • Lembaga Adat Suku-suku di Sumatera Utara supaya "mengingatkan" Pemerintah Sumatera Utara untuk mengindahkan
    PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA NOMOR 8 TAHUN 2OI7 TENTANG PENGGUANAAN BAHASA INDONESIA DAN PELINDUNGAN BAHASA DAERAH DAN SASTRA DAERAH serta PENJELASANNYA :
  • Penjelasan Pasal 7, Yang dimaksud dengan Bahasa Daerah adalah bahasa yang dituturkan oleh suku bangsa yang berasal dari Sumatera Utara, yaitu suku bangsa : Mandailing/Angkola, Batak Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Nias, Pesisir Barat Sibolga-Tapanuli Tengah, Ulu, dan Siladang. Disini jelas terangkai BATAK TOBA, tidak ada kata Induk Etnis atau Batak enam Puak.
  • Penjelasan Pasal 8, Yang dimaksud dengan Sastra Daerah adalah karya sastra lisan dan karyaa sastra dalam aksara daerah yang menggunakan bahasa daerah dari suku bangsa yang berasal dari Sumatera Utara, yaitu suku bangsa : Mandailing/Angkola, Batak Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, NiaS, Pesisir Barat Sibolga-Tapanuli Tengah, Ulu, dan Siladang. ( 9 Suku )

Sudah saatnya Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara untuk TERBUKA  mengkaji kembali dan merekontruksi dan menyudahi persoalan akar rumput ini. Ini sangat penting demi penguatan persatuan dan kesatuan beragam suku bangsa di Sumatera Utara. Jangan sampai persoalan ini kembali dipolitisasi secara ekslusif demi tujuan politik "pemekaran" wilayah, dan pada akhirnya masyarakat umum rentan menjadi korban adu domba rasisme. Buku Sejarah dalam dunia pendidikan agar menjadi perhatian yang tidak kalah penting juga, sehingga sejak dini rekontruksi informasi dan sejarah dapat ditanamkan kepada generasi yang akan datang. (gani [h] sipayung @2024)

Sumber :

[1] Ethnic Dynamics in North Sumatra, Herlina Jasa Putri Harahap : https://digilib.unimed.ac.id/id/eprint/52960/1/Fulltext.pdf _ Budapest International Research and Critics Institute-Journal (BIRCI-Journal) Volume 4, No 4, November 2021, Page: 12736-12746 e-ISSN: 2615-3076 (Online), p-ISSN: 2615-1715

[2] Kolonialisme dan etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut, Daniel Perret, Kepustakaan Populer Gramedia, 2010

[3] Article : Is there a Batak History? , Anthony Reid, 2026,  https://www.researchgate.net/publication/228196051

[4]     “Di ejus insulae [Taprobana=Sumatera], quam dicunt Batech, parte, anthropophagi habitant […].” dikutip dalam Yule/ Burnell (1979: 74).

[5] Daniel Perret, Kolonialisme dan Etnisitas:Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut. Diterjemahkan dari judul asli La Formation d’un Paysage Ethnique: Batak & Malais de Sumatra Nord-Est oleh Saraswati Wardhany. (Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2010). Hal. 22

[6] Gelar ini mungkin sama dengan Timorraja (“raja timur”) dalam gelar raja konon ditemui oleh Pinto sekitar tahun 1540 (Pinto 1989: 20).

[7] Anderson. J., Mission to the Eascost of Sumatera in 1832. London, New York: Oxford University Press., 1971.

[8] BIRCI-Journal Volume 4, No 4, November 2021, Page: 12736-12746 e-ISSN: 2615-3076 (Online), p-ISSN: 2615 1715 : Herlina Jasa Putri Harahap, www.bircu-journal.com.

[9] Daniel Perret, Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut. Terj. Judul asli : La Formation d’un Paysage Ethnique: Batak & Malais de Sumatra Nord-Est oleh Saraswati Wardhany. (Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2010). Hal. 22

[10]  Pardede. J. 1975  Die  Batakchristen  aud Nord-Sumatra  und ihr  Verhaltnis  zu den  Muslimen.  Disertasi.  Johannes  Gutenberg-      Universitas, Mainz, dalam Erond L. Damanik : Rumor Kanibal, Menolak Batak Dan Jejak Perdagangan: Etnohistori Sumatra Bagian        Utara, 2017.

[11] https://kbbi.web.id/batak

[12] Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (Eds). (2008). Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

[13] “Di ejus insulae [Taprobana=Sumatera], quam dicunt Batech, parte, anthropophagi habitant […].” dikutip dalam Yule/ Burnell (1979: 74).

[14] Anderson. J. Mission to the Eascost of Sumatera in 1832. London, New York: Oxford University Press., 1971.

[15] J. L. Swellengrebel, Mengikuti Jejak Leijdecker: Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara. Jilid I (1820-1900). Hal. 133

[16] BIRCI-Journal Volume 4, No 4, November 2021, Page: 12736-12746 e-ISSN: 2615-3076 (Online), p-ISSN: 2615 1715 : Herlina Jasa Putri Harahap, www.bircu-journal.com

[17] Kolonialisme dan etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut, Daniel Perret, Kepustakaan Populer Gramedia, 2010

[18] Daniel Mawindra, Abstrak : Reaksi masyarakat Batak-Toba terhadap Zending 1861-1917, https://lib.ui.ac.id/

[19] Peta RMG (1878) bertajuk “Die Landschatt Toba auf Sumatra von Silindung bis zum Tao”  oleh Lembaga Penginjil Jerman (RMG, Rheinische Mission-Gesellschaft), Arsip Missionaris di Jerman, Darwin Siagian, 2016. Sumber : https://www.facebook.com/SahabatWinman/photos/a.839032052862952/842974582468699/?type=3&eid=ARBOLJLiVkbrMpXT2FIMdF1dqlQMBXL5O4WC0oVegaCyWEsc2VUmBDwWbcGky_9RoOOxKT2kC4jpTzp_&locale=sr_RS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun