c. Â Jiwa al-lawwamah
Secara bahasa, kata lawwamah terambil dari kata lama-yalumu-laumatan yang berarti menyesali, menyalahkan, dan mengecam. Sementara itu, yang dimaksud dengan jiwa al-lawwamah dalam psikologi tasawuf adalah jiwa yang menyadari bahwa perbuatannya salah, kemudian menyesali dan mengecam dirinya, tetapi kesadaran itu bersifat kondisional, tergantung keadaan dan stimulus yang diterimanya.Â
Jiwa lawwamah menggambarkan suasana kejiwaan orang-orang yang mengakui dirinya bersalah, tetapi pengakuan tersebut tidak mengubah kebiasaan berbuat maksiat yang sudah melekat pada dirinya.
Manusia yang berjiwa lawwamah ketika mendengarkan ceramah agama mungkin akan tersentuh hatinya sehingga muncul niat untuk tobat guna mengakhiri gaya hidupnya yang bergelimang dosa, tetapi sikap ini kandas ketika kembali kepada lingkungan kehidupannya yang busuk. Manusia seperti ini tidak bisa keluar dari kebiasaan buruk yang terorganisir secara sistematis dalam budaya hedonisme.Â
Dirinya terpenjara dalam konflik batin yang diciptakannya sendiri serta terus -menerus memperkuat penjara itu dengan menjaga soladaritas, keterpautan hati, dan kesetiaan terhadap jaringan persahabatan yang selama ini menjadi mitra dalam berbuat maksiat, jiwa al-lawwamah menimbulkan konflik batin berkepanjangan dalam kehidupannya antara kesadaran untuk tobat dan kesetiaan untuk tetap maksiat sehingga orang yang berjiwa lawwamah akan kehilangan peluang, kesempatan, dan kekuatan batin untuk keluar dari lingkaran maksiat dan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan diri menjadi pribadi mutma’innah.
Sementara itu, pada sisi lain, kita harus waspada dari kemungkinan jiwa kita mengalami fluktuasi, yaitu bergeser dari jiwa mutma’innah ke jiwa lawwamah atau degradasi menuju jiwa ammarah.Â
Masalahnya adalah bagaimana mempertahankan agar jiwa kita istikamah dalam suasana mutma’innah? Pada kondisi ini di butuhkan mujahadah, yaitu perjuangan menjadi pribadi istikamah dalam merawat jiwa mutma’innah, sebab jiwa mutma’innah itu tidak datang tiba-tiba, tetapi membutuhkan jihad al-nafs, yaitu perjuangan memerangi sifat-sifat buruk pada diri kita sendiri yang memengaruhi perasaan, penghayatan, sikap, dan persepsi kita tentang hidup dan kehidupan ini.
3.  Penyucian Jiwa Menurut Al-Qur’an
Orang beriman yang menyucikan jiwanya, menurut Al-Qur’an, adalah orang yang beruntung, sedangkan orang beriman yang mengotori jiwanya atau membiarkan jiwanya dalam keadaan kotor terus-menerus hingga akhir hayat adalah orang yang rugi. Hal ini tergambar dengan jelas pada (Q.S. Asy-Syams [91]: 9-10) yang sudah disebutkan sebelumnya.
Jiwa orang-orang beriman menjadi kotor dan bertambah kotor setiap kali mereka mengikuti langkah-langkah setan dalam hidup dan kehidupannya. Hal ini sebagaimana dinyatakan pada ayat Al-Qur’an berikut ini. (Q.S. An-Nur [24]: 21)
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa tazkiyat al-nafs atau menyucikan jiwa dari kotoran dosa besar yang pernah dilakukan manusia dengan tobat nasuha adalah solusi bagi manusia untuk mengakhiri hidup dengan jiwa bersih. Kebersihan seseorang dalam menyucikan jiwanya tergantung kepada kesungguhan, kejujuran, dan ketulusan.Â