“Aku Mintje. Silakan duduk, Ben.“ Kamar remang-remang. Ben belum juga mengenali jati diriku.
“Aku baru saja bertengkar hebat dengan istriku, aku butuh selingen ...“ Ben curhat. Bau alkohol dari mulutnya, menusuk hidung. Mungkin, ia barusan nongkrong di pub seberang.
“Tolong pakai kondom di meja dulu, Ben.“ Sembari mengepulkan asap bau di udara, kutunjuk plastik kecil berisi pengaman rasa coklat. Meraih tape. Kuputar musik romantis, kugoyangkan seluruh badanku dengan gelora. Ben merabaku. Aku berhasil mengecup bibir merah itu.
Hatiku berkecamuk. Antara bahagia bertemu dan takut, karena aku akan merusak pria yang sebenarnya masih kucintai.
Ah, Ben mengapa engkau keras kepala? Ia tetap tak mau menyentuh alat kontrasepsi yang biasa aku siapkan untuk tamu. Pria muda dan tampan itu berani mengambil resiko yang aku sendiri, takutnya setengah mati. Aku pegang rahasia.
Tuhan, sumpah, ku tak mampu memangkas kebiasaan yang jadi larangan-Mu. Di bulan Ramadhan yang penuh hikmah, justru makin kutumpuk berton-ton beban dosa di atas kecewa. Mengapa aku tak juga takut masuk neraka? Arghhhh....
Satu jam berlalu. Kami sudahi fantasi mimpi yang tercapai. Ben tertidur pulas. Tampaknya ia kelelahan. Kupandangi wajahnya. Belaian tanganku menyentuh rambutnya yang pirang. Kukecup bibir merah itu lagi.