Sampai saat ini upaya tindak lanjut perumusan posisi dasar Indonesia terkait sui generis regime tersebut telah menghasilkan identifikasi pokok-pokok materi, di mana sui generis regime dimaksud antara lain memuat prinsip equitable access, freedom of use, non-appropriation, dan exclusively for peaceful purposes.
Prinsip equitable access dapat dimaknai juga sebagai proportional access yang berarti akses bagi negara-negara terhadap slot orbit GSO harus mempertimbangkan actual needs negara tersebut, sehingga lebih mencerminkan keadilan bagi negara negara berkembang dan negara khatulistiwa khususnya.[11]
 Penyelesaian masalah regulasi pemanfaatan GSO ini perlu diarahkan untuk menjawab permasalahan pemenuhan kebutuhan nasional. Kebutuhan satelit telekomunikasi nasional yang terpenuhi oleh kapasitas nasional sudah mencapai 70% untuk kategori FSS (Fixed Service Satellite), di mana 30% sisanya dipenuhi oleh satelit-satelit asing. Untuk kategori MSS (Mobile Service Satellite), Indonesia masih bergantung sepenuhnya pada satelit-satelit asing. Namun, kebutuhan satelit telekomunikasi nasional akan semakin meningkat dalam beberapa tahun ke depan.[12]Â
Isu GSO tidak hanya dibahas di sidang-sidang COPUOS, tetapi juga di World Radiocommunication Conferences (WRC). Sehingga, peran KOMINFO sebagai institusi penjuru di ITU merupakan faktor yang krusial dalam perjuangan sui generis regime GSO. Sinkronisasi posisi Indonesia baik di COPUOS maupun di ITU harus terus diupayakan, terutama melalui penguatan koodinasi antara LAPAN dan KOMINFO.[13]
 Sebagai langkah konkret, dalam rangka memperkuat perjuangan Indonesia di sidang-sidang UNCOPUOS di tahun-tahun mendatang, Tim Kajian GSO telah menyusun draft non working paper yang memuat rumusan sui generis regime untuk disampaikan di persidangan COPUOS pada tahun 2020.Â
Bahwa perjuangan Indonesia dalam mewujudkan pengaturan pemanfaatan GSO melalui hukum khusus merupakan suatu kesepakatan nasional yang mewakili seluruh stakeholder. Oleh sebab itu, upaya diplomasi antariksa (space diplomacy) tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan dan sejalan.
D. Dimanfaatkan delegasi dari Indonesia untuk mempromosikan PP No. 11/2018 yang mengatur implementasi tata cara pengaturan penginderaan jauh, sebagai aturan implementasi dari UU No.21/2013 mengenai antariksaÂ
 Bahwa kegiatan penginderaan jauh di Indonesia dimulai pada tahun 1987, sebagai kegiatan riset penggunaan data satelit Landsat. Kegiatan tersebut saat ini telah berkembang menjadi kegiatan operasional penginderaan jauh berbasis satelit, dimana terdapat 34 Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah yang dilayani dengan data dari satelit milik Eropa dan Amerika yang disewa LAPAN.Â
Di tahun 2018, Indonesia telah mensahkan PP No. 11 tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kegiatan Penginderaan Jauh, yang mengatur kegiatan tersebut, yang meliputi perolehan data, pengolahan data, penyimpanan dan pendistribusian data serta pemanfaatan data dan diseminasi informasi penginderaan jauh.[14] Bahwa dalam pertemuan tersebut Indonesia menekankan bahwa negara memiliki aturan secara khusus dalam pengelolaan penginderaan jauh.
 Daftar Pustaka
 Buku