"Bunda kita harus merelakan Rara," bisiknya lagi. "Rara pasti bahagia di sana. Kita pun tidak bisa terus larut dalam ketidakpastian ini," lanjut Nesin memberi semangat pada Rosma, istrinya.
Sekuat tenaga Rosma duduk tegak. Dipandangnya wajah dokter yang terlihat tenang. Bibirnya gemetar.
"Menurut dokter, jalan terbaik apa yang harus kami lakukan untuk Rara," suara serak Rosma memecahkan suasana hening.
Dokter tersenyum mencoba mendamaikan situasi, "justru semua saya serahkan pada Bapak dan Ibu. Melepas semua peralatan medis dengan menyerahkan semua pada kekuatan Rara, atau tetap menggunakan peralatan yang berarti membiarkan Rara terus lelap tanpa kesadaran."
Suasana kembali hening.
Hanya nafas Rosma dan Nesin yang terdengar memburu.
"Baiklah," lanjut dokter, "Bapak dan Ibu bisa pertimbangkan dahulu. Ingat keputusan itu harus benar-benar dengan pertimbangan yang sesadar-sadarnya. Pertimbangkan keadaan Rara sekarang, perhitungkan juga masa depan Bapak dan Ibu kemudian," tutur dokter.
"Dokter, saya hampir tidak kuat melihat Rara menderita terus berkepanjangan. Saya lelah dokter," Nesin gemetar terbata-bata.
Rosma kembali terisak.
"Bebaskan penderitaannya, dokter," suara Rosma disela-sela isaknya yang makin menusuk.
Dokter menarik nafas panjang. Kemudian dokter mempersilahkan sepasang suami istri itu melihat Rara. Dokter mendampinginya.