Kajian lain juga melihat usaha “agresif” kolonial Belanda untuk menguasai pedalaman Sumatera melalui zending Minssionris yang menyebarkan agama Kristen. Dan milisi Sisingamangaja melihat ini sebagai usaha spionisme masif Belanda untuk tujuan koloninya. Sisingamangaraja kemudian melawan dan megusisr praktik Missionris Kristen di pedalaman Toba. Missionris Kristen kemudian meminta bantuan Belanda dan Belanda berhasil menganeksasi kota Silindung sebagai basis kolonial, dan bahkan menjadikannya sebagai pusat koloni dan tangsi kekuatan militernya. Alhasil, milisi Sisingamanraja diperhadapkan kepada dua persoalan sekaligus, yaitu ancaman zending yang melakukan Kristenisasi orang-orang pedalaman Toba dan gerakan kolonialisme Belanda, dan puncaknya adalah munculnya perlawanan milisi Sisingamangaraja di pedalaman Sumatera (Toba) terhadap kekuatan militer koloni Belanda yang berpusat di Silindung (Toba).
Kelompok milisi Sisingamangaraja dianggap sebagai momok “batu” sandungan bagi suksesi kolonialisme Belanda. Sisingamangaraja dan milisinya seringkali berhasil melakukan penyergapan dan melumpuhkan pergerakan kekuatan militer koloni Beladan di pedalam Toba. Sisingamangaraja yang nota bene menolak ajakan masuk Kristen, Sisingamangaraja konsisten memeluk agama leluhurnya yang kini dikenal dengan kepercayaan suku atau ugamo Malim atau Parmalim, dimana Sisingamangaraja merupakan pemimpin “suci” tertinggi aliran kepercayaaan Ugamo Malim. Diperkirakan sejak 1875 Sisingamangaraja dan milisinya memilih konfrontasi (begerilya) melawan pergerakan kolonial Belanda dari pedalaman dataran tinggi Toba (Bukit Barisan).
Beberapa kali Sisingamangaraja memimpin milisinya melakukan penyergapan tangsi militer kolonial Belanda di pedalaman Silindung, Tarutung, Balige dan Bakkara. Sisingamangaraja akhirnya membuka diplomasi dengan Kesultanan Islam Aceh, demi meminta bantuan dan dukungan militer untuk menghadapi pergerakan agresif Belanda di pedalaman Toba. Milisi Sisingamangaraja menjadi momok yang pernah sebagai sosok yang ditakuti dan disegani kolonial Belanda. Puncaknya, kolonial Belanda berhasil meghentikan pergerakan perjuangan milisi Sisingamangaraja XII di pedalaman tahak Batak atau Batak Toba (1906), setelah ia dan milisanya disergap dan dikepung Belanda, konon Sisingamangaraja gugur bersama milisinya dalam sebuah pertempuran sengit di pedalaman Bakkara. Buku sejarah di Indonesia terlanjur mengangkat dan membukukan kisah ini sebagai “Perlawanan Suku Batak terhadap Kolonial Belanda” di Sumatera (1878-1907) dan menganugerahi Sisingamangaraja klan Sinambela sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1962 [12] .
Kita tentu berbangga dengan keberagaman etnis yang ada di Nusantara, yang saling terkait dan saling memmpengaruhi sebagai insan hidup. Namun kebanggaan ini akan menjadi kerdil jika tidak dimaknai secara arif dan bijaksana. Bahkan akan ekstrim jika dimaknai dan dikaitkan dengan pemaksaan generaslisasi etnis dan bahkan pengaburan identitas terhadap suku-suku tertentu (evasive identity) di Sumatera.
Diatas telah banyak paparan dan temuan para peneliti dan para ahli terkait asal-usul kata “batak” serta hubungannya dengan sejarah panjang keberadaan etnis di Sumatera. Peradaban tidak bisa lepas dari pengaruh dari luar dan asimilasi pengaruh itu sendiri sehingga membentuk sebuah peradaban baru, budaya baru, bahkan identitas/suku baru. Ada banyak pendapat yang memaknai “batak” namun dengan kajian-kajian yang dangkal bahkan tidak mendasar secara ilmiah, dan ini akan sulit dijadikan sebagai jawaban yang logis. Sehingga jawaban-jawaban tersebut hanya bersifat fiksi atau kajian mitologis.
Jika melihat kembali cacatan para ekspedisi pelaku sejarah dimasa lampau, seperti :
- Nicolo da Conti adalah orang Eropa pertama, yang pada tahun 1430 atau pada abad ke-15, yang mencatatkan fakta temuan istilah Batak (Batech) yang menunjukkan sebuah populasi kanibal ini di Sumatra.[13]
- Tomé Pires dalam ekspedisinya ke Sumatera (1515) telah mencatatkan dominasi kekuasaan kerajaan Islam Aceh di Sumatera. Pires menemukan daerah bernama Batta yang berbatasan langsung dengan kerajaan Pasai (Aceh) dan di sisi lain berbatasan dengan kerajaan Aru (Daruu). Penguasa negeri pedalaman ini disebut Raja Tomjano.[14] Dia adalah seorang kesatria Moor (istilah jamak dalam masyarakat Eropa), yang sering pergi ke laut untuk menjarah (perompak = bajak laut).
- Mendes Pinto dalam ekspedisinya ke Sumatera (1539), sepanjang pantai utara Sumatera telah dikuasai kerajaan Islam Aceh, yang kala itu turut diperkuat pasukan ekspedisi kerajaan Turki. Semua negeri pesisir di sepanjang negeri Aceh dan Aru (Melayu) sudah ditaklukkan. Pada masa konfrontasi ini pula terdapat istilah definitif “batak” yang menunjuk kepada kelompok-kelompok milisi di pedalaman Sumatera atau orang-orang yang melawan pendudukan Kesultanan Islam Aceh, dan dalam perjalannya orang-orang ini kemudian terdesak dari pesisir oleh tekanan pasukan pendudukan Aceh, dan lalu orang-orang “batak” ini memilih bermigrasi dan mendiami pedalaman Bukit Barisan, Sumatera.
- Anderson [14] dalam kunjungannya ke Sumatera pada tahun 1832, menyebutkan bahwa akibat dari pengaruh ajaran dan kebudayaan Islam telah memberikan tampilan perbedaan diantara suku-suku Karo, Simalungun, orang Toba dan Melayu, yaitu mereka yang tinggal dipesisir (yang telah memeluk Islam dan merasa lebih beradab) dengan mereka yang tinggal di pedalaman (belum memeluk Islam, penganut kepercayaan nenek moyang, dianggap lebih tidak beradab, dan kaum pesisir menyebut golongan ini sebagai golongan Batak).
Catatan temuan fakta ekspedisi Nicolo da Conti (1430), kemudian Catatan temuan fakta ekspedisi Tomé Pires dalam ekspedisinya ke Sumatera (1515), kemudian catatan temuan fakta ekspedisi Mendes Pinto dalam ekspedisinya ke Sumatera (1539), dan terkahir catatan temuan fakta ekspedisi Anderson ke Sumatera (1832), rangakaian catatan fakta temuan para ekspeditur sejak abad ke-15 sampai abad ke-19 ini menggiring kita kepada sebuah fakta selama berabad-abad tentang sebuah populasi pedalaman Sumatera yang konsisten resistan dari pengaruh peradaban baru di pesisir, sehinggan populasi ini memilih undur dan mendiami pedalaman yang notabene daerah pengunungan Bukit Barisan. Dan model ini sangat jamak ditemukan juga di berbagai daerah di Indonesia, seperti etnis Baduy di dataran tinggi Salak Banten, etnis Trenggalek di dataran tinggi Bromo Jawa Tengah, etnis Orang Dalam di dataran tinggi Masohi Maluku, dan lain sebagainya.
Apakah istilah Batak merupakan sebuah “labelling” atau istilah “tendensius” dari para pemeluk agama Islam di pesisir Sumatera, sejak abad ke-15 sampai pada abad ke-19, kepada orang-orang etnis yang belum/menolak memeluk agama Islam, yang umumnya berdiam di dataran tinggi atau pedalaman Sumatera? Dan ini kemudian sejalan dengan istilah kolonial Belanda ketika menaklukkan pedalaman Sumatera dan menamainya daerah pedalam Sumatera ini sebagai Bataklanden atau tanah orang Batak, orang pedalaman Sumatera. Jadi istilah “batak” hanya familiar disebutkan oleh orang-orang pesisir yang notabene telah memeluk agama Islam untuk menyebut orang-orang pedalaman yang tidak memeluk Islam!
Dalam buku Mengikuti Jejak Leijdecker: Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara : Jilid I, J. L. Swellengrebel mengemukakan catatan H.N. Van der Tuuk, seorang peneliti atheis dan ahli bahasa dari lembaga Nederlands Bijbelgenootschap (NBG) kala itu, dalam suratnya tertanggal 15 November 1855, pernah mengusulkan kepada pengurus NBG agar istilah “Batak” dan “Melayu” tidak digunakan secara formal. Usulan ini penyebabnya adalah istilah “Batak” telah berubah menjadi ungkapan yang bersifat ejekan atau penghinaan. Keberadaan ungkapan ini selanjutnya juga mejjadi penegasan bahwa orang Melayu yang telah memeluk Islam seolah derajatnya lebih tinggi dari orang yang berada di wilayah yang sekarang disebut “Batak”. Sebagai gantinya Van der Tuuk mengusulkan penyebutan etnis saja, seperti “Mandailing”, “Angkola”, dan lain sebagainya. [15]
Apakah istilah ‘batak’ ini kemudian berimplikasi kepada narasi atau makna kata ‘batak’ yang tersebut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang mendefinisikan sebagai orang-orang yang mengembara atau berpetualang? Serta memberikan artikulasi ‘pembatak’ sebagai orang-orang yang suka melakukan tindakan anormatif atau perampasan/penyamun? Dan sebagai akibatnya, sejak masa pendudukan kolonial Belanda, etnis pedalaman ini terbiasa disebutkan indentitasnya oleh kolonial Belanda sebagai kelompok orang-orang yang berasal dari Bataklanden (tanah Batak) atau orang Batak.[16]
Suka atau tidak suka, ini merupakan fakta sejarah yang mungkin sulit diterima, namun di sisi lain, fakta sejarah tetap sebagai sejarah yang tidak mungkin selamnaya ditutupi. Fakta sejarah lain juga mengungkap bahwa orang-orang terluar pedalaman Sumatera yang kemudian tunduk kepada Kesultanan Aceh dan berasimilasi (kawin antar etnis) bersamaan dengan pengaruh Islam kemudian enggan dengan dikaitkan dengan Batak, seperti etnis Karo yang memeluk Islam dan berasimilasi menjadi Melayu, demikian juga orang Simalungun di Serdang, Padang Bedagai, Labuhan Batu, Indrapura, sebagai Melayu. Maka masyarakat Simalungun dan Karo kemudian memiliki tatanan hirarki kerajaan atau kesultanan, mengadopsi peradaban modern oleh karena pengaruh Kerajaan Islam Aceh.[17]