Setelah kejadian malam itu, aku mulai melakukan saran ibu kos. Tiap malam, aku taruh bunga dan makanan kecil di sudut kamar, tempat yang menurutku paling "dingin". Anehnya, gangguan itu mulai berkurang. Nggak ada lagi suara ketukan, nggak ada bisikan, nggak ada wajah pucat yang ngintip dari jendela. Aku mulai merasa lebih tenang, meskipun tetap nggak nyaman tinggal di sana.
Tapi malam itu, semuanya berubah lagi.
Aku baru pulang kerja, capek banget, dan langsung tidur tanpa sempat taruh sesajen. Tengah malam, aku kebangun karena dengar suara langkah kaki di lantai kamar. *Ceklek... ceklek...* Pelan, tapi jelas. Aku langsung melek. Sinar bulan dari jendela bikin kamar remang-remang. Dan di ujung kamar, aku melihat bayangan itu lagi. Tinggi, kurus, dengan kepala miring nggak wajar.
Tapi kali ini, dia nggak cuma berdiri diam. Perlahan, dia mendekat ke tempat aku tidur.
"Kenapa nggak bawa bunga? Aku lapar..." Suaranya pelan, serak, tapi terdengar jelas di ruangan itu.
Aku mau teriak, tapi suara nggak keluar. Mau lari, tapi badan aku nggak bisa gerak. Bayangan itu sekarang berdiri tepat di samping tempat tidur. Aku bisa lihat wajahnya: mata cekung, kulit pucat, dan senyum menyeramkan yang nggak akan pernah aku lupa.
Tiba-tiba, pintu kamar aku kebuka sendiri. Aku kira aku bakal selamat, tapi yang masuk adalah ibu kos.
"Oh, ternyata kamu yang bikin dia marah lagi," katanya dengan nada santai.
Aku cuma bisa melotot, bingung campur takut. "Bu... Bu... apa-apaan ini?" Aku akhirnya berhasil ngomong, meski suara gemetar.
Ibu kos cuma senyum tipis. "Kamu tau nggak, Nak, kenapa kos ini murah banget? Karena yang bayar bukan cuma manusia. Penghuni lama di sini juga butuh teman, biar nggak kesepian."
Aku langsung lemas. "Maksud Ibu, apa?"