Mohon tunggu...
Budiman Gandewa
Budiman Gandewa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Silent Reader

Bermukim di Pulau Dewata dan jauh dari anak Mertua. Hiks.....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Serial Pak Erte) Hikayat Sendu, neng Romlah

19 Desember 2017   12:47 Diperbarui: 19 Desember 2017   12:57 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pic. jakartanomali.blogspot.com

Terik matahari siang, memanggang pohon asem yang tinggi  menjulang. Sementara sinar ultra violetnya menerobos diantara celah  daunnya, lalu nyungsep ke tanah. Persis di samping sepasang muda-mudi  yang sedang berteduh di bawah dahannya yang rindang .

Kedua sejoli itu duduk berpunggungan, di atas sebuah bangku kayu dalam areal perkuburan yang tampak masih lengang.

Si perempuan duduk menghadap ke utara, sambil  menggulung-gulung rambut dengan ujung jarinya. Sementara si pemuda duduk  menghadap ke selatan, sembari sibuk mengamplas gagang cangkulnya.

Sepasang muda-mudi itu tetap duduk bertolak belakang. Mirip  magnet yang ada di dalam kompas. Masih Tenggelam dengan kesibukannya  masing-masing. Tidak ada satupun yang berusaha memulai percakapan.

Entah darimana datangnya, tiba-tiba tiga orang pria setengah baya sudah berdiri di dekat mereka berdua. Lalu pria yang bertubuh 'pendekar' alias pendek tapi kekar,menegur lelaki yang asik dengan cangkulnya.

"Bang, saya mau sewa tukang gali. Berapa satu lobang?" Tanyanya tiba-tiba.

Setengah kaget pemuda itu pun menjawab "Eh, enam ratus ribu, Pak..."

"Mahal amat bang, empat ratus yah..." Tawar bapak itu.

"Lima ratus dah, buat panglaris..."

"Panglaris? Apa lu, kata! Emang abang dagang lubang kuburan, pake panglaris segala!" Lelaki 'pendekar' itu nampak kesal.

Pemuda itu menengok kearah perempuan yang tadi duduk bersamanya.

"Neng, tolong bilangin Babeh, gih... Ada yang mau sewa" Kata pemuda tersebut.

Tanpa menoleh gadis tersebut ngeloyor pergi, lalu masuk ke sebuah rumah yang dindingnya menempel dengan tembok pembatas areal pemakaman.

Tak lama kemudian dari rumah tersebut, muncul sosok lelaki  tua yang masih kelihatan gagah, dengan gelang akar bahar dan kumis  melintang, ala bang Jampang.

"Eh, Parlan! Lu apain si Romlah ampe mukanya mewek begitu?" Babeh langsung nyap-nyap, tanpa mengindahkan tiga lelaki yang ada diantara mereka.

"Ka...kagak diapa-apain beh, sumpah!" Jawab pemuda itu keder.

"Awas lu ya, kalo sampe si Romlah patah hati. Gua  patah-patahin juga lu!" Ancam babeh. "Mana orang yang mau sewa?" Tanya  babeh kemudian.

"Saya beh.." Sahut lelaki 'pendekar' sambil menjulurkan tangan.

Babeh menjabat tangan lelaki tersebut, juga kedua laki-laki  yang  tadi datang bersama si 'pendekar'. Setelah berbincang sebentar,  mereka langsung mengikuti langkah kaki Babeh memasuki bagian dalam  perkuburan.

***

"Jadi begimana, Bang?" Tanya Romlah sekali lagi, saat Parlan mendaratkan pantat di sebelahnya.

"Duit Abang belum cukup, Neng. Mana sekarang pasaran sepi  lagi. Bulan ini aja cuma ada satu yang meninggal...." Parlan menjawab  pelan.

"Aduuuh, Abang...Masak mau melamar Romlah nungguin orang meninggal dulu!"

"Lha...Abang ini tukang gali kuburan, Neng. Jadi dapet  duitnya kalau ada orang yang meninggal. Kalau kagak ada yang meninggal,  Abang mau gali apaan?"

"Terserah! Mau gali sumur kek, gali apaan kek, pokoknya  Romlah nggak mau tau. Abang kudu ngelamar aye..." Romlah pun ngambek dan  memasang tampang cemberut.

Parlan jadi kelimpungan. Garuk-garuk kepala, tapi nggak gatel. Kalau Romlah udah pasang muka cemberut...alamat Parlan bakalan didiemin seharian.

Untunglah tidak berapa lama Bapak-bapak yang kemarin datang lagi bersama rombongan orang-orang yang mengantar jenazah.

