Mohon tunggu...
Firdaus Tanjung
Firdaus Tanjung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Memberi dan mengayuh dalam lingkar rantai kata

"Apabila tidak bisa berbuat baik - Jangan pernah berbuat salah" || Love for All - Hatred for None || E-mail; firdaustanjung99@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

[Bagian 1] Catatan Perjalanan Seorang Relawan Pasca Gempa dan Tsunami Aceh

26 Desember 2021   00:05 Diperbarui: 30 Desember 2021   09:00 1544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lokasi Makorem 012 Ujung Karang, Meulaboh yang rata tanah akibat gempa dan tsunami (26/12/2004). Hanya meninggalkan satu gedung yang masih kokoh.

Tidak terasa, sudah 17 tahun peristiwa kejadian bencana alam dahsyat berupa gempa dan tsunami yang melanda Aceh dan Nias pada 26 Desember 2004 yang lalu. 

Sebelum meneruskan tulisan ini, mari kita panjatkan doa kepada para korban gempa dan tsunami Aceh semoga mereka mendapatkan tempat yang terbaik di sisi-Nya, Aamiin. 

Di sini, penulis tergerak untuk membagikan sedikit cerita pengalaman saat menjadi relawan di Aceh, tepatnya di Meulaboh. Kenapa penulis harus ikut menjadi relawan untuk korban Gempa dan Tsunami Aceh 2004 lalu? 

Ini pertanyaan sederhana yang dilontarkan teman, saat penulis menjelang berangkat ke Bumi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Ia menanggapi karena untuk ikut sebagai relawan ketika itu agak sulit. Ada beberapa tahap untuk bisa lolos seperti, pengalaman rescue, wawasan SAR (search and rescue), kesehatan, fisik dan mental.

Selain itu yang tak kalah pentingnya adalah, surat izin dari orang tua jika masih single, rekomendasi dari organisasi dan termasuk dari kelurahan atau kepala desa.

Tulisan ini mengisahkan para relawan yang kala itu di dominasi mahasiswa dari Unand (Universitas Andalas). Baik itu dari Mapala Kampus, Mapala Fakultas, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) lainnya serta masyarakat umum dan kelompok pencinta alam (KPA) yang ada di Kota Padang.

Semua kelompok itu dijadikan satu atas nama Relawan Kota Padang (RKP). Penulis sendiri berangkat sebagai masyarakat umum, meski status masih mahasiswa jg. 

Agar dapat berangkat, penulis meminta rekomendasi dari Kelurahan dan komunitas jemaah masjid.

Sebagaimana kita ketahui bersama, tidak ada yang akan menyangka kejadian bencana dahsyat menjelang penghujung tahun 2004 (26 Desember 2004) atau awal milenium. Baik oleh masyarakat Aceh sendiri maupun masyarakat daerah lainnya. Bahkan negara asing pun juga tidak pernah mengira peristiwa dahsyat ini bakal terjadi di ujung Pulau Sumatera.

Pergerakkan lempeng bumi ini di luar prediksi para pakar geologi dunia. Gempa terjadi pada Minggu pagi sekitar pukul 07.55 WIB, 26 Desember 2004.

Gempa berkekuatan 8,9 SR dengan kedalaman 30 km. Gempa ini digolongkan gempa dangkal. 

Gempa yang disertai Tsunami inilah yang meluluhlantakkan Bumi Aceh, Nias dan pesisir lainnya.

Selain memporak-porandakan Aceh dan Nias, efek gelombang tsunami juga menerjang ke negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Myanmar, Singapura, India bahkan sampai ke Afrika Timur.

Beberapa lokasi yang hancur oleh gempa dan tsunami pada Minggu pagi (26/12/2004). Lokasi Ujung Kalak, Meulaboh.
Beberapa lokasi yang hancur oleh gempa dan tsunami pada Minggu pagi (26/12/2004). Lokasi Ujung Kalak, Meulaboh.

Adapun korban sekitar 220 ribu jiwa, belum termasuk yang hilang. Kerugian material mencapai trilyunan rupiah.

Sarana dan prasarana lumpuh total. Boleh dikatakan Aceh menjadi kawasan mati pasca gempa dan tsunami.

Warga yang selamat tidak bisa berbuat banyak selain survival dan mencari anggota keluarga baik yang selamat maupun yang meninggal. 

Sekian hari mereka bertahan hidup sampai bantuan datang. Mereka menjauh sementara dari bibir pantai. Kebanyakan bertahan di pedalaman dan perbukitan.

Untuk survival, mereka memakan umbi-umbian dan buah kelapa yang tersebar sepanjang pesisir Aceh.

Sekilas sebelum kejadian (Padang)

Seperti biasa, Minggu pagi (26 Desember 2004) penulis bersama teman (Hidayat Dinis) pergi ke Taplau (tapi lauik - tepi laut di Pantai Padang) untuk melakukan aktivitas olahraga, yakni berenang. Olahraga ini cukup sering kami lakukan di Taplau.

Dalam seminggu ada 2-3 kali berenang di kawasan pantai Padang yang juga sebagai salah satu spot wisata yang terkenal di Kota Padang. Tidak mengherankan kawasan ini selalu ramai dikunjungi. Pada hari libur, pengunjung bisa membludak di sepanjang jalan di pantai ini.

Kawasan Taplau, Pantai Padang. Di kejauhan terlihat Bukit Siti Nurbaya / Gunung Padang. (dok. travelingseru.com)
Kawasan Taplau, Pantai Padang. Di kejauhan terlihat Bukit Siti Nurbaya / Gunung Padang. (dok. travelingseru.com)

Bila di waktu pagi, warga lebih banyak melakukan aktivitas olahraga berupa jogging dan bersepeda. 

Di sore hari lebih banyak menikmati pantai dan melihat sunsite. Pengunjung pantai Padang kebanyakan didominasi kawula muda. 

Kawasan pesisir Barat Sumatera ikut dilanda tsunami. Termasuk kawasan Taplau ini. Saat gelombang tsunami datang sekitar pukul 10 pagi.

Saat sebelum terjadi gempa di pagi itu, penulis dan teman lagi berenang. Saat itu air laut lagi pasang naik karena masih suasana purnama. 

Di tengah laut cukup tenang. Ombak yang menghempas di bibir pantai rata-rata setinggi 1,5 -- 2 meter.

Kami berenang agak ke tengah sekitar 100 meter lebih dari bibir pantai. Tujuannya untuk menghindari ombak, dan di samping itu menikmati laut yang agak tenang.

Minggu pagi itu lumayan ramai warga yang berkunjung ke Taplau. Seperti biasa mereka melakukan olahraga. Ada yang bermain bola, bersepeda, dan jogging.

Untuk yang berenang memang tidak ada yang melakukan saat itu selain kami berdua. Mungkin karena ombak besar tidak ada yang berani mencoba.

Penulis dan teman karena sudah biasa berenang di Taplau, jadi hal itu tidak menjadi kendala soal ombak yang bisa setinggi 2 meter lebih. Yang terpenting bisa berenang, mental kuat dan bisa mengapung. (Tapi tidak boleh sombong)

Sesampai di tengah, kami berdua istirahat sejenak dengan mengapungkan diri. Dari sini kami melihat warga di pinggir pantai terlihat tambah ramai. Ditaksir mungkin ada sekitar 2000 lebih.

Pagi itu mentari memperlihatkan wujudnya di balik awan. Laut menjadi terlihat berkilauan. 

Di satu sisi bagian Utara memang terlihat sedikit mendung. Tetapi cahaya mentari pagi yang sudah benderang bisa mengalahkan awan mendung tersebut.

Kami lanjut berenang ke arah Selatan, sekitar 500 meter jauhnya dari titik start kami. Sesekali istirahat sejenak. 

Di saat istirahat, penulis melihat pengunjung pantai pada berdiri semuanya. Seakan-akan mereka menyaksikan kami yang berdua saja berenang di tengah laut dengan ombak yang lumayan besar di bibir pantai.

Kemudian, kami lanjut lagi berenang. Di tengah mengayuh kepakan tangan dan kaki, penulis merasa ada gerakan air seperti menggoyang ke kiri dan ke kanan.

 Gerakan ini tidak begitu kuat, hanya sesaat saja. Dalam pikiran, mungkin ini faktor air pasang.

Kami lanjut berenang lagi. Lalu, gerakan menggoyang tersebut berulang lagi. Dan penulis berhenti lalu menanyakan ini ke teman penulis. Yang dijawabnya tidak merasakan seperti yang penulis rasakan.

Aneh juga, pikir penulis. Sementara di pinggir pantai, pengunjung sudah terlihat banyak berkurang. Mungkin lebih dari separohnya. Kami pun sampai di lokasi yang kemudian bersiap untuk landing ke pantai.

Sebelum menepi, kembali istirahat sejenak dengan mengapungkan diri sambil menunggu ombak agak reda. 

Kami pun berbincang-bincang sejenak mengenai fenomena laut tadi yang penulis rasakan. Ada sekitar 5 menit kami jeda saat itu.

Kemudian, kami pun landing ke tepi. Penulis melihat jam tangan pada seorang pengunjung dan bertanya jam berapa. Dijawab, jam 09.00. Berarti ada sekitar 1,5 jam kami berenang dan menikmatinya saat istirahat dengan mengapung.

Kami pun kembali istirahat lagi sejenak di pantai. Sementara warga yang berkunjung tadi sudah sangat jauh berkurang. Kami pun lanjut melangkah pulang menyusuri jalan pantai.

Dalam perjalanan pulang kami masih melihat 3 pasang a-be-ge  (anak baru gede) tengah asyik bermain ombak. Kami pun tersenyum melihat mereka yang menikmati permainannya.

Tidak begitu lama, sampailah di rumah. Tetangga rumah yaitu anak kost, memberitahu bahwa ada gempa pagi ini. Dari radio ia mendengar kabar gempa besar terjadi di Aceh dan diiringi tsunami.

Mendengar kabar seperti itu, sontak kami kaget.

"Astaghfirullah al adzhiim... Masyaa Allaah", ujar kami berdua serentak. Di sini baru terkuak, kenapa pengunjung pantai tiba-tiba berdiri pagi tadi.  

Lalu penulis hidupkan televisi untuk melihat berita. Dan benar saja berita tentang gempa dan tsunami tersaji. Gempa bermagnitudo 8,9 SR ini telah mengguncang bumi Aceh dan Nias.

Gempa berpusat dekat Pulau Simeuleu, sebelah Barat dari Meulaboh. Kejadian gempa terjadi sekitar jam 07. 55 WIB. Dan tsunami berselang 15-20 menit kemudian.

Semua televisi serentak memberitakannya. Namun, berita pagi itu belum bisa menampilkan gambar visual langsung. Barulah sekitar pukul 11 siang, gambar bisa diperlihatkan salah satu tivi swasta.

Terlihat bangunan yang roboh dan disertai terjangan tsunami. Penulis dan teman pun jadi tidak bisa berkata apa-apa. Tak lama teman penulis pamit pulang.

Di sinilah jawabannya, kenapa pengunjung pantai pagi itu pada berdiri semuanya? Itu dikarenakan mereka merasakan gempa yang cukup kuat dirasakan di darat. Sementara kami yang tengah asyik di laut tidak merasakan apa-apa.

Kami pun jadi bersyukur, karena terhindar dari terjangan tsunami. Sebab, ada tetangga yang bercerita, ia baru saja pulang dari tempat saudaranya di kawasan Batang Arau. 

Di situ ia dan warga lainnya melihat air sungai Btg. Arau menyusut agak cepat menuju arah muara. Sehingga aliran sungai seperti selokan kecil saja. 

Tak lama kemudian, air berbalik dengan cepat. Itulah terjangan tsunami. Kawasan pantai Padang dan pesisir lainnya disapu gelombang air laut dengan cepat. 

Jalan raya di dekat pantai tergenang air dan material pasir plus sampah-sampah plastik. Saat menerjang, air laut berwarna kehitaman.

Menurut info yang didapat ketika itu, air naik ke daratan Pantai Padang sekitar pukul 09.50 WIB. Ada juga yang bilang pukul 09.30 WIB.

Pembaca bisa membayangkan bukan, saat penulis dan teman berada di laut sebelum tsunami menerjang?

Ternyata sebelum tsunami datang, air di Sungai Btg. Arau sudah mulai surut. Tetapi di kawasan muaranya air masih tetap terlihat biasa saja. 

Sementara jarak kami sebelum landing tidak begitu jauh dari muara. Paling sekitar 500 meter lagi.

Ini penulis analisa, bahwa air itu ditarik lewat jalur bawah /dasar. Di kawasan muara, air masih tetap terlihat biasa saja, tetapi di dasarnya tengah ada gerakan ditarik ke arah laut tanpa memperlihatkan gerakan air yang frontal di atasnya. (Penulis kurang tahu kalau dalam istilah fisikanya apa?) 

Tetapi, di saat penulis merasakan gerakan seperti "menggoyang" itu, bisa jadi air lagi surut tetapi dari bagian air di dasarnya. Dengan kata lain, air di permukaan tidak ikut ditarik. Jadi kami tetap masih bisa berenang seperti biasa tanpa ikut ditarik ke tengah.

Bagaimana pembaca, sungguh aneh bukan?

Kembali ke televisi, tayangan gambar dan siaran live sudah mulai banyak disajikan. Betapa mengerikan terjangan tsunami yang meluluhlantakkan Aceh. Penulis jadi bergidik. 

Tayangan memperlihatkan Banda Aceh dan masjid Raya Baiturrahman dilanda tsunami.

Air laut yang naik ke daratan menyapu material apa saja yang ada. Kita bisa menyaksikan kendaraan mobil bagaikan kotak diombang-ambing tsunami. Diperlihatkan juga orang-orang yang berusaha menyelamatkan diri.

Betul-betul kepanikan warga terlihat pada bencana dahsyat menjelang penghujung akhir tahun 2004. Tak lama dunia pun jadi tersentak.

Begitu sepenggal kisah penulis saat sebelum gempa dan tsunami datang. Di sini penulis bisa bersyukur kepada Allah Swt atas pertolongan-Nya kami terhindar dari terjangan tsunami yang datang. Seakan-akan tsunami datangnya agak lambat. Jadi kami diberi kesempatan untuk segera menepi ke darat.

Penulis tidak bisa membayangkan, bila kami masih lama berada di laut. Tentu kami dihempaskan ke pantai. Tidak tahu lagi kejadian seperti apa yang kami alami bila digulung gelombang tsunami.

Dan saya pun bersujud syukur, terima kasih Tuhan. Dengan begitu, penulis pun membulatkan tekad untuk ikut sebagai relawan. Membantu saudara-saudara kita di Aceh yang tertimpa musibah bencana alam.

Persiapan Berangkat

Dua hari setelah kejadian, dari pemberitaan media dan radio, regu penolong dari Prov. Sumbar baik dari instansi pemerintah dan swasta akan disiapkan diberangkatkan ke Aceh.

Tidak lama kemudian, Walikota Padang membuka kanal untuk warga Kota Padang agar mengumpulkan bantuan baik berupa pakaian bekas layak pakai maupun logistic makanan lainnya.

Tidak itu saja, Pemko Padang yang saat itu Walikotanya Fauzi Bahar juga mengumumkan akan mengirimkan Relawan dengan membuka pendaftaran "lowongan" sebagai relawan. Jadi bagi siapa yang sanggup dan mau akan disediakan akomodasinya.

Sontak saja penulis pun ikut mendaftar, sesuai dengan niat dan tekad penulis sebelumnya. Setelah membaca alur syaratnya, penulis mempersiapkan berkas-berkas untuk administrasi

Pemko Padang menunjuk Mapala Unand sebagai OC (organizing committee).  Penulis pun segera ke salah satu posko Mapala Unand di kawasan Jati untuk mengkonfirmasikan diri sebagai relawan. 

Tidak lupa mengajak teman berenang penulis (Dayat Dinis). Namun disayangkan beliau tidak bisa ikut dengan alasan tidak diizinkan oleh ibunya. Yah, gimana lagi. Sebab itu adalah salah satu syaratnya, ada izin orang tua.

Lumayan banyak yang ikut mendaftar dari warga Kota Padang. Dalam list pendaftaran yang penulis lihat di Pemko Padang, kalau tidak salah ada sekitar lebih dari 130 orang. Bermacam profesi terlihat pada kolom pekerjaan. Selain kebanyakan mahasiswa, ada yang berprofesi seperti tukang, karyawan swasta, pelajar, buruh, petani, pedagang dan sebagainya.

Ada kejadian yang cukup menggelikan. Ketika itu penulis lagi berada di kantor Walikota untuk keperluan pendaftaran administrasi teman. Penulis melihat seorang ibu menangis. Ibu itu orang tua dari salah satu relawan yang telah mendaftar di Pemko Padang.

Sang ibu itu memohon kepada anaknya agar jangan pergi ke Aceh. Dengan alasan yang cukup masuk diakal, si ibu membujuk anaknya. Sang anak yang bersama dengan teman-temannya yang juga ikut sebagai relawan terlihat diam.

Penulis yang menyaksikan itu tersenyum geli dan sekaligus haru melihat suasana demikian. Akhirnya si anak dengan sedikit mengomel memenuhi permintaan ibunya. Dan ia pun batal pergi.

Kejadian itu juga tidak luput perhatian dari pegawai Pemko Padang. Salah satu dari pegawai itu (perempuan) juga memberi nasihat kepada si anak agar jangan dipaksakan pergi bila orang tua tidak mengizinkan. Terlebih seorang ibu yang melarangnya.

Anak tersebut ternyata seorang mahasiswa juga. Ia tergerak hatinya ikut sebagai relawan karena panggilan hati nurani. Namun karena sang ibu melarangnya terpaksa keinginannya tidak bisa dilanjutkan.

Bila diteruskan, khawatir saja bisa terjadi apa-apa pada sang anak. Jadinya larangan seorang ibu memang tidak bisa diabaikan. 

Penulis pun jadi teringat dengan ibu yang sudah meninggal setahun yang lalu. Jika masih hidup mungkin belum tentu penulis diizinkan pergi.

(Bersambung) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun