Mohon tunggu...
Funy Febrianti
Funy Febrianti Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Analisis Intrinsik dan Ekstrinsik dalam Cerpen "Umi Kalsum"

22 Januari 2018   21:26 Diperbarui: 22 Januari 2018   22:02 5955
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

-Nab.............?

-Kau dengar, kau di panggil ibu?

Zainab berpaling lalu masuk ke rumah.Aku berpikir, kenapa aku mesti mencintai gadis yang tak mungkin kudapatkan?Tapi tiba-tiba pikiran itu lenyap manakala kudengar suara adzan memanggil-manggil dari langgar.

Oleh pengaruh agama dan adat kami yang kuat, jarang terjadi perhubungan antara laki-laki dan perempuan, dikampungku, kalau di antaranya bukan keluarga sendiri atau yang sudah dekat dan diketahui oleh orang tua masing-masing, seperti halku dengan Zainab.Sekalipun yang demikian itu tak pernah dilarang, mereka dengan sendirinya takut karena hal itu perbuatan dosa.Janganpun berhubungan, melihat dengan menimbulkan rasa dan nafsupun dilarang oleh agama.Perhubungan kami terbatas sapa-menyapa saja.Lebih dari itu, tidak.Kalau seorang laki-laki senang pada seorang gadis maka orang tua laki-laki itu harus mengajukan lamaran kepada orang tua gadis itu, dan perkawinan dilakukan kalau sudah sama-sama sutuju.Tapi karena masyarakat kedungpring merupakan keluarga besar, maka kejanggalan itu tak terasa benar.Antara kami selalu hormat menghormati.

Pada suatu malam sesudah lepas pengajian di langgar, kami para santri yang akan pulang ada kalanya berbarengan dengan santri-santri perempuan. Kami bercampur.Tapi malam itu Zainab tak tampak olehku.

Di antara beberapa gadis yang menuju tikungan jalan kedungpringkulihat Umi dan kakaknya berjalan. Tinggal ia berdua lagi, karena rumahnya jauh sedikit ke ketapang. Diam-diam aku mengikuti mereka dari belakang. O, aku ingin benar bercakap-cakap sebentar dengan dia, malamini. Begitu ayunya sebab bulan mengembang di atas kepalanya. Sesudah beberapa lama kami berjalan dan ketika akan membelok tikungan lain, Umi menoleh ke belakang. Keduanya menoleh, lalu kami senyum.Keduanya berhenti dan aku menghampiri mereka.

-Assalamualaikum, kutegur sopan.

-Waalaikumssalam, jawab keduanya.

Kemudian sunyi lagi dan kami diam-diam tegak di tengah jalan itu dengan risaunya. Kurasa kerongkonganku, buntu! Kedua gadis itu tunduk malu-malu.Tapi sebelum aku memulai, berkatalah Umi. Katanya lembut:

-Kau dulu sudah terima suratku,bukan?

-Sudah, Umi. Tapi mari kita bicara sambil jalan. Kami berjalan dan kulihatLatifah yang menepikan jalannya itu lalu kuhampiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun