“Nggak, pak... ini celemek, nanti kaosnya kotor.“ Celemek raksasa berpindah tangan. Mulut saya tutup dengan tangan biar ketawanya nggak meledak.
Akhirnya? Bantat bagian paling bawah. Biasanya, kalau bikin kue, suami saya suka numplekin ke lantai. Kali itu, bantat! Xixixi ... apes.
Herannya, bikin dua loyang diiris tipis-tipis ... tinggal sedikit saja dan habis dimakan anak-anak untuk dibawa bekal ke sekolah. Hahahaha ....
“Piye, tho. Bantat malah enak, buk.“ Bela suami saya. Ah, bugil!
11. Kue lapis legit
Kalau kue pandan hijau kesukaan anak-anak, favorit suami saya adalah kue lapis legit yang rasa coklat. Kami sudah pesan jadi dari toko Asia. Mau bikin sendiri mana sempaaaat?
Pagi-pagi, saya minta dua anak perempuan untuk mengiris lima loyang dan meletakkannya di tampah yang sama, yang digunakan waktu bedah buku bersama Kompasianer di markas Kompasiana. Terima kasih, mbak Ngesti! Tampah bambunya sampai Jerman.
Kue itu memang tidak habis tapi setidaknya sisa sedikit, dibagi ke tetangga kanan-kiri dan habis dimakan dalam beberapa hari kemudian.
12. Lemper
Kompasianer Cici bertanya, “Aku ngewangi opo ki. Tak masakke yo?“ Kue Weci bikinannya memang mak nyos tapi waktunya yang nggak ada. Dibuatlah lemper. Sama seperti waktu acara “Indonesien Paradise der 1.000 Inseln I“ tahun 2013 di mana pameran foto Kampret dan saya diadakan. Waktu itu, orang mengira daunnya bisa dimakan, seperti daun nori orang Jepang. Untung waktu itu, nggak ada yang makan daun pisangnya.
Dari jumlah 30 an, lemper sisa 10. Saya bagi tetangga.