Pernah dengar kalimat "Tetangga adalah saudara yang terdekat?" Pasti, dong. Indah nian punya tetangga yang kayak sodara. Istilahnya seperti dapat durian runtuh. Tetapi pernahkah Kompasianer membayangkan atau bahkan pernah mengalami sendiri bahwa tetangga bisa menjadi musuh yang terdekat?
Kok, bisa? Begini cerita-cerita yang bakal membuat kita mengerti.
Seorang teman dari Indonesia yang baru pindah ke Jerman curhat. Katanya tetangganya yang pada awal kepindahan sangat baik, ternyata akhir-akhir ini cari gara-gara. Karena mereka nggak punya anak, mereka sangat menyayangi anak-anak teman saya itu.
Belakangan mereka mencoba mengatur-atur teman saya itu tentang bagaimana mengasuh anak. Tentu saja teman saya merasa nggak enak dan segera mengatur jarak supaya nggak terlalu dekat. Bukankah pola didik anak adalah hak orang tua kandung? Boleh kasih saran tapi jangan menekan.
Seorang teman dari Indonesia lainnya juga ikut nimbrung. Kisah tentang tetangga rupanya masih hangat di masa lebaran ini. Ceritanya, ia menyewakan beberapa apartemen kepada tetangga. Karena satu bangunan, mereka yang punya anak, boleh menggunakan kolam renang.
Suatu hari, ketika ingin memakai kolam renang, teman saya kaget karena kamar mandinya kotor sekali. Iya, ada kotoran manusia di atas lantai. Jijik, kan? Ini mengingatkan saya pada kasus kotoran di lemari yang menyebabkan 77 siswa harus memakannya. Hiyyy.
Karena tahu bahwa yang pakai hanya penyewa yang punya anak, teman saya segera bertanya pada pengontrak apartemen. Tentu saja tetangga mengelak. Tetapi Tuhan Memang Maha Tahu lagi Bijaksana, tiba-tiba anak si tetangga yang baru umur 4 tahun datang dan mengaku bahwa dia yang melakukannya karena sudah nggak keburu.
Si ibu yang punya anak malah tambah murka karena nggak mungkin anaknya yang innocent yang melakukannya dan menuding anak pemilik rumah yang lebih gede yang melakukannya.
Sebagai puncak kemarahannya, ia mengancam akan membatalkan kontrak sewa dan pergi dari apartemen teman saya itu. Teman saya nggak ambil pusing. Zaman sekarang banyak yang butuh apartemen di kota. Lagian, masak nggak ada hormat-hormatnya sedikit sama yang punya rumah.
Sebagai penenang, saya katakan bahwa ribut dengan tetangga itu biasa. Saya ceritakan juga bagaimana tetangga seberang rumah suka mempermasalahkan hal-hal sepele. Misalnya ketika suami saya memasang logo dengan lampu di dinding rumah bawah, tetangga mengatakan bahwa lampunya bikin silau kalau malam. Mereka bilang bahwa lampu bisa menerobos jendela sampai ruang tamu. Konon, itu menyebabkan mereka nggak nyaman nonton TV.
Ketika suami saya mengebor di kamar mandi lantai bawah, mereka juga protes karena dibilang bising, meski itu dilakukan di dalam rumah. Dan masih banyak keributan kecil yang berawal dari hal-hal sepele yang sebenarnya bisa diatasi dengan toleransi.
Suami saya sangat terganggu dengan hal itu, sampai ia mengikuti jejak Trump untuk membangun pagar tinggi yang tertutup. Kalau menurut saya, sebenarnya nggak usah diambil hati. Uangnya buat traveling saja.
Tetangga kami itu mungkin nggak ada kerjaan jadinya hal-hal kecil diurusin. Kepo. Seharusnya kami hadapi mereka dengan kepala dingin. Kalau panas bisa meledak, bahaya.
Nggak mau stress, ah. Jadi sebaiknya kami menganggapnya ributnya tetangga itu biasa, sampai maut memisahkan atau ada yang pindah di antara kami.
Kita tinggalkan seremnya "Tetangga adalah musuh yang terdekat." Kita kembali lagi ke kalimat "Tetangga adalah saudara yang terdekat", soalnya kesannya lebih paradise gitu loh.
Apa saja adab bertetangga yang selama ini telah kami lakukan di Jerman?
1. Ramah
Di Jerman, sapaan Hallo", "Gruss Gott" atau Morgen" adalah wajib diucapkan ketika bertemu orang lain sekalipun baru pertama kali ketemu alias nggak kenal sama sekali.
Anggukan kepala atau mengangkat satu telapak tangan sebagai tanda feed back biasa juga dilakukan orang. Meskipun tetanggan, kami tidak pernah bertemu.
Namanya juga Jerman nggak ada pertemuan RT, RW atau sejenisnya. Paling banter ya, pesta rakyat di musim panas di mana semua orang keluar tumplek jadi satu di alun-alun.
Tuh, harus saling sapa ini menepis anggapan bahwa semua orang Jerman sombong dan kaku. "Semua tak sama" kata Sheila on 7. Keramahtamahan itu juga kami sampaikan kepada para tetangga dengan cara menyapanya saat bertemu. Tapi jangan berharap mukanya berseri-seri seperti yang kita temukan di Indonesia, ya. Wajahnya biasa saja, netral. Nggak usah diambil hati, itu biasa.
2. Jadi tetangga yang baik
Saya sudah pernah posting bahwa daerah kami masih ada tradisi titip kunci (serep) rumah. Jadi ketika bepergian jauh, ada yang bantuin siram bunga atau masukin paket/pos.
Memberikan bantuan juga biasa kami lakukan seperti meminjamkan alat-alat yang dibutuhkan tetangga bahkan sampai meminjamkan bahan makanan seperti tepung terigu, gula, beras atau bumbu. Kalau lupa, kecuali alat-alat dan mesin, nggak usah ditagih karena nilainya kecil. Paling banter 1 euro atau Rp 15.000-Rp 16.000 saja.
Kebaikan lain yang kami lakukan adalah tempat penitipan anak tetangga. Jika ada yang kerepotan, dengan senang hati kami mau dititipi anak-anak tetangga. Toh, kami juga punya anak. Bahkan tak jarang, mereka pada nginep di kamar sampai kemah di kebun rumah kami sampai beberapa hari.
3. Mengantar makanan
Jika kebanyakan masak, sisa makanan takut basi, sayang kan. Biasanya saya bagi ke tetangga kanan-kiri. Mereka akan menyambut dengan hangat rejeki yang saya bagi.
Makanan yang saya antar bisa bervariasi; bisa kek, kue sampai makanan besar.
Paling suka kalau mereka bilang,"Jika memakan masakanmu, aku akan mengingatmu" atau "Jika aku lewat rumahmu, aku ingat kamu pinter masak." Sebagai gantinya, contohnya seorang petani yang memiliki peternakan kelinci dan ayam memberi saya 10 butir telur ayam kate. Ih lucu, sudah lama nggak makan. Rejeki memang nggak lari ke mana. Rejeki anak manis.
4. Mengundang makan di rumah
Selain mengantar makanan, kami suka mengajak mereka makan di rumah kami dalam acara khusus seperti kelahiran, ulang tahun, tujuhbelasan, lebaran atau lain-lain. Alamat kalau sudah duduk, lupa berdiri karena akhirnya nggak mau pergi. Gayeng.
Nah, makanan Indonesia yang penuh rempah, menjadi daya tarik tersendiri. Maklum, dibandingkan dengan bumbu Jerman, bumbu kita tuh berasa sampai ke hati. Baunya saja waktu masak sudah ngundang-undang lewat udara, apalagi pas makannya. Nendaaaang.
Nggak salah ketika mereka lewat rumah kami, mereka mampu berujar, "Aku pernah masuk di rumah ini dan makan di sana." Banyak tamu, banyak rejeki. Betul?
5. Meminta izin ketika membangun atau merenovasi rumah
Sebelum membangun pagar rumah, kami harus ada izin dari pemda. Setelah mengajukan surat dan meeting di kantor beliau, beliau menyanggupi untuk sidak dulu sebelum izin turun.
Begitu beliau melihat-lihat lokasi di mana pagar akan dibangun, kami jadi tahu bahwa jika ingin membangun pagar, pemilik rumah hanya wajib meminta izin kepada tetangga sebelah kanan dan sebelah kiri, bukan tetangga belakang rumah atau seberang rumah.
Ingat, tetangga seberang rumah suka ribut kann. Nggak perlu izin dia dan izin dari tetangga kanan-kiri keluar. Surat izin dari pemda juga sudah terbit, kalau ada apa-apa bisa ditunjukin tetangga yang rewel. Aman.
Sedangkan adab bertetangga menurut Islam itu salah satunya adalah tidak boleh membangun tanpa seizin tetangga. Takutnya kalau pagar terlalu tinggi bisa menghalangi sinar matahari ke tempat tetangga. Atau pagar menghalangi pemandangan indah dari rumah tetangga.
Tetangga dalam arti 40 rumah ke depan, 40 rumah ke belakang, 40 rumah ke samping (tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh). Berarti kalau di tempat saya bisa sedesa lantaran penduduknya sedikit. Hehehe.
6. Menjenguk jika ada yang sakit
Sekalipun nggak diundang ke pesta ultah atau pesta pernikahan tetangga, nggak menyurutkan hati kami untuk selalu jadi baik. Namanya budaya Jerman yang lebih suka kualitas daripada kuantitas.
Pembatasan siapa yang diundang sudah jadi hal yang biasa. Nah, kalau ada yang sakit, biasanya jarang ada orang yang menjenguk. Paling banter kirim kartu semoga lekas sembuh alias "Gute Besserung."
Kalau di tempat saya di kampung dulu, sebelum corona, kalau ada yang sakit datanglah orang se-RT, se-kelas atau se-kantor. Rame. Di Jerman tidak begitu.
Pernah saya menjenguk tetangga seberang kanan rumah. Ia sangat terharu, kami menjenguk mereka setiap kali ia masuk rumah sakit. Katanya, selain anak dan suami, hanya kami tetangga yang menjenguk.
***
Baiklah, Kompasianer, begitu tadi cuplikan "tetangga adalah musuh sekaligus saudara yang terdekat." Apakah kalian pernah mengalaminya? Bagaimana suka duka bertetangga di tempat kalian tinggal?
Langkah apa yang kalian lakukan dan bagaimana kalian menyikapinya jika ada masalah dan membangun keharmonisan bertetangga? Misalnya kalau ada yang nyetel dangdutan kenceng banget atau jika ada yang nonton TV keras-keras.
Di Indonesia mah ada pak RT, ada yang bantuin. Di Jerman mana ada? So, mainnya adalah peraturan dan hukum yang detil dan eksak. Masih ingat, kan, cerita saya tentang tetangga yang punya anjing penjaga lalu menerkam anak tetangga sampai kasus dimejahijaukan dan anjing harus dihukum mati? Atau cerita burung berkicau pagi-pagi, pemiliknya harus bayar denda 500 euro atau Rp 8.000.000 pada tetangganya yang merasa terganggu?
Selamat datang di Jerman. Semua ada yang atur. (G76).
Ps: Sebagai tetangga jauh, saya mohon maaf jika ada kesalahan dalam menulis atau berkomentar. Selamat lebaran bagi yang merayakan. We stay at home. Kami di rumah saja, nggak mudik atau pulang kampung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H