Namanya Ben. Aku jatuh hati pada pria Jerman itu. Untuk mengutarakannya, aku tak sanggup. Aku berandai-andai, Ben, pria yang akan menancapkan panah Cupid di dadaku.
Salah. Aku terlalu berharap.
Sampai suatu ketika, Ben memilih Melisse yang seiman. Mereka mengikat janji.
Hancur hatiku. Rasa yang kupendam, membusuk di antara sarang yang sudah kubangun dari ranting kecil yang ternyata rapuh. Cepat-cepat kubunuh benih yang tak sempat tumbuh.
Kemudian, akupun menghilang.
***
Dan hari ini setelah bertahun-tahun lamanya, tanpa rencana, Ben menemukanku di sebuah perpustakaan universitas.
“Selamat pagi, Mimi, apa kabaaaar? Kamu kuliah di sini, ya? Sudah lama kita tidak bertemu. Senang bertemu denganmu.“ Ben memelukku. Hangaaaat sekali. Aku sendiri, pura-pura frigid.
“Selamat pagi, Ben. Ya, aku anak baru. Dan seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja kan.“ Penampilanku berhasil memalsukan hati yang mendung. Bertemu dengan pria yang pernah ingin kumiliki? Oh, tidak!
“Aku senang mendengarnya, eh, kamu puasa? Kemarin aku lihat berita di TV, rakyat muslim negerimu mulai menjalankan ibadah puasa.“
“Iyalah ... sudah terbiasa dari kecil. Tak usah khawatir.“ Aku pura-pura membenahi buku yang kuambil dari rak dan berharap Ben tak mendengar bunyi keroncongan perutku.
“Tapi lama kaaann di Jerman. Sembilanbelas jam. Lemes. Kalau aku, bisa dehidrasi tanpa air! Apalagi pantangan lain ... waduhhh mana tahaaaan.“ Ben menggelengkan kepalanya. Kupandangi bibirnya yang merah alami. Sayangnya, bibir itu hanya sah dikecup Melisse. “Eh, kamu tertarik sama dunia kesehatan, ya?“ Ben mengambil salah satu bukuku. Segera kuserobot buku itu dan kudekap erat. Untung tak robek.
“Maaf, aku ada perlu. Pergi dulu, ya?“ Kutinggalkan Ben yang tak mengerti, mengapa aku sedikit agresif. Ben tak boleh tahu bahwa aku ingin baca banyak tentang penyakit kelamin.
***
Ben benar. Puasa di Jerman memang jauh berbeda dibanding di kampung halamanku. Perbedaan itu aku nikmati dengan caraku sendiri. Aku tidak makan, tidak minum, tidak merokok dan ... berhubungan seksual? Candu yang seharusnya tak kukerjakan tapi selalu terjadi itu terpilih. Kuterobos batas pada Sabtu dan Minggu.
Di mana?
Di sini, di sebuah sudut depan Frauentor kota tua, Nürnberg. Los paling bawah kanan. Sebuah kotak kaca yang dipajangi sebuah kursi berbentuk tangan, warna merah. Jika malam, begitu indah dengan warna-warni lampu.
Di tempat itulah aku biasa duduk, hanya dengan mengenakan push-up BH, G-String dan sepasang sepatu berhak tinggi, 15 cm. Wig warna merah muda dan polesan make-up tebal sukses mengubahku bagai diva dalam semalam.
Aku, penjual seks! Pengurai malam dari balik jendela, saksi bulan dan bintang.
Pintu di belakangku diketuk. Seorang pria bertubuh macho masuk. Langkahnya sempoyongan. Dibukanya topi yang dikenakannya tadi. Aku kaget, kurasa tamu itu aku kenal betul ....
“Selamat malam, namaku Ben ...“ Ia mengecup tanganku. Lembut. Aku gemetar. Buru-buru kunyalakan rokok agar terusir cemas yang semakin meninggi.
“Aku Mintje. Silakan duduk, Ben.“ Kamar remang-remang. Ben belum juga mengenali jati diriku.
“Aku baru saja bertengkar hebat dengan istriku, aku butuh selingen ...“ Ben curhat. Bau alkohol dari mulutnya, menusuk hidung. Mungkin, ia barusan nongkrong di pub seberang.
“Tolong pakai kondom di meja dulu, Ben.“ Sembari mengepulkan asap bau di udara, kutunjuk plastik kecil berisi pengaman rasa coklat. Meraih tape. Kuputar musik romantis, kugoyangkan seluruh badanku dengan gelora. Ben merabaku. Aku berhasil mengecup bibir merah itu.
Hatiku berkecamuk. Antara bahagia bertemu dan takut, karena aku akan merusak pria yang sebenarnya masih kucintai.
Ah, Ben mengapa engkau keras kepala? Ia tetap tak mau menyentuh alat kontrasepsi yang biasa aku siapkan untuk tamu. Pria muda dan tampan itu berani mengambil resiko yang aku sendiri, takutnya setengah mati. Aku pegang rahasia.
Tuhan, sumpah, ku tak mampu memangkas kebiasaan yang jadi larangan-Mu. Di bulan Ramadhan yang penuh hikmah, justru makin kutumpuk berton-ton beban dosa di atas kecewa. Mengapa aku tak juga takut masuk neraka? Arghhhh....
Satu jam berlalu. Kami sudahi fantasi mimpi yang tercapai. Ben tertidur pulas. Tampaknya ia kelelahan. Kupandangi wajahnya. Belaian tanganku menyentuh rambutnya yang pirang. Kukecup bibir merah itu lagi.
Lirih kubisikkan di telinga kanannya, “Akan kusudahi perjalananku sampai di sini, sebelum pintu tobat benar tertutup rapat.“ Ben tak mendengarnya. Ia masih saja terkulai di atas tempat tidur sofa di sebuah sudut. Kututup tirai warna merahnya dan memasukkan150€, tips dari Ben, ke dalam tas tanganku. Kutinggalkan Ben, sendiri.
Berderai air mataku.
***
Seminggu sudah aku bertobat, memusnahkan gambaran lembah hitam. Puasa kujalani setiap hari, kecuali datang bulan nanti. Kuperbanyak ibadahku di Ramadhan kali ini. Betul-betul kumulai lembaran hidup baru. Hikmah yang indah dari pertemuanku dengan Ben.
Berat sekali meninggalkan kebiasaan lamaku, tapi untuk sebuah janji pada Ben, aku kukuh.
Ohhh. Hari ini ada yang istimewa. Sepucuk surat kuterima dari bagian administrasi universitas. Dag-dig-dug rasanya. Tertulis; Pengirim: Ben Bergmann. Ben?
Kurobek amplop berperangko kastil 1,45€ itu. Secarik kertas menyembul di sana. Kalimat demi kalimat kubaca perlahan-lahan. Pipiku basah. Ben bercerai. Anak tunggal hasil pernikahan mereka, Jenny, diasuh Melisse.
Yang lebih menakutkanku, sejak seminggu yang lalu, Ben terjangkit ... Vietnam Rose!(G76)
NB : Untuk membaca karya peserta lain silakan menuju akun Fiksiana Community. Silakan bergabung di group FB Fiksiana Community.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H