Parlan langsung menuju ke lokasi pemakaman yang sudah  disiapkan sejak kemarin. Beberapa jam kemudian Parlan sudah selesai  mengerjakan tugasnya dan langsung menemui Babeh dan Romlah di rumahnya.

"Begini Beh...Saya bermaksud untuk melamar Romlah. Tapi  saya cuma punya uang lima ratus ribu untuk biaya kawinan. Kira-kira  Babeh begimana, setuju nggak?" Tanya Parlan memberanikan diri.

Babeh memandang Parlan dari ujung  kaki ke ujung Rambut.

"Gue mah terserah Romlah aja....lagian anak Gue yag botoh  ini cuma atu-atunya. Gimane Romlah, Lu mau dikawinin ama Parlan?" Babeh  memandang anak perawannya yang hanya menunduk malu-malu.

" Ya udah...kalau liat gelagatnya. Romlah juga udah demen ama elu. Minggu depan kita ke rumah Haji Sobri buat ngawinin Elu, pade..." Lanjut Babeh lagi.

"Alhamdulillah...." Ujar Parlan bersyukur.

*****

Romlah baru saja selesai berpakaian saat Babeh dan beberapa  orang datang berhamburan ke rumahnya. Pakaian mereka basah kuyup,  karena sejak tadi pagi hujan turun dengan derasnya disertai guntur dan  angin kencang.

Babeh berdiri di ambang pintu. Beberapa orang berdiri di belakangnya. Menunggu kalimat yang akan meluncur dari mulut Babeh.

"Romlah...Elu kudu tabah ya. Parlan..." Babeh menggantung kalimatnya.

Romlah memandang Babeh penuh tanda tanya. Jantungnya berdegup kencang.

"Bang, Bang Parlan ke..kenapa, Beh?" Tanya Romlah terbata-bata.

"Parlan, laki lu...kesamber petir, Neng..." Ujar Babeh pelan.

Mendengar kabar tersebut Romlah nggak bisa berkata apa-apa.  suaranya tercekat ditenggorokan. Baru satu minggu Romlah menjalani  hidup sebagai pengantin baru. Tapi sekarang Tuhan menentukan lain.  Tiba-tiba pandangan Romlah mendadak gelap, dunia pun seperti berputar,  sebelum akhirnya si semok jatuh pingsan.  Gedebuk!

*****

"Begitu ceritanya, Pak Erte, empok... Kenapa sekarang Aye, menjanda..." Kata Romlah mengakhiri ceritanya.

Pak erte dan beberapa orang yang berkumpul di halaman depan  rumahnya menarik nafas panjang saat Romlah selesai menuturkan riwayat  hidupnya.

Empok Saidah, Mbak Jum dan mpok Mumun mulai sesenggukan.  Bang Toyib hanya mengangguk-anggukan kepala. Tidak sedikit yang bergumam  dan mengomentari jalan hidup Romlah yang tragis.

Pokoknya, warga Kampung Pinggir Kali yang lagi ngumpul,  semuanya berwajah sendu. Saking banyaknya orang, halaman rumah Pak Erte  seperti sedang memutar film layar tancep.

Empok Saidah yang masih sesenggukan langsung merangkul Neng Romlah.

"Sabar ya, Romlah..." bisik perempuan tersebut.

"Iya mbak...sabar, yah..." Empok Mumun ikut memberikan simpatinya.

Disaat mereka larut dalam kesedihan, Bang Toyib langsung berdiri dari duduknya, sambil berkata:

" Udah Romlah, nggak usah sedih. Abang mau kok jadi suaminya Romlah"

"Gue juga mau, kok..." Jupri nggak mau kalah.

"Gue juga..." Buluk ikut-ikutan nyahut.

"Saya..!"

"Saya juga..." Sahut beberapa pemuda yang ada disitu.

Suasana pun jadi hening saat semua menunggu Romlah memberikan jawaban.

"Abang juga, Neng..." Pak Erte ikut keceplosan.

Sontak suara Pak Erte terdengar begitu jelas ditengah  keheningan suasana. Semua mata memandang ke arah Pak Erte yang masih  gagap situasi.

"Apaaa...!!!" Gelegar suara Empok Saidah memecah kesunyian.

Diikuti tanah yang bergetar dan petir yang  bersahut-sahutan. Tiba- tiba semua orang lari berhamburan saat Empok  Saidah memegang sebatang sapu ditangannya.

Tidak ketinggalan Pak erte yang ikut lari lintang pukang, sambil di uber Empok Saidah pakai gagang sapu.

"Lariiiii....!!!" Suara Pak Erte terdengar membahana di seantero Kampung Pinggir Kali.

Hihihi.....

Sekian.

Hiks....
Salam Sendu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun