Mohon tunggu...
Fulan Adi Nugraha
Fulan Adi Nugraha Mohon Tunggu... Ilmuwan - Hukum

Berpikirlah sebelum orang lain berpikir, lakukanlah sebelum orang lain lakukan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Analisis Pemanfaatan GSO untuk Kepentingan Negara Berkembang

10 Mei 2020   09:37 Diperbarui: 10 Mei 2020   09:44 2183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berkaitan dengan ruang angkasa, secara hukum internasional, penggunaan ruang angkasa sudah diatur sejak tahun 1967. Pengaturan tersebut merupakan suatu ketentuan dasar mengenai kegiatan eksploitasi dan eksplorasi yang tertuang dalam Outer Space Treaty 1967.[1] Hal ini  erjutuan agar tidak terjadi monopoli dan penggunaan secara tidak terkontrol sehingga berdampak buruk baik bagi negara lain maupun dunia secara keseluruhan. 

Tujuan pembentukan traktat ini adalah untuk mendorong kemajuan kegiatan eksplorasi dan pendayagunaan antariksa untuk maksud damai,[2] meningkatkan upaya eksplorasi dan penggunaan antariksa untuk kemanfaatan semua bangsa tanpa memandang tingkat perkembangan ekonomi atau ilmu pengetahuan, memperluas kerja sama internasional, baik dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi maupun aspek hukum, khususnya yang berkaitan dengan kegiatan eksplorasi serta penggunaan antariksa untuk maksud damai. 

Dan berkaitan dengan tanjung jawab internasional Negara atas kegiatan nasionalnya di antariksa diatur lebih jauh dalam Liability Convention 1972[3] yang merupakan penjabaran dari prinsip yang terkandung dalam pasal VI dan VII Outer Space Treaty.  

Orbit Geostasioner merupakan orbit geosinkron, yaitu orbit satelit yang periode putarannya sama dengan rotasi bumi pada sumbunya.[4] Sehingga sebuah satelit yang ditempatkan di GSO akan selalu tetap kedudukannya terhadap perbukaan bumi, sehingga antenna penangkap di bumi tidak perlu dirubah posisinya. Indonesia yang merupakan negara khatulistiwa terpanjang, secara geografis memiliki wilayah berada tepat dibawah kawasan GSO. 

Mengingat kondisi geografis tersebut dan juga mengingat manfaat GSO sebagai suatu fenomena alam yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat bagi satelit untuk kepentingan bangsa Indonesia, maka pemanfaatan wilayah GSO sebagai orbit satelit oleh negara Indonesia harus dapat terjamin. 

Indonesia merupakan wilayah di bawah lintas GSO terpanjang, yaitu 13 persen dari total rentang orbit. Orbit Geostasioaer (GSO) merupakan suatu jalur orbit di atas padang khatulistiwa pada jarak ketinggian 35.871 km dari permukaan bumi dimana sebuah benda misalnya satelit yang ditempatkan di orbit sirkuler tadi memiliki waktu putaran yang sama dengan waktu rotasi bumi dan bergerak searah dengan bumi.  

Kepala Pusat Teknologi Satelit, Abdul Rahman, mengatakan saat ini Indonesia hanya memiliki tujuh slot orbit GSO dan tiga slot orbit non-GSO. Bahwa slot orbit merupakan sumber daya yang terbatas. Untuk mendapatkan slot orbit tersebut diperlukan koordinasi jaringan satelit yang merupakan kewajiban dari pemilik atau operator satelit.[5] 

Berdasarkan hasil kesepakatan Nasional mengenai posisi dasar Indonesia mengenai lintas orbit GSO telah ditetapkan pada sidang paripurna kedua Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional RI (Depanri) pada 10 Desember 1998. 

Sidang tersebut memandang bahwa lintas orbit GSO merupakan bagian dari antariksa dan perlu diatur dengan hukum khusus yang substansinya tidak bertentangan dengan Space Treaty 1967. 

Hukum ini juga tetap memperhatikan kepentingan negara-negara, terutama negara berkembang dan negara dengan letak geografi khusus seperti negara khatulistiwa. Beberapa aturan mengenai Konvensi Internasional yang mengatur soal ruang angkasa (antariksa) yaitu :

1. The Outer Space Treaty 1967 

Bahwa mensyaratkan tujuan damai dalam penggunaan ruang angkasa.

2. The Liability Convention 1972

Bahwa pengaturan mengenai subjek hukum yang harus bertanggungjawab manakala dalam peluncuran suatu satelit mengalami kegagalan yang menimbulkan kerugian. Secara khusus untuk mengetahui siapa yang bertanggungjawab

3. The Registration Convention 1976 

Harus jelas siapa atau negara mana yang terdaftar atas satelit tersebut.

4. The Registration Convention 1976 

Harus jelas siapa atau negara mana yang terdaftar atas satelit tersebut.

5. The Rescue Agreement 1968 

yang mengatur keharusan dikembalikannya suatu satelit kepada negara pemiliknya tatkala satelit tersebut kembali ke permukaan bumi.

6. The Moon Agreement 1979 

yang mengatur perihal kepentingan umat manusia di bulan. Indonesia telah meratifikasi semua konvensi Internasional soal ruang angkasa tersebut kecuali The Moon Agreement.

Adapun peraturan perundang-undangan keantariksaan dan aturan pelaksana yang ada di Indonesia sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi

Undang-undang tersebut memuat secara umum tentang telekomunikasi baik itu terhadap pembinaannya, penyelenggaraan dan perizinannya maupun perangkat telekomunikasi yang dipergunakan. 

Dalam Undang-undang tersebut, ketentuan mengenai Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapatkan izin Pemerintah, harus sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling mengganggu serta Pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit.  

Selanjutnya, dalam penjelasan Ayat 1 dimuat tentang Pemberian izin penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit didasarkan kepada ketersediaan spektrum frekuensi radio yang dialokasikan untuk keperluan penyelenggaraan telekomunikasi termasuk siaran sesuai peruntukannya. Tabel alokasi frekuensi radio disebarluaskan dan dapat diketahui oleh masyarakat secara transparan. 

Apabila ketersediaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit tidak memenuhi permintaan atau kebutuhan penyelenggaraan telekomunikasi, maka perolehan izinnya antara lain dimungkinkan melalui mekanisme pelelangan. Sedangkan Ayat 2 dalam penjelasan yang sama menyebutkan bahwa Frekuensi radio adalah jumlah getaran elektromagnetik untuk satu periode, sedangkan spektrum frekuensi radio adalah kumpulan frekuensi radio. 

2. Undang--Undang Nomor 16 Tahun 2002 tentang pengesahan Treaty on Principle Governing the Activities of States in the Exploration and Use outer Spafe, Including the Moon and Other Celestial Bodies, 1967 (Traktat mengenai Prinsip-Prinsip yang Mengatur Kegiatan Negara-Negara dalam Eksplorasi dan Penggunaan Antariksa, termasuk Bulan dan Benda-Benda Langit Lainnya, 1967).

Berdasarkan UU perjanjian internasional tersebut, termuat dalam pasal 1 dinyatakan bahwa pengesahan berarti perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval). 

Sehingga dengan demikian Indonesia terikat dalam perjanjian tersebut secara hukum untuk mengikuti ketentuan yang ada di dalam traktat tersebut. Di dalam pertimbangannya, dikatakan bahwa Indonesia memahami kedudukan Traktat Antariksa, 1967 sebagai induk perjanjian keantariksaan lainnya, yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta sejalan dengan Konsepsi Kedirgantaraan Nasional untuk memantapkan dukungan bagi kepastian hukum, baik secara nasional maupun internasional.[6]

 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan

 Undang-Undang ini merupakan langkah maju pemerintah dalam mengantisipasi perkembangan penggunaan ruang angkasa atau antariksa yang semakin hari semakin maju teknologinya. Hal ini juga didasari posisi Indonesia yang strategis dari posisi geografis wilayahnya yang terbentang di garis khatulistiwa dan terletak di antara dua benua dan dua samudra. 

Sehingga memiliki ketergantungan dalam pemanfaatan teknologi Keantariksaan dan sekaligus keunggulan komparatif yang berbasis ilmu dan teknologi bagi kemajuan peradaban serta kesejahteraan manusia Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya. Dalam Pasal 2 memuat tujuannya yaitu :

 a. Mewujudkan kemandirian dan meningkatkan daya saing bangsa dan negara dalam penyelenggaraan keantariksaan 

b. Mengoptimalkan Penyelenggaraan Keantariksaan untuk kesejahteraan rakyat dan produktivitas bangsa 

c. Menjamin keberlanjutan Penyelenggaraan Keantariksaan untuk kepentingan generasi masa kini dan generasi  masa depan 

d. Memberikan landasan dan kepastian hukum dalam Penyelenggaraan Keantariksaan 

e. Mewujudkan Keselamatan dan Keamanan Penyelenggaraan Keantariksaan 

f. Melindungi negara dan warga negaranya dari dampak negatif yang ditimbulkan dalam Penyelenggaraan Keantariksaan 

g. Mengoptimalkan penerapan perjanjian internasional Keantariksaan demi kepentingan nasional 

h. Mewujudkan Penyelenggaraan Keantariksaan yang menjadi komponen pendukung pertahanan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 Selanjutnya juga dalam UU tersebut dalam Pasal 3 menyatakan bahwa:

 a. Antariksa merupakan wilayah bersama yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan semua negara.

 b. Antariksa bebas untuk dieksplorasi dan digunakan oleh semua negara tanpa diskriminasi, berdasarkan asas persamaan, dan sesuai dengan hukum internasional.

 Istilah ruang angkasa dalam UU ini tidak diberlakukan melainkan antariksa. Hal ini untuk membakukan bahasa Indonesia sehingga memudahkan dalam melakukan pemahaman.

 Antariksa sendiri berdasarkan UU tersebut dalam pertimbangannya merupakan ruang beserta isinya yang terdapat di luar Ruang Udara yang mengelilingi dan melingkupi Ruang Udara serta merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang dipergunakan untuk sebesar - besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam uud 1945. 

Sedangkan ruang udara adalah ruang yang mengelilingi dan melingkupi seluruh permukaan bumi yang mengandung udara yang bersifat gas. Pemanfaatan keantariksaan, yang berarti adalah segala sesuatu tentang Antariksa dan yang berkaitan dengan eksplorasi dan pendayagunaan Antariksa harus diatur sedemikian rupa.

 Beberapa hal penting yang perlu diketahui dalam kaitannya dengan satelit terutama satelit komunikasi yang di dalam UU ini disebut wahana antariksa karena merupakan benda buatan manusia yang terkait dengan Keantariksaan dan bagian-bagiannya adalah kegiatannya, penyelenggaraannya dan pendaftarannya. 

Kegiatan keantariksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan, kepentingan nasional, keamanan dan Keselamatan, Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Sumber daya manusia Keantariksaan yang profesional, Manfaat, efektivitas, dan efisiensi, Keandalan sarana dan prasarana Keantariksaan, Pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan lingkungan Antariksaan dan ketentuan peraturan perundang-undangan nasional dan perjanjian internasional yang Indonesia menjadi negara pihak.

 4. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata cara penyelenggaraan kegiatan penginderaan Jauh 

Peraturan ini merupakan aturan pelaksana mengenai Undang-undang No. 21 Tahun 13 tentang Antariksa, didalam aturan ini Penginderaan Jauh adalah penginderaan permukaan bumi dari dirgantara dengan memanfaatkan sifat gelombang elektromagnetik yang dipancarkan, dipantulkan, atau dihamburkan oleh objek yang diindera. 

Dalam hal penginderaan ini peran serta masyarakat umum dilibatkan tertuang pada pasal 55 yaitu Dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan Keantariksaan secara optimal, masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam kegiatan penginderaan Jauh.

Berkaitan dengan Delegasi Indonesia dalam pernyataan nasional disampaikan Wakil Kepala Perwakilan RI di Wina, Witjaksono Adji pada Sesi ke-58 Sub Komite Hukum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Penggunaan Damai dari Luar Angkasa (UNCOPUOS-United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space) di Wina, Austria, menegaskan masalah pengaturan Geostationary Orbit (GSO) untuk kepentingan negara berkembang. 

Tentu menjadi hal positif dalam perkembangan dan peran serta Indonesia dalam kancah internasional terutama eksistensi terhadap GSO. Melihat pernyataan mengenai artikel diatas maka saya akan membagi kedalam beberapa issue yang diangkat dalam pertemuan tersebut yaitu:

A. Prinsip eksplorasi GSO dapat memberi manfaat bagi banyak pihak, termasuk negara berkembang

Lintas GSO merupakan bagian dari antariksa merupakan sumber daya alam yang terbatas, dan memiliki nilai strategis dan ekonomis. Posisi geografis wilayah Indonesia terbentang di sekitar garis khatulistiwa serta terletak di antara dua benua dan dua samudra. 

Posisi tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki ketergantungan dalam pemanfaatan teknologi Keantariksaan dan sekaligus memiliki keunggulan komparatif dalam Penyelenggaraan Keantariksaan. 

Kondisi ini menyebabkan banyak negara yang ingin memanfaatkan potensi wilayah Indonesia melalui kerja sama internasional yang saling menguntungkan. Pada UU No. 21 Tahun 2013 pasal 1 Ayat 4 menyebutkan Penyelenggaraan Keantariksaan adalah setiap kegiatan eksplorasi dan pemanfaatan Antariksa yang dilakukan, baik di dan dari bumi, Ruang Udara, maupun Antariksa.

Beberapa manfaat dari penginderaan jauh yaitu melalui remote sensing, suatu satelit dapat memfoto permukaan bumi menggunakan sensor, sehingga dapat diketahui misalnya jika terdapat kandungan mineral dan sebagainya pada titik bumi tertentu. 

Tidak hanya itu, satelit ini juga dapat memonitor pergerakan-pergerakan strategis suatu negara, seperti pergerakan militer misalnya, bisa dibayangkan jika slot GSO diatas Indonesia dikuasai asing yang memiliki kemampuan itu dengan niat tidak baik, maka suatu kedaulatan negara sangat terganggu bagaimana fungsi suatu satelit dapat memperlemah pertahanan negara. Walapun sudah termaktub didalam Penggunaan Antariksa untuk tujuan damai/Legal Sub Committee of the United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (LSC-UNCOPUOS), tetapi kita perlu berhati-hati dengan hal tersebut.

Beberapa hal diatur dalam deklarasi Bogota beserta alasan dari negara-negara kolong melakukan klaim atas GSO sebagai bagian dari wilayah kedaulatan mereka, namun upaya untuk memperoleh hak berdaulat diforum internasional khususnya di United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (UNCOPUOS) selalu mendapatkan tantangan dari negara maju yang memiliki banyak satelit dengan mendasarkan pada prinsip yang terdapat dalam Space Treaty 1967.[7] 

Adapun dalam fungsi mitigasi bencana, satelit ini juga mampu mendeteksi potensi bencana. Seperti jika terdeteksi akan munculnya badai, kebakaran hutan, kondisi banjir, naiknya permukaan air laut, tekstur tanah, fluktuasi gunung api dan lainnya, maka akan langsung termonitor dan segera dapat disampaikan ke stakeholder terkait untuk diambil tindakan memitigasi resiko yang mungkin terjadi akibat bencana alam tersebut.

B. Indonesia menginginkan agar negara-negara di dunia membahas penggunaan GSO dengan memperhatikan prinsip rasional, efisien, ekonomis, dan adil

 Rasionalitas ekonomi dalam pemanfaatan GSO sangat penting terutama dalam pengambil keputusan dalam pembuatan kebijakan menimbang besarnya biaya yang di keluarkan dengan manfaat yang di dapatkan sebagai efisiensi dari penggunaan sumbar daya yang dimiliki. Semakin besar manfaat kebijakan dan semakin sedikit biaya, semakin besar kemungkinan kebijakan akan dipilih. 

Prof. Supancana menekankan aspek ketidakadilan dalam praktik-praktik GSO. Aspek ketidakadilan ini, menurut Prof. Makarim, merupakan hal yang layak untuk diprioritaskan, mengingat sejarah panjang pembahasan isu ini yang mendesak komunitas internasional untuk segera menghadirkan solusi pengaturan GSO yang betul-betul adil. 

Prof. Makarim menekankan hal ini dengan menyatakan bahwa untuk mencapai kesuksesan dalam upaya diplomasi multilateral, perlu menghindari penyampaian agenda yang belum pernah mendapatkan perhatian masyarakat internasional secara umum.[8] Pembuat kebijakan melakukan hal sebagai berikut:

 1. Negara pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu yang dapat dibedakan dari masalah-masalah lain atau setidaknya dinilai sebagai masalah-masalah yang dapat diperbandingkan satu sama lain.

 2. Tujuan-tujuan, nilai-nilai, atau sasaran yang berpedoman pada standar pembuat keputusan amat jelas dan dapat ditetapkan prioritas kepentingan negara pemilik GSO.

 3. Akibat-akibat (biaya dan manfaat) yang ditimbulkan dalam pengelolaan GSO oleh setiap altenatif yang dipilih.

 4. Adil dalam hal ini negara berkembang selalu menjadi negara yang sangat sulit dalam ekspolorasi GSO karena beberap hal sehingga bagi negara berkembang yang mampu mengelola lintas GSO selalu mengutamakan kepentingan bersama.

Terhadap Negara Indonesia eksplorasi dan pendayagunaan Antariksa mutlak memerlukan ilmu pengetahuan dan teknologi Keantariksaan yang bersifat teknologi canggih (high technology), berbiaya tinggi (high cost), berisiko tinggi (high risk), serta dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan, pertahanan, dan keamanan.

Sistem Keantariksaan yang terdiri atas teknologi ruas bumi, ruas Antariksa, dan ruas pengguna juga menuntut keterpaduan dalam penelitian, pengembangan, dan pemanfaatannya. Kondisi inilah yang menyebabkan bahwa setiap negara bertanggung jawab secara internasional terhadap setiap kegiatan Keantariksaan nasionalnya, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun nonpemerintah (badan hukum dan perseorangan.[9] 

Selanjutnya dikatakan bahwa setiap negara memperoleh bagian yang adil dan dapat mempergunakan secara wajar (equitable access) tanpa perbedaan apapun juga, (4). Batasan Geostationer Orbit dalam Penjelasan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2002 dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002. 

Undang- Undang Nomor 16 tahun 2002 tentang Pengesahan Treaty on Principles Governing The Activities of State In Exploration And Use of Outer Space, Including The Moon and Other Celestial Bodies, 1967 (Traktat Mengenai Prinsip- Prinsip Yang Mengatur Kegiatan Negara- Negara Dalam Eksplorasi Dan Penggunaan Antariksa, Termasuk Bulan Dan Benda- Benda Langit Lainnya, 1967) ruang angkasa dan ruang udara tercakup dalam pengertian dirgantara. 

Dirgantara dalam penjelasan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2002 merupakan ruang di atas permukaan bumi beserta benda alam yang terdapat didalamnya, dan berawal dari ruang udara hingga mencakup antariksa yang meninggi dan meluas tanpa batas.[10] 

C. Indonesia akan memberi peran peningkatan keantariksaan Indonesia di masa depan

 Sampai saat ini upaya tindak lanjut perumusan posisi dasar Indonesia terkait sui generis regime tersebut telah menghasilkan identifikasi pokok-pokok materi, di mana sui generis regime dimaksud antara lain memuat prinsip equitable access, freedom of use, non-appropriation, dan exclusively for peaceful purposes.

Prinsip equitable access dapat dimaknai juga sebagai proportional access yang berarti akses bagi negara-negara terhadap slot orbit GSO harus mempertimbangkan actual needs negara tersebut, sehingga lebih mencerminkan keadilan bagi negara negara berkembang dan negara khatulistiwa khususnya.[11]

 Penyelesaian masalah regulasi pemanfaatan GSO ini perlu diarahkan untuk menjawab permasalahan pemenuhan kebutuhan nasional. Kebutuhan satelit telekomunikasi nasional yang terpenuhi oleh kapasitas nasional sudah mencapai 70% untuk kategori FSS (Fixed Service Satellite), di mana 30% sisanya dipenuhi oleh satelit-satelit asing. Untuk kategori MSS (Mobile Service Satellite), Indonesia masih bergantung sepenuhnya pada satelit-satelit asing. Namun, kebutuhan satelit telekomunikasi nasional akan semakin meningkat dalam beberapa tahun ke depan.[12] 

Isu GSO tidak hanya dibahas di sidang-sidang COPUOS, tetapi juga di World Radiocommunication Conferences (WRC). Sehingga, peran KOMINFO sebagai institusi penjuru di ITU merupakan faktor yang krusial dalam perjuangan sui generis regime GSO. Sinkronisasi posisi Indonesia baik di COPUOS maupun di ITU harus terus diupayakan, terutama melalui penguatan koodinasi antara LAPAN dan KOMINFO.[13]

 Sebagai langkah konkret, dalam rangka memperkuat perjuangan Indonesia di sidang-sidang UNCOPUOS di tahun-tahun mendatang, Tim Kajian GSO telah menyusun draft non working paper yang memuat rumusan sui generis regime untuk disampaikan di persidangan COPUOS pada tahun 2020. 

Bahwa perjuangan Indonesia dalam mewujudkan pengaturan pemanfaatan GSO melalui hukum khusus merupakan suatu kesepakatan nasional yang mewakili seluruh stakeholder. Oleh sebab itu, upaya diplomasi antariksa (space diplomacy) tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan dan sejalan.

D. Dimanfaatkan delegasi dari Indonesia untuk mempromosikan PP No. 11/2018 yang mengatur implementasi tata cara pengaturan penginderaan jauh, sebagai aturan implementasi dari UU No.21/2013 mengenai antariksa 

 Bahwa kegiatan penginderaan jauh di Indonesia dimulai pada tahun 1987, sebagai kegiatan riset penggunaan data satelit Landsat. Kegiatan tersebut saat ini telah berkembang menjadi kegiatan operasional penginderaan jauh berbasis satelit, dimana terdapat 34 Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah yang dilayani dengan data dari satelit milik Eropa dan Amerika yang disewa LAPAN. 

Di tahun 2018, Indonesia telah mensahkan PP No. 11 tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kegiatan Penginderaan Jauh, yang mengatur kegiatan tersebut, yang meliputi perolehan data, pengolahan data, penyimpanan dan pendistribusian data serta pemanfaatan data dan diseminasi informasi penginderaan jauh.[14] Bahwa dalam pertemuan tersebut Indonesia menekankan bahwa negara memiliki aturan secara khusus dalam pengelolaan penginderaan jauh.

 Daftar Pustaka

 Buku

 Supancana I.B, "Aspek Regulasi dalam Pemanfaatan Orbit Khususnya Orbit Geostasioner dan Kaitannya dengan Kepentingan Indonesia," Bandung, 1994

Peraturan Perundang-undangan

 Indonesia, Undang-Undang Tentang Telekomunikasi, UU No. 36 Tahun 1999, LN No. 11, TLN No. 3391

 Indonesia, Undang--Undang Pengesahan Treaty on Principles Governing The Activities of States In The Exploration And Use of Outer Space, Including The Moon and Other Celestial Bodies, 1967 (Traktat Mengenai Prinsip-Prinsip yang Mengatur Kegiatan Negara-Negara Dalam Eksplorasi dan Penggunaan Antariksa, Termasuk Bulan dan Benda-Benda Langit Lainnya, 1967, UU No. 16 Tahun 2002, LN 34, TLN 4195

 Indonesia, Undang-Undang tentang Keantariksaan, UU No. 21 Tahun 2013, LN No. 133 Tahun 2013, TLN No. 5435

 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Tata cara penyelenggaraan kegiatan penginderaan Jauh, PP No. 11 Tahun 2018

 Indonesia, Keputusan Presiden tentang Pengesahan Convention on International Liability for Damage Caused by Space Object, 1972, KEPRES No. 20 Tahun 1996

 Dokumen Internasional

 Liability Convention 1972

Outer Space Treaty 1967

The Registration Convention 1976

The Rescue Agreement 1968

The Moon Agreement 1979

 Internet

Cholifah Damayanti, Robertus Heru Triharjanto, "Dalam Partisipasi Pusat KKPA LAPAN pada Space Policy Practitioners Workshop APRSAF Ke-26 di Nagoya Jepang," diakses pada 14 Desember 2019

Deden, FGD Tentang GSO, diakses pada 14 Desember 2019

Harry P Haryono, "Wilayah Udara Indonesia: Sudahkah kita memanfaatkan dan menjaganya," Indonesia jurnal of International law,  6 (4 Juli 2009) diakses 14 November 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun