Mohon tunggu...
Firmina Wenni
Firmina Wenni Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saat Sang Pelukis Menemukan Bintangnya

24 Maret 2017   19:17 Diperbarui: 24 Maret 2017   19:19 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

****.

Selama masa putih abu-abuku, aku sangat jarang memiliki teman di sekolah. Aku lebih akrab bersama buku-buku di perpustakaan yang bisa mendengarkan apa pun yang aku ceritakan. Biasanya, aku juga mengobrol bersama penjaga perpustakaan, Bu Siti. Dia lah yang mengenalkan ku pada satu titik di masa depan yang mungkin bisa ku jadikan sebagai salah satu tujuan ku kelak. Ia juga menawarkanku berbagai referensi lomba yang mungkin bisa aku ikuti. Bu Siti juga yang memberikanku banyak motivasi agar aku tak mudah putus asa menggapai sang lukisan bintang kecil yang selama ini terlukis di langit malam yang kosong.

“Nak, ingatlah, hidup itu sama seperti shuttlecock, ia kerucut. Kita tak pernah tahu ke arah mana ia akan jatuh. Tak ada yang tidak mungkin. Siapa pun kamu, kamu pasti bisa selama kamu mengandalkan-Nya dan tak pernah putus asa.” Kata Bu Siti.

“Terimakasih ya bu, aku akan terus mencoba.”  Jawabku.

Kata-kata itu terus terekam dalam benakku. Hal itu yang membuatku terus tetap berdiri walau sekuat apapun ombak coba menjatuhkanku.

***

     Saat semester akhir ku tiba, aku sibuk dengan skripsi yang hampir membuatku terbangun sepanjang malam. Belum lagi biaya untuk semester akhir yang belum lunas olehku. Adikku yang masih duduk di bangku SMA pun juga membutuhkan biaya yang banyak. Pekerjaan paruh waktu sebagai pegawai di salah satu restoran di dekat kampus ku juga masih kurang cukup untuk melunasi semua biayanya.

“Rika, kenapa kamu terlambat lagi hari ini? Kau tidak tahu ini sudah jam berapa?” Tanya manager restoran padaku.

“Maaf pak, saya janji besok dan seterusnya saya tidak akan terlambat seperti ini lagi,” jawabku.

      Ia diam dan memberikan ku surat. Ternyata isinya adalah gaji ku dan surat pemecatan ku. Aku sangat bingung. Tak mungkin uang itu cukup dan lebih tak mungkin lagi jika aku hanya mengandalkan ibu untuk hal membayar uang kuliah ku. Aku pun pulang kerumah dengan wajah kecewa.

“Tuhan, cobaan apa lagi ini? Bukankah aku telah berusaha dan sering berdoa kepadamu? Apa itu belum cukup? Apa lagi yang akan kau lakukan kepada keluargaku ini?”kataku menggerutu dalam hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun