Mohon tunggu...
Firmina Wenni
Firmina Wenni Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saat Sang Pelukis Menemukan Bintangnya

24 Maret 2017   19:17 Diperbarui: 24 Maret 2017   19:19 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     Tepuk tangan dan gemuruh para undangan bergema memenuhi seluruh isi gedung. Ratusan mata menjadi saksi. Puluhan juru potret tengah sibuk melaksanakan tugasnya mengabadikan setiap momen di hari bahagia itu, seakan tak mau kehilangan satu detik pun dari hari bahagia yang tak akan pernah terulang kembali di dalam hidupku. Kami semua berdiri tegak bak barisan tentara. Wajah kami memancarkan suasana hati yang penuh rasa bangga dan bahagia yang tak dapat terucapkan dengan kata-kata. Mataku berkaca-kaca seolah tak pernah percaya sang topi toga kini sudah tertancap di atas kepala yang menandakan berakhir sudah masa ku di dunia perguruan tinggi ini. Gelar doktor sudah berhasil ku genggam.

     Kutatap jauh kedepan, seorang yang wajahnya mulai keriput, rambut yang kian memutih melambai-lambaikan tangannya padaku. Di kejauhan, matanya terlihat berkaca-kaca dan air mata kebahagiaan yang mengalir di pipi melihat sang buah hati kini telah berhasil menyelesaikan sekolah dan bersiap untuk memperbaiki kehidupan keluarga di masa mendatang. Menatap matanya, membuatku kembali ke masa dimana aku tak pernah ingin melewati masa itu dan menghapusya dai hidupku.

“Rika, belajarnya jangan sampai larut malam ya, besok kamu harus bangun pagi” kata ibu padaku.

“Iya bu,” sahutku.

      Iya, aku memang sangat sering belajar hingga larut malam. Bahkan biasanya aku ketiduran di meja belajarku. Setiap malam, sesudah makan malam aku biasanya duduk di meja belajar yang menghadap keluar jendela, menatap langit gelap yang bertabur ratusan ribu bintang nan indah. Kulukiskan mimpi-mimpi indahku di sana, berharap aku bisa membawa ibu dan adikku terbang bersamaku. Di sanalah, harapan akan masa depan keluarga ku yang lebih baik dapat terwujudkan agar ibu tak lagi harus bekerja keras membanting tulang untuk kebutuhan keluarga kami.

     Ibuku bekerja sebagai buruh di salah satu pabrik tak jauh dari rumah. Ibu bekerja dari pagi hingga sore hari. Setiap kali aku ingin ikut dengannya untuk membantunya bekerja, ibu tak pernah memperbolehkanku. Andai saja sang pemeran utama pencari nafkah masih ada di sini bersama kami, mungkin nasib keluarga kami tak kan seperti ini. Ayah pergi sejak aku di semester akhir masa putih biruku. Itulah awal dari semua hal yang membuat kami harus lebih bekerja keras untuk sesuap nasi setiap harinya.

“Bu, Rika sama adik berangkat ya,”. Kataku pada ibu.

“Iya nak, tolong anterin ya adiknya sampai di sekolah. Kalian belajar sungguh-sungguh. Jangan malas di sekolah,” kata ibu.

“Iya bu, pamit ya,” jawab kami bersamaan.

Aku selalu berangkat sekolah lebih awal karena harus mengantar adikku terlebih dahulu. Jarak rumah dan sekolah pun cukup jauh. Aku biasanya naik angkot sekitar tigapuluh menit untuk sampai ke sekolah.

      Di sekolah, aku masuk di kelas unggulan. Untuk masuk sekolah ini pun sangat sulit bagiku. Saat akan pendaftaran masuk sekolah, keuangan keluarga sangat tidak mendukung. Ibu sedang tak punya uang untuk mendaftarkan ku ke sekolah pilihanku tersebut. Saat itu juga, aku berniat mencari uang tambahan untuk sedikit membantu ibu. Aku sangat bersyukur, karena saat pendaftaran aku masuk tiga nilai tes terbaik sehingga aku mendapat potongan biaya untuk pendaftaran.

****.

Selama masa putih abu-abuku, aku sangat jarang memiliki teman di sekolah. Aku lebih akrab bersama buku-buku di perpustakaan yang bisa mendengarkan apa pun yang aku ceritakan. Biasanya, aku juga mengobrol bersama penjaga perpustakaan, Bu Siti. Dia lah yang mengenalkan ku pada satu titik di masa depan yang mungkin bisa ku jadikan sebagai salah satu tujuan ku kelak. Ia juga menawarkanku berbagai referensi lomba yang mungkin bisa aku ikuti. Bu Siti juga yang memberikanku banyak motivasi agar aku tak mudah putus asa menggapai sang lukisan bintang kecil yang selama ini terlukis di langit malam yang kosong.

“Nak, ingatlah, hidup itu sama seperti shuttlecock, ia kerucut. Kita tak pernah tahu ke arah mana ia akan jatuh. Tak ada yang tidak mungkin. Siapa pun kamu, kamu pasti bisa selama kamu mengandalkan-Nya dan tak pernah putus asa.” Kata Bu Siti.

“Terimakasih ya bu, aku akan terus mencoba.”  Jawabku.

Kata-kata itu terus terekam dalam benakku. Hal itu yang membuatku terus tetap berdiri walau sekuat apapun ombak coba menjatuhkanku.

***

     Saat semester akhir ku tiba, aku sibuk dengan skripsi yang hampir membuatku terbangun sepanjang malam. Belum lagi biaya untuk semester akhir yang belum lunas olehku. Adikku yang masih duduk di bangku SMA pun juga membutuhkan biaya yang banyak. Pekerjaan paruh waktu sebagai pegawai di salah satu restoran di dekat kampus ku juga masih kurang cukup untuk melunasi semua biayanya.

“Rika, kenapa kamu terlambat lagi hari ini? Kau tidak tahu ini sudah jam berapa?” Tanya manager restoran padaku.

“Maaf pak, saya janji besok dan seterusnya saya tidak akan terlambat seperti ini lagi,” jawabku.

      Ia diam dan memberikan ku surat. Ternyata isinya adalah gaji ku dan surat pemecatan ku. Aku sangat bingung. Tak mungkin uang itu cukup dan lebih tak mungkin lagi jika aku hanya mengandalkan ibu untuk hal membayar uang kuliah ku. Aku pun pulang kerumah dengan wajah kecewa.

“Tuhan, cobaan apa lagi ini? Bukankah aku telah berusaha dan sering berdoa kepadamu? Apa itu belum cukup? Apa lagi yang akan kau lakukan kepada keluargaku ini?”kataku menggerutu dalam hati.

Perasaan kecewa dan sedih menghantuiku semalaman. Kuletakan tanganku di atas meja. Angin malam nan sejuk membawa jiwaku melayang ke dunia lain. Dunia yang membuatku bisa melakukan apapun dan aku bisa menjadi apapun yang ku mau.

      Saat bangun dari mimpiku semalam, aku bangun sedikit siang. Hari ini adalah hari minggu. Aku akan ke Gereja untuk beribadah. Mengikuti tata perayaan yang berlangsung hikmat. Ku selipkan doa dan harapan kecil ku di sana, berharap Tuhan mendengarkan doa sang gadis yang malang ini. Setelah pulang ibadah, perasaan ku mulai sedikit membaik. Aku pulang kerumah dengan perasaan lega.

Aku masuk ke kamar. Aku kaget melihat di atas meja belajarku terdapat uang yang sangat banyak jumlahnya. Uang itu cukup untuk melunasi biaya semester akhirku. Akhirnya, uang itupun aku bawa ke kampus untuk kuberikan kepada pengurus pembayaran semester yang kebetulan hari itu adalah hari terakhir pembayaran.

***

      Hari sudah larut malam. Aku tak bisa tidur. Tugas-tugas sudah ku kerjakan semua. Aku pun berniat untuk keluar kamar. Terlihat dari sedikit celah pintu kamar ibu, ibu sedang berdoa. Ku mendekat ke arah kamarnya.

“Tuhan, berikanlah kiranya kesabaran kepadaku untuk menghadapi cobaan ini. Hari ini, hari terakhirku bekerja di pabrik itu. Bantulah kiranya aku agar mendapatkan pekerjaan baru agar anak-anakku tak merasakan begitu banyak kepahitan hidup ini….”

“Ya Tuhan, maafkanlah aku…. Ibuku harus menanggung banyak beban karena ku...”kataku dalam hati.

      Mulai saat itu juga, aku mencoba untuk mencari pekerjaan, namun tak pernah berhasil. Kondisi keluarga semakin hari semakin memburuk. Sampai pada akhirnya, aku harus dihadapkan pada masalah baru. Adik kesayanganku masuk rumah sakit. penyakit yang sudah lama di deritanya kini menebarkan kembali pesona nya yang membuat adikku harus merasakan sakit yang amat sangat.

      Hal ini tentunya semakin memberatkan aku dan ibuku. Aku mencari pekerjaan di sekitar kampus. Namun, tak kutemukan tempat yang membutuhkan lowongan pekerjaan. Aku ingin membantu ibu mencari uang untuk kesembuhan adikku. Tak berbeda denganku, ibu juga sibuk mencari pekerjaan baru. Walaupun hanya sebagai kuli cuci di rumah tetangga, ibu tetap tekun. Ibu terlihat tak pernah mengeluh dengan kondisi ini. Tak jarang aku melihat ibu sedang berdoa memohon kondisi yang lebih baik untuk keluarga kami.

     Aku masuk kuliah di pagi hari. Setelah itu ku lanjutkan pencarian pekerjaan paruh waktuku. Saat menyusuri jalan menuju toko yang satu ke lainnya, aku melihat ada seorang ibu yang sudah cukup tua yang sedang berusaha menyeberangi jalan. Aku pun membantunya dengan memegang kedua tangannya dan berjalan ke seberang.

“Terimakasih nak, kau sungguh baik. Ambillah ini,” (sembari memberikan amplop kepadaku).

“Tidak bu, saya ikhlas,” tolakku.

Aku pun meninggalkan ibu itu dan pergi ke rumah sakit. Saat aku datang, ibu langsung memelukku.

“Nak, kita harus bersyukur dan mencari orang itu untuk berterimakasih padanya.”

“Siapa bu?” tanyaku dengan nada bingung.

“Ada seorang malaikat baik hati yang dikirim Tuhan untuk membantu kita. Dia telah membayar semua biaya rumah sakit adikmu.”

“HAA? Ibu tidak bercandakan?” tanyaku.

“Iya nak. Tadi suster bilang biaya pengobatan adik sudah terlunasi.”

“Syukurlah bu. Kiranya nanti jika aku bertemu dengan orang itu, aku akan sangat berterimakasih padanya.” Jawabku senang.

      Aku dan ibu duduk di sebelah adikku yang sedang terbaring lemah. Ibu terlihat lebih lega dari sebelumnya. Keheningan pun mulai terasa. Ibu tak seperti biasanya, ia diam. Ibu tak mengucapkan atau pun menanyakan apa pun padaku. Aku pun mencoba membuka pembicaraan.

“Bu, maafkan aku, harusnya aku bisa mendapat pekerjaan dan membantu biaya pengobatan adik serta biaya kuliahku…hiks…hikss…” kataku menyesal.

“Andai saja ayah masih ada di sini bersama kita. Kenapa ia pergi begitu cepat meninggalkan kita di sini yang sedang sangat kesusahan?” lanjutku.

Ibu langsung menoleh ke arahku. Ibu menatap mataku yang sedari tadi memerah menahan agar aku tak menangis. Namun, ibu tak bicara sepatah katapun. Ia hanya mengelus bahuku dan memelukku erat.

****

     “Rika, heii Rika!” teriak seseorang di samping ku.

“Sebentar lagi namamu dipanggil, jangan melamun saja kamu!” Katanya kesal.

eeh, iya maaf, terimakasih telah menyadarkanku ya,“ sahutku.

Chelsea Rika Octaviana”, suara sang pembawa acara memangil namaku.

Aku pun maju untuk bersiap memindahkan tassel ku dari yang tadinya kiri ke kanan. Ku langkah kan kaki dengan bangganya. Ribuan kamera tertuju padaku. Bahagia di hatiku tak terlukiskan lagi. Sang lukisan bintang kian mendekat padaku. Ayah, Ibu, terimakasih telah membantu melukiskan bintang untukku.

                                                                                                                                                                                                                                                                                     Karya : Firmina Wenni

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